================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
"Jangan Galak-galak"
Kamis, 7 Mei 2009 | 02:59 WIB 
Oleh : EFFENDI GAZALI
“Hati-hati, jangan terlalu galak mengatakan curang. Pemilu 2004 belum lama 
berlangsung. Saya punya memori yang banyak, tetapi biarlah menjadi bagian masa 
lalu. Jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang. Saya juga punya 
pengetahuan tentang beliau-beliau pada waktu lalu. Tetapi, biarlah ini proses 
dari pendewasaan demokrasi,” ujar Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 22/4).
Kalimat ini mengandung multi-interpretasi. Pertama, beberapa tokoh yang 
bersuara galak belakangan ini pernah berbuat curang pada Pemilu 2004. Jadi, SBY 
mengingatkan mereka untuk tidak menguliahinya.
Kedua, karena ada yang berbuat curang pada Pemilu 2004, maka kami lebih ahli 
soal itu.
Ketiga, meski ada yang pernah berbuat curang, pihaknya tidak pernah melakukan! 
Karena itu, hendaknya ia jangan dikuliahi.
Pertanyaan mendesak itu multi-interpretasi. Mengapa Presiden bereaksi agak 
berlebihan, dengan pilihan kata semacam ”jangan banyak menguliahi soal curang 
dan tidak curang” ?
Kemenangan menyilaukan
Dalam komunikasi politik ada peringatan serius, kemenangan jangan sampai 
menyilaukan. Untuk itu, yang sedang menang bergegas melakukan dua hal. Pertama, 
hemat bicara meski media akan sungguh mendesak untuk bicara dan bicara; kapan 
perlu sampai melakukan kesalahan-kesalahan sendiri!
Kedua, segera membentuk tim pascakemenangan, yang mengatur strategi berbicara, 
seperti apa, kepada siapa, dan oleh siapa, dengan berhati-hati.
Saya sudah mengungkapkan betapa Fox Indonesia memiliki kemampuan political 
marketing management yang tinggi, integratif, satu pintu, dan budget 
menakjubkan (Kompas, 17/3). Mereka juga berhasil, langsung atau tidak, membuat 
mata banyak partai dan pemilih tersilaukan oleh kemenangan Partai Demokrat yang 
nyaris 300 persen! Padahal, data menunjukkan, jika golput Pemilu 2009 sekitar 
30 persen (hitungan konservatif), pemilih Partai Demokrat hanya — berdasarkan 
hitung cepat — 20 persen dari 70 persen atau cuma 14 persen! Artinya, ada 86 
persen pemilih yang belum tertarik dengan PD dan calegnya pun ada pesona ”SBY 
factors” yang disebut-sebut sebagai penyebab utama raihan spektakuler. Jangan 
lupa, 86 persen pemilih ini rela bercapek-capek dan mengantre di TPS, namun 
tetap menyatakan belum berminat dengan PD.
Mereka ini (86 persen) adalah pangsa pasar amat besar dengan rumus berapa 
capres sebagai bilangan pembaginya dan siapa cawapresnya. Diakui atau tidak, 
asumsi saya tentang kemenangan menyilaukan dan akibatnya kini terbukti. Tidak 
mudah lagi orang menyatakan, dengan siapa pun SBY maju, dia pasti menang. 
Salah-salah, malah modal awal 14 persen pemilih riil bisa beralih sebagian ke 
pasangan lain.
Ancaman gaya Orde Baru
Dalam komunikasi politik juga dikenal heating trend, artinya seseorang belum 
sampai ke suatu posisi, tapi tren atau daya tariknya sudah terasa. Sebelum 
pemilu, Prabowo sempat menikmati tren ini. Jika betul Prabowo punya bukti lebih 
dari 50 juta hak politik rakyat dizalimi (Kompas, 22/4), tentu bisa dijelaskan 
mengapa trennya tidak sedahsyat hasilnya. Kini tren sejenis sempat singgah di 
kubu JK-Wiranto. Golkar yang tiba-tiba menyadari konstelasi 86 persen pemilih 
belum tertarik pada PD (ditambah korban DPT) langsung deklarasi! Pasti ada 
simpati publik bahwa Golkar yang selalu menempel pada kekuasaan ternyata 
sekarang siap menjadi oposisi.
Survei terakhir Puskaptis UI menunjukkan, sambutan terhadap JK-Wiranto bahkan 
di atas elektabilitas SBY jika dipasangkan dengan sejumlah cawapres. Kini, soal 
survei, seharusnya tidak ada dominasi lembaga karena banyak yang telah terbukti 
tak akurat. Misalnya, yang menyatakan PD akan menang dengan 26, bahkan 28, 
persen (jauh dari fakta 20-21 persen).
Tentang konsultan, JK-Wiranto harus belajar manajemen pemasaran politik dari 
berbagai kampanye modern, termasuk dari gaya Fox. Soal isi komunikasi politik, 
mereka harus memasang target lebih unggul! Tak boleh lagi ada iklan-iklan 
serabutan yang tidak masuk peta strategi yang jelas! Mengulang seruan Johnson 
(2000, 2007): no place for amateurs. Juga tak boleh ada yang membanggakan diri 
sebagai mereka yang membantu memenangi Pemilu Presiden 2004. Konstelasi Pemilu 
Presiden 2009 adalah berbeda total!
Sayang, di luar soal kapabilitas, kini posisi konsultan atau media serius 
terancam. Terasa bagaimana sebagian pihak sedang mengategorikan media atau 
konsultan tertentu sebagai musuhnya. Padahal, dewasa ini, baik secara teoretik 
maupun praktik, media telah sah berpihak. Media hanya diwajibkan selalu 
menjelaskan alasan-alasan rasional lalu boleh menyatakan media kami mengusulkan 
pemilih ke calon A atau B. Independensi media mutakhir adalah ketika menyusun 
alasan-alasan itu hanya berdasarkan kepentingan publik.
Sekali lagi, kita harus melawan sikap pihak tertentu yang bukannya berusaha 
winning the heart, tetapi malah menganggap media yang mengurai fakta atau 
konsultan lain sebagai musuh! Mereka sebenarnya menyiratkan teror psikis, jika 
kami menang, (awas) kalian akan mendapat kesusahan! Jangan galak-galak, kita 
tak perlu dikuliahi. Itu semua persis semangat Orde Baru. [Effendi Gazali 
Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI- Kompas]
--------
Pasangan capres/cawapres
Kompetisi pemilu capres/cawapres 8 Juli 2009 akan memberikan pembelajaran 
banyak pihak, baik bagi para pelaku, elite dan aktifis politik maupun 
masyarakat Indonesia. Inilah pemilu capres/wawapres ke-2 di Indonesia. Kesiapan 
dan dinamikanya semakin terasa dewasa dan elegan. Kita akan segera disuguhi 
tiga (3) menu paket khusus capres/cawapres istimewa. Mereka berasal dari 
partai-partai pemenang pemilu, yang akan membawa suara rakyat menuju muara 
kekuasaan RI-1/RI-2. Yang mendeklarasikan pertama adalah pasangan ideal, 
disusul pasangan ideal dan potensial lainnya.

Jadi untuk semua paket pasangan capres cawapres; jangan galak-galak, jangan 
kenceng-kenceng, jangan boros-boros… Sejarah akan mencatat bagaimana Anda 
bermain dan memberi contoh yang baik kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Karena 
rakyat sekarang sudah pada paham, mengerti dan semakin pinter memilih mana yang 
baik dan yang terbaik untuk pemerintahan RI lima (5) tahun ke depan...maka fair 
play adalah panglima pilpres 2009.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke