=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menperingati 81 tahun semangat jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Jika Buaya Pilek... 
Rabu, 4 November 2009 | 02:39 WIB 
Oleh: Mohamad Sobary 
Seharusnya KPK tak perlu ada. Kita tahu kehadiran lembaga ini menimbulkan 
suasana persaingan tak sehat di antara lembaga-lembaga penegak hukum. 
Publik mengagung-agungkan KPK, yang dianggap lebih berani, lebih transparan, 
lebih tegas. Perlakuan publik menunjukkan KPK sebagai pahlawan, sedangkan 
Kejaksaan Agung dan jajarannya dipandang sebelah mata. 
Ini tentu tak mengenakkan bagi lembaga penuntut umum itu. Jasanya, pada saat 
sukses sekalipun, juga tak diakui. Inilah ”suasana hati” para petinggi di 
Kejaksaan Agung saat Jaksa Agung dijabat Abdurrahman Saleh. Saya pernah 
menemuinya, di kantornya, bersama beberapa teman, staf dari Partnership. Jaksa 
Agung menerima kami, didampingi para jaksa agung muda. Pak Hendarman Supandji, 
Jaksa Agung sekarang, saat itu juga hadir. Itulah keluhan mereka, yang merasa 
tak dianggap - terutama oleh media - dan saya turut merasakan betapa tak enak 
mendapat perlakuan publik seperti itu, pada saat yang lain dipuja-puja. 
Kami datang bukan untuk mendiskusikan ”perasaan” seperti itu. Agenda kami 
membahas langkah lebih lanjut menemukan cara-cara, strategi, atau pendekatan 
untuk mewujudkan gagasan mereformasi Kejaksaan Agung yang belum pernah beranjak 
meninggalkan dokumen resmi. Maksudnya, hingga hari ini, gagasan reformasi itu 
masih tetap suci sebagai gagasan yang belum tersentuh apa pun. 
Hasil pilihan sikap populis 
Ketika KPK angkatan pertama dibentuk, Bang Dillon - Direktur Eksekutif 
Partnership saat itu - ikut sibuk menangani banyak masalah dasar tentang akan 
seperti apa KPK kelak, dengan agenda macam apa, dan bagaimana menjaring 
koruptor yang memiskinkan rakyat. Jangan lupa, KPK ini lembaga yang lahir dari 
Presiden Megawati Soekarnoputri, yang dengan tangan terbuka menerima aspirasi 
publik untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program ”unggulan”. Kita 
tahu, kehadiran KPK juga memberi Presiden SBY kredit amat besar, bila bukan 
hampir tak terbatas. 
KPK pimpinan Taufiequrachman Ruki itu berakhir saat saya menggantikan Dillon 
sebagai Direktur Eksekutif Partnership. Seperti sebelumnya, untuk memilih 
komisioner KPK yang baru, Presiden SBY mengeluarkan keppres, isinya menugaskan 
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menjadi ketua 
panitia seleksi. Bersama sejumlah tenaga staf, saya mewakili Partnership 
mendukung langkah ini dari nol. 
Kami memilih tokoh-tokoh yang tak diragukan kredibilitasnya untuk menjadi 
anggota panitia seleksi agar kelak menghasilkan komisioner profesional, 
memiliki kompetensi teknis yang tinggi di bidang masing-masing, berpengetahuan 
luas, berpengalaman menangani korupsi, terpercaya, teruji kejujurannya, dan 
semua itu harus didukung data lengkap, dibuktikan lebih lanjut dalam rekam 
jejak riil sepanjang karier mereka. 
Tanpa mereka ketahui, kami menyelidiki diam-diam untuk mengetahui siapa 
sebenarnya mereka. Kami mencari dukungan dari banyak pihak—terutama dari 
LSM—untuk memperoleh informasi otentik tentang mereka. Data yang diperoleh 
diuji lebih lanjut dengan wawancara mendalam, sistematis, dengan materi 
pertanyaan melebihi usaha menjaring calon menteri. 
Untuk memilih lima komisioner itu, panitia menyerahkan dua pasang susunan 
komisioner sebanyak 10 orang kepada Presiden yang lalu meneruskan ke DPR. 
Dipilihnya Antasari Azhar sebagai ketua oleh DPR saat itu menjadi problem 
menjengkelkan. Orang bertanya, dengan marah, apa kepentingan politik DPR. 
Model pengadilan tipikor 
Sekali lagi, KPK seharusnya tak perlu ada. Ini adalah lembaga sementara, hadir 
dalam situasi darurat, tak dimaksudkan untuk permanen. Kita memiliki banyak 
komisi negara yang sifatnya sementara. Namun, KPK yang sementara bisa amat lama 
karena lembaga penegak hukum lain, yang sebagian peran dan fungsinya diambil, 
belum juga sembuh. 
Komisi Kejaksaan - bertanggung jawab kepada presiden - memanggul mandat 
mereformasi internal kejaksaan, tetapi hasilnya belum memadai. Ibaratnya, 
kejaksaan belum tersentuh program reformasi. Kita memiliki Komisi Kepolisian 
Nasional, juga bertanggung jawab langsung kepada presiden, yang agak lebih baik 
dan punya hasil yang patut dihargai. Di Mahkamah Agung malah ada cetak biru 
reformasi, tetapi masih ”agak” macet. Mereka sibuk dengan urusan memperpanjang 
masa pensiun, ”menyerang” Komisi Yudisial agar, jika bisa, komisi ini mandul. 
Otomatis ini semua ”memberi” hak lebih besar dan legitimasi lebih kuat terhadap 
kehadiran KPK. Tentu saja KPK tak mungkin lepas dari kekurangan. Namun, lembaga 
yang dibentuk dengan harapan menutup kekurangan lembaga lain, KPK menunjukkan 
hasil. Kehadirannya mengisyaratkan kita masih berhak berharap. Ada tanda-tanda, 
suatu saat, pelan-pelan, koruptor kita ganyang. Semua kita kubur di dalam 
lembaga-lembaga yang mau belajar menjadi bersih. 
Tanda kita masih punya alasan berharap itu tampak pada cara kerja KPK dan 
kelengkapan lembaganya, pengadilan tindak pidana korupsi, yang belum pernah 
membiarkan koruptor lepas begitu saja. Para hakim merupakan warga negara yang 
memiliki kepedulian tulus. Mereka tak terperangah melihat duit. Orang- orang 
ini bekerja dengan kreatif, mengandalkan sikap profesional, jujur, dan memiliki 
seni ”menjerat” koruptor yang diadili, dengan pertanyaan yang tak dimiliki 
pengadilan lain. 
Kemitraan memiliki catatan kinerja mereka, yang kemudian diteliti lagi oleh 
peneliti LIPI, yang memperteguh agar pengadilan tipikor menjadi model bagi 
pengadilan-pengadilan lain. Di sini jelas, KPK memberi kita alternatif 
mengembangkan model pengadilan bersih dari mentalitas dan sikap korup. 
Jika buaya pilek... 
Negeri ini bukan milik pejabat, bukan pula milik pemerintah. Polisi milik kita, 
seluruh rakyat Indonesia. Kejaksaan milik kita. Mahkamah Agung, Mahkamah 
Konstitusi, dan semua komisi negara milik kita. KPK mungkin betul hanya cicak. 
Dan jika diterkam buaya, pasti tak berdaya. 
Namun, cicak ini memberi presiden ”kredit” besar. Di dunia luar, gerak kita 
melawan korupsi dicatat sebagai bagian ”kemuliaan” Presiden SBY dan kabinet 
SBY. Kemitraan yang ikut gigih membentuk KPK. Jika kemitraan boleh mengklaim 
ikut memiliki KPK, otomatis, KPK juga milik SBY. 
Buaya menerkam cicak, apa bukan berarti buaya menerkam SBY? Tahukah 
implikasinya bagi karier dan jabatan bila melawan rakyat, sekaligus melawan 
presiden sendiri? Maka, patut dicatat, cicak dan buaya diciptakan Tuhan bukan 
untuk saling berhadapan sebagai musuh. Mereka saudara serumpun, yang bisa 
saling membantu. Bahkan, kalau buaya pilek, cicak pun bisa menggantikannya. 
[Kompas, 4/11/09] 
------ 
Melanjutkan semangat kepemimpinan dan keteladanan pemuda Indonesia bagi masa 
depan bangsa. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
  
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
  
Ikutilah : 
Magnificat Choir Competition 2009 [MCC 2009]  
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm [ Alarm gempa ] 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke