Joseph Estrada, "Time", dan Soeharto

 Reaksi masyarakat  terhadap dimenangkannya gugatan Suharto lawan majalah
TIME masih terus mengalir dalam pers. Dari reaksi yang berbagai ragam itu
dapatlah kiranya diambil kesimpulan bahwa sikap yang menyetujui putusan
hakim kasasi dari Mahkamah Agung adalah jauh lebih sedikit  dari yang
menentang atau yang menganggapnya tidak baik. Banyak reaksi yang menyatakan
bahwa sikap para hakim kasasi Mahkamah Agung itu tidak mencerminkan
keadilan, atau merusak citra Mahkamah Agung dan dunia peradilan di
Indonesia.



Adalah menarik juga untuk diperhatikan bahwa sikap Ketua Umum PWI Pusat,
Tarman Azam,  tidak mencerminkan fikiran dan perasaan yang hidup di kalangan
pers Indonesia sendiri. Pernyataan Tarman Azam yang menyebut bahwa putusan
Mahkamah Agung mengenai gugatan Suharto “sudah tepat” bertentangan dengan
kebanyakan reaksi dari masyarakat yang sudah dimuat dalam pers.



Berikut di bawah ini disajikan kembali tajuk rencana harian Suara Pembaruan,
yang isinya jauh sekali berbeda dengan sikap Ketua Umum PWI Pusat. Tajuk
rencana Suara Pembaruan ini menjoroti kasus gugatan Suharto terhadap TIME
dengan mengangkat perbedaan yang dialami antara dua pressiden, Suharto dan
Estrada dari Flilipina,  yang sama-sama korup, tetapi yang nasibnya berbeda.



Kalau mantan presiden Filipina Estrada dihukum berat seumur hidup karena
sudah mengkorupsi uang negara sebesar US$ 87 juta (sekitar Rp 800 miliar,
maka Suharto masih bebas dan bisa hidup dengan mewah, meskipun korupsinya
berlipat-lipat ganda besarnya dari pada korupsi Estrada (harap baca kembali
laporan majalah TIME).



Tajuk rencana Suara Pembaruan dengan tajam menyoroti kelemahan sistem
peradilan di Indonesia yang masih tunduk kepada penguasa (yang sebagian
masih bersimpati kepada Suharto) dan bukan kepada perasaan keadilan dan
nurani masyarakat. Jelaslah bahwa isi  atau jiwa tajuk rencana ini
mencerminkan fikiran dan perasaan banyak orang di Indonesia.



Mengingat bahwa tidak semua orang sempat membacanya, maka di bawah ini
disajikan kembali tajuk rencana Suara Pembaruan itu, di samping dimasukkan
dalam “Kumpulan berita tentang gugatan Suharto terhadap TIME”





  1.. Umar Said


===========





Suara Pembaruan, 14 September 2007

Tajuk rencana
Joseph Estrada, "Time", dan Soeharto
Pekan ini, ada berita penting menyangkut dua mantan presiden dari dua negara
bertetangga. Kebetulan beritanya menyangkut persoalan yang sama, yakni
dugaan memperkaya diri sendiri selama berkuasa.

Adalah Soeharto dari Indonesia, dan Joseph Estrada dari Filipina, dua mantan
kepala negara yang menyita perhatian publik di negeri masing-masing. Namun,
ada perbedaan yang substansial yang dialami keduanya.

Soeharto beruntung, gugatannya terhadap Majalah Time edisi Asia dimenangkan
oleh Mahkamah Agung (MA) pada akhir Agustus lalu. MA menganggap laporan
khusus Time pada 24 Mei 1999 yang berjudul Suharto Inc.: How Indonesia's
Longtime Boss Built a Family Fortune melawan asas kepatutan, ketelitian, dan
kehati-hatian. MA juga memerintahkan Time membayar ganti rugi immateriil Rp
1 triliun kepada Soeharto.

Nasib berkebalikan dialami Estrada, yang pada Rabu (12/9) divonis penjara
seumur hidup, dan seluruh kekayaannya yang ditaksir senilai US$ 87 juta
(sekitar Rp 800 miliar) disita. Vonis dijatuhkan atas dakwaan korupsi selama
dia memerintah.

Menarik untuk menyimak peristiwa yang dialami kedua mantan presiden itu.
Untuk kasus di Filipina, kita layak memberi apresiasi terhadap putusan
pengadilan setempat, yang berani menjatuhkan hukuman kepada seorang mantan
presiden. Hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.

Terlepas dari perlawanan yang dilakukan kubu Estrada untuk membuktikan dia
tak bersalah, vonis tersebut merupakan angin segar bagi upaya mengikis habis
korupsi yang menjangkiti kalangan penguasa di Filipina. Melalui vonis itu,
kita melihat betapa harapan untuk membasmi korupsi, masih ada di Filipina.

Sebaliknya, putusan kasasi MA atas kasus Soeharto dan Time sontak memicu
kecaman. Ada dua hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, putusan itu
menyiratkan lemahnya upaya penyelesaian dugaan korupsi yang dilakukan
Soeharto dan kroninya, meskipun sudah dimandatkan secara tegas melalui Tap
MPR No XI/MPR/1998.

Kedua, bagi dunia pers, putusan kasasi MA bagai menikam jantung kebebasan
pers. Majelis hakim tinggi yang memutuskan kasus itu, sepertinya mengirim
sinyal kepada masyarakat bahwa informasi mengenai penyimpangan yang
melibatkan penguasa diharamkan. Dengan segala instrumen hukum di bawah
kendalinya, penguasa akan selalu berupaya mementahkan semua informasi yang
dipublikasikan, dan mencari celah untuk menyerang balik.

Simpul dari apa yang terjadi atas diri Joseph "Erap" Estrada, Time, dan
Soeharto, adalah penyakit umat manusia yang bernama korupsi. Apa yang
dilakukan Time melalui laporannya, sebenarnya mirip dengan langkah berani
pengadilan Filipina. Time mencoba mengedukasi publik, termasuk aparat
penegak hukum di Indonesia, bahwa telah terjadi dugaan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang dilakukan Soeharto beserta keluarga dan kroninya.

Sayangnya, rakyat Indonesia disuguhi drama yang antiklimaks dari sebuah
lakon mengenai upaya mengusut dugaan korupsi mantan penguasa Orde Baru itu.
Sebaliknya, pengadilan di Filipina menumbuhkan harapan publik, bahwa masih
ada nurani yang menghidupi lembaga hukum mereka. Pada kasus Estrada,
pengadilan Filipina boleh dikata belajar dari pengalaman buruk saat gagal
menuntaskan pengusutan dugaan korupsi yang dilakukan mendiang Presiden
Ferdinand Marcos, istrinya Imelda Marcos, dan kroninya.

Apa yang terjadi dalam kasus Soeharto versus Time seolah melengkapi
ketidakmampuan pengadilan mengadili perkara korupsi jenderal besar itu.
Kenyataan tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa hukum di negara kita masih
tunduk pada penguasa, bukan pada nurani dan kepentingan publik.

No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.487 / Virus Database: 269.13.21/1010 - Release Date: 15/09/2007
19:54

Kirim email ke