===================== ============================ 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
===================== ============================ 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati Hari anti Korupsi 9 Desember 2009 dan Hari HAM 10 Desember 2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Ilmu Tak Tertulis Suatu Abad
Oleh : Sujiwo Tejo 
Saya pendukung calon presiden Jusuf Kalla pada pilpres yang lalu. Demi itu, 
saya akhiri riwayat golput sejak pertama punya hak pilih pada era Soeharto. 
Tetapi, saya menolak jika pengusutan kasus Bank Century diarahkan untuk 
utamanya mendongkel kepresidenan SBY. Biarkan gerakan angket di DPR, dukungan 
LSM, demi tegaknya keadilan. Janganlah sejak dini, aneka gerakan ini 
diagendakan untuk penggulingan kekuasaan.
Ilmu tak tertulis mengajarkan, pangkat dan kedudukan cuma ngunduh wohing 
pakarti. Keduanya buah dari kelakuan masa lampau dari yang bersangkutan maupun 
masa lalu orangtua dan nenek moyangnya.
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, pemimpin adalah cermin masyarakatnya. 
Keduanya jodoh ibarat suami-istri. Jika suami koruptor, hampir bisa dipastikan 
istrinya orang yang korup pula. Kalaupun sang istri bukan koruptor, karena 
belum punya pangkat dan kedudukan, setidaknya memiliki sifat-sifat dasar 
koruptor. Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukankah itu ”Pancasila”-nya 
korupsi?
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, sebagian besar rakyat, termasuk saya, 
mendoakan agar semua pejabat korup. Bawah sadar kita, bawah sadar ”aku”, yakni 
ingsun, tak menaruh hormat kepada pemimpin miskin yang mobilnya kelas Kijang 
seperti Baharuddin Lopa atau Sarwono Kusumaatmadja zaman dulu.
Padahal, Sastrajendra Hayuningrat dari pewayangan, salah satu molekul di antara 
samudra ilmu tak tertulis, mengajarkan, doa paling manjur adalah kehendak bawah 
sadar itu. Doa mujarab bukan yang terucap di mulut, terlintas di pikiran maupun 
tebersit di hati. Doa paling cespleng adalah gerakan bawah sadar kita yang, 
misalnya, tak menghargai istri pejabat dengan tas jelek, tidak bermerek. Alias 
diam-diam membuat doa paling mustajab agar suaminya korup.
Maka, gerakan angket kasus Bank Century, jika sejak awal diagendakan untuk 
mendongkel pemimpin yang diduga korup, sama dengan mendongkel masyarakat itu 
sendiri alias membuat kita berantakan dan bubar.
Mahkota raja
Ilmu tidak tertulis mengajarkan, sah seorang pemimpin berbuat kotor untuk 
mencapai cita-cita bersama. Ini karena kepemimpinan ada dalam ranah praktis, 
lahan kaum ksatria, weisya, eksekutif. Ini bukan tataran teori maupun ajang 
pergulatan intelektual yang bisa bersih. Ini bukan arenanya kaum brahmana yang 
maksimal kepraktisannya hanya berfungsi sebagai penasihat eksekutif. Ini 
tataran yang seru. Ini tatarannya para pelaksana yang harus berhadapan dengan 
jutaan manusia dengan berbagai perangai. Jadi bagaimana kita akan bersetuju 
dengan gerakan mengusut kasus Bank Century jika sejak awal diagendakan untuk 
menumbangkan pemimpin yang diduga kotor?
Ya, pemimpin mau tak mau mesti kotor. Maka Bung Karno pernah bilang strategi 
saja tidak cukup. Diperlukan taktik. Tetapi, taktik yang perubahannya relatif 
lama juga tidak cukup. Diperlukan siasat yang bisa berubah setiap detik 
tergantung sikon. Dalam siasat itu, lebih-lebih pada zaman sekarang, jer basuki 
mawa bea alias uang bicara.
Tak heran jika dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, calon yang tak 
terpilih, Surya Paloh, tidak tegas mengatakan dirinya tidak mengeluarkan biaya 
untuk perolehan suara. Ia hanya tersirat mengaku kalah kemampuan finansial dari 
kubu Aburizal Bakrie dalam menerapkan jer basuki mawa bea pada saat-saat 
terakhir sebelum pemilihan.
Itu baru lingkup partai. Terbayang jer basuki mawa bea sebesar apa lagi jika 
seseorang meraih posisi puncak di negeri ini.
Sebenarnya dari kalangan ilmu tertulis, Sartre, sudah ada wanti-wanti, 
kepemimpinan, baik cara pencapaiannya maupun cara menjalankannya setelah 
kedudukan itu tercapai, tidak mungkin bersih. Secara puitis, Rendra pernah 
menyadurnya dalam selarik sajak, ”Tanpa tangan-tangan kita kotor, tak mungkin 
kita ciptakan itu firdaus...”.
Ilmu tak tertulis dari dunia pewayangan mengajarkan, Rahwana, simbol angkara 
murka, sebenarnya sudah ingin bunuh diri setelah bertapa 50.000 tahun di Gunung 
Gohkarno. Rahwana putus asa berwujud buruk dan sifat jahat. Tetapi, dewa-dewa 
tidak mengizinkan. Alasannya, tanpa sisi gelap manusia, dunia tak terselenggara 
dalam harmoni hayuning bawono. Maka Rahwana tak mati-mati. Sukmanya selalu 
merasuki kaum pemimpin.
Ilmu tak tertulis dari kalangan teater tradisional seperti drama gong di Bali, 
degung di Pasundan, atau ketoprak di Jawa mengajarkan, tiap raja memerlukan 
mahkota yang indah. Sama halnya tiap pemimpin perlu diberi citra yang bagus, 
karena pemimpin bukan rohaniwan yang mungkin suci, tetapi belum tentu becus 
memimpin. Pemimpin itu pasti kotor atau setidaknya pernah kotor. Entah itu 
kotor karena uang, karena lumuran darah dan air mata pihak yang tak sepakat.
Jadi, sekali lagi, masihkah kita bersepakat dengan gerakan pengusutan Bank 
Century jika niat utama, dan mungkin satu-satunya, penggulingan kekuasaan?
Kearifan tradisional
Ilmu tak tertulis begitu banyak. Itu bukan saja ilmu saat Menkominfo Tifatul 
Sembiring membaca bahasa tubuh SBY dan dapat menyimpulkan sikapnya sebelum SBY 
resmi mengumumkan sikapnya atas rekomedasi Tim 8. Tetapi, itu juga ilmu yang 
digunakan masyarakat untuk sampai pada kesimpulan diam-diam, hanya melalui 
bahasa tubuh, tentang siapa sebenarnya Komjen Susno Duadji.
Ilmu tak tertulis adalah semua ilmu yang tidak diajarkan di bangku sekolah dan 
kuliah. Mengingat dunia akademis, bahkan untuk mengajarkan teater saja, memilih 
teater yang ada naskah tertulisnya, maka yang diajarkan kebanyakan teater 
Eropa. Lakon dan kearifan yang terkandung dalam teater tradisional, tak 
tertulis, teronggok, dan nyaris punah.
Padahal, kearifan tak tertulis itu bisa memberi tahu kita mengapa reformasi 
1998 gagal? Karena reformasi itu didorong seluruh atau di antara 
”Pancasila”-nya korupsi: Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukan pertama-tama 
didorong membuat perbaikan guna meraih kembali kejayaan Nusantara.
Ilmu tak tertulis mengajarkan kita semua untuk waspada dan hati-hati agar tidak 
terseret gerakan pengusutan kasus Bank Century jika agendanya cuma penggulingan 
penguasa yang belum tentu terbukti bersalah. Ilmu tak tertulis hanya membuat 
kita terpanggil mendukung gerakan itu jika agendanya adalah meraih kembali 
kejayaan Nusantara guna perbaikan nasib kita bersama. Yang lain-lain, jika pun 
terjadi, hanya dampak sampingan. [Sujiwo Tejo, Dalang, Kompas, 05/12/09]
--------
Kepada siapa lagi negara ini bisa berharap, kalau bukan kepada rakyat dan para 
pemimpinnya? Gerakan Indonesia Bersih (GIB) bukanlah untuk pamer kekuatan, 
apalagi unjuk kekuasaan.... mereka hanyalah melanjutkan semangat juang, 
merealisasikan pidato dan janji-janji kepemimpinan dan keteladanan para 
pemegang moral bangsa, menjaganya dan menjunjung tinggi integritas negara – 
bersih dari korupsi pada hari ini, 9 Desember 2009, serta penegakan hak azazi 
manusia yang akan kita peringati besok, 10 Desember 2009. Sebagai bentuk 
persembahan yang baik dan berkualitas bagi masa depan bangsa. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
 
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm]
Sedia Bibit Ikan Patin




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke