Jawa Pos [ Kamis, 11 Februari 2010 ] Hukuman Mati Harus tanpa Ragu
HUKUMAN yang dipandang terberat adalah melenyapkan eksistensi seseorang. Kita mengenalnya sebagai hukuman mati. Hari-hari ini, hukuman mati menjadi kontroversi lagi. Bukan kontroversi, persisnya. Tetapi perdebatan abadi antara kelompok prohukuman mati dan kelompok yang ingin menghapuskannya (abolisionis). Hari ini kita akan mendengarkan vonis atas tiga terdakwa utama kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain, yakni Antasari Azhar, Sigid Haryo Wibisono, dan Wiliardi Wizar. Selain kasus pembunuhan itu tergolong high profile (karena melibatkan nama-nama besar), tuntutan atas tiga terdakwa juga tergolong istimewa, yakni tuntutan mati. Tuntutan itu mencuatkan aneka protes. Selain dari terdakwa, penentangan muncul dari aktivis HAM dari kelompok abolisionis. Para aktivis memandang hukuman mati sudah tidak layak diterapkan dengan berbagai alasannya. Di antaranya, hukuman mati tidak bisa dikoreksi dan melanggar hak hidup yang dijamin konstitusi. Pihak yang prohukuman mati biasanya diam. Sebab, toh hukuman mati masih berlaku dan tetap bisa diterapkan. Negara Republik Indonesia, seperti juga banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, memang masih belum merasa perlu menghapus hukuman mati. Hukuman mati masih diperlukan. Memang, kesan pembalasan dalam hukuman mati sangat kentara. Padahal, pembalasan dalam hukuman semakin tidak populer. Tetapi, sifat hukuman dalam hukum pidana memang tidak bisa sama sekali meninggalkan sifat pembalasan (kalau tidak ada pembalasan, kenapa orang tidak rela ada sel mewah atau perlakuan beda di penjara?). Seseorang yang sudah terbukti dengan telak melakukan kejahatan yang berat, yakni merampas hak hidup orang lain, memang bisa dihukum mati sebagai salah satu pilihan hukuman. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita yang warisan kolonial Belanda juga tidak serampangan dalam mengancamkan hukuman mati. Yang diancam hukuman mati, di antaranya, adalah pembunuhan berencana, seperti yang didakwakan kepada Antasari dan komplotannya. Kejahatan pembunuhan berencana memang keji. Yakni, seseorang dengan kesadaran penuh ingin melenyapkan hak hidup orang lain. Jadi, seseorang yang berencana membunuh orang lain berarti sudah mantap di batin dan otaknya untuk melakukan kejahatan itu. Itu kejahatan yang sangat berat. Salain pembunuhan berencana, hukuman mati juga masih layak bagi kejahatan kekerasan yang bengis, seperti terorisme. Hak hidup orang-orang yang sudah berniat membunuh orang lain sebanyak-banyaknya juga tidak layak dilindungi. Sebab, dia juga sama sekali tidak peduli pada hak orang lain. Kita harus mempertimbangkan kenestapaan korbannya juga. Alangkah njomplangnya rasa keadilan kita apabila orang-orang semacam itu masih harus dipelihara negara, misalnya, seumur hidup atau 20 tahun di penjara. Padahal, dia sudah mengakibatkan banyak orang lain dan keluarganya mengalami kenestapaan. Kritik lain adalah hukuman mati tidak bisa dikoreksi. Sebenarnya, tidak ada hukuman jenis apa pun yang bisa dikoreksi dengan sepenuhnya adil. Katakanlah, seseorang dijebloskan ke penjara selama lima tahun, tapi ternyata salah vonis. Meskipun dia diganti rugi, jelas sekali banyak kesempatan dan kehormatan dalam hidupnya tidak bisa kembali. Untuk mengurangi kemungkinan kesalahan manusiawi (errare humanum est), perlu setiap hukuman itu diterapkan tanpa keraguan (no reasonable doubt). Termasuk hukuman mati. Jangan menghukum mati atau penjara kalau ada keraguan. Tidak terkecuali kepada Antasari, Sigid, Wiliardi, atau siapa pun, atau kepada orang-orang yang lebih kecil. Tapi, kalau memang haqqul yakin, kenapa tidak? (*)