http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8330

2009-06-01 
Kapitalis dan Demokrasi


Rahardi Ramelan



Dengan ditetapkannya Boediono sebagai cawapres mendampingi SBY, muncul polemik 
mengenai neoliberalisme. Pada sisi lain, capres-cawapres juga semakin gencar 
mengetengahkan perlunya penerapan ekonomi kerakyatan sebagai pilihan masa 
depan. Seolah-seolah ekonomi neoliberalisme telah dibenturkan dengan ekonomi 
kerakyatan. 

Kita akui, di dunia berkembang berbagai school of thought dalam bidang ekonomi 
seperti, neoliberalisme, ekonomi neoklasik, neokonservatisme, ataupun yang 
disebut dengan Washington Consensus. Berbagai sebutan dan istilah tersebut, 
terutama keluar dari hasil pemikiran para akademisi di perguruan tinggi, yang 
pada dasarnya berlandaskan pada masalah sekitar deregulasi, perdagangan bebas, 
privatisasi, dan terutama pemikiran yang mengandalkan peran pasar lebih besar 
dibandingkan dengan peran pemerintah. Kenyataannya, ekonomi kita sudah 
mengikuti paham-paham tersebut.

Walaupun kita masih memiliki BUMN, yang berada di bawah kendali pemerintah, 
tetapi patut disayangkan justru BUMN yang mempunyai tugas pelayanan publik, 
seperti Telkom dan Indosat, telah berada di tangan swasta (asing). Berbagai 
upaya deregulasi yang dimulai 1980-an, membuka lebar kesempatan investasi untuk 
investor asing dan keanggotaan kita di WTO menunjukkan bahwa perekonomian kita 
pada dasarnya telah berorientasi pada mekanisme pasar global. 

Hal itulah yang dirasakan oleh pelaku ekonomi tradisional atau ekonomi rakyat, 
bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam ekonomi. Sektor pertanian masih tetap 
termarginalkan. Perdagangan komoditas pertanian di kota-kota besar dilakukan 
oleh pasar modern atau supermodern, sedangkan para petani atau pengepul masih 
harus tetap bertransaksi di kaki lima atau pasar kaget. Pertumbuhan nilai tukar 
petani tidak sejalan dengan peningkatan kebutuhan hidup dan inflasi. Belum 
berkembangnya pasar dan pasar lelang produk pertanian, mengakibatkan 
pembentukan harga menjadi tidak transparan, dan petani tetap berada pada pihak 
yang tertekan. Usaha kecil dan mikrotradisional lainnya, baik di sektor 
pedagangan maupun industri, tidak dapat bersaing atau pun mengimbangi 
perusahaan terstruktur yang dikuasai para kapitalis.

Walaupun Robert B Reich, menteri perburuhan semasa pemerintahan Presiden Bill 
Clinton, dalam bukunya Supercapitalism (2007) telah mengungkap pengaruh 
kapitalis dan pengusaha dalam politik di Amerika Serikat, tetapi harus kita 
akui bahwa kehidupan politik kita pun telah dipengaruhi oleh kapitalis dan 
pengusaha. Kapitalis dan pengusaha telah memasuki dan memengaruhi ranah politik 
dan hukum, dan juga mempengaruhi demokrasi. Beberapa kasus korupsi di 
departemen, perbankan, dan pemerintah daerah yang diungkap oleh KPK, beberapa 
waktu yang lalu, menunjukkan sudah terbaurnya antara kapitalis, pengusaha, 
politik, dan demokrasi. 

Tidak dapat dimungkiri, kita membutuhkan hadirnya kapitalis dan pengusaha, yang 
bersama pemerintah, berkewajiban memperbesar ekonomi dan kekayaan nasional. 
Sedangkan keberadaan DPR/DPRD sebagai legislator bersama pemerintah, 
berkewajiban menjamin bahwa kekayaan yang dihasilkan dari perekonomian tersebut 
dapat dinikmati secara berkeadilan oleh seluruh masyarakat. 


Tim Sukses

Terbaurnya kapitalis dan pengusaha dalam politik dan demokrasi telah 
memengaruhi kewajiban pemerintah dan legislator untuk menentukan peraturan dan 
kebijakan yang berkeadilan. Akibatnya, masyarakat kecil pada umumnya merasakan 
bahwa berbagai peraturan dan kebijakan telah tercemar, serta keadilan yang 
sesungguhnya tidak tercapai. 

Pengalaman menunjukkan, untuk menempati jabatan strategis seseorang selalu 
didukung oleh tim sukses, baik itu untuk jabatan eksekutif di berbagai tingkat, 
jabatan politik, direksi BUMN, maupun menjadi anggota legeslatif. Tim sukses 
ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, yang biasanya didapatkan dari 
"sumbangan" pihak ketiga, baik perorangan, perusahaan, maupun para kapitalis. 
Keadaan inilah yang ditengarai menggerogoti kewibawaan dan pemihakan pejabat 
tersebut. Kita mengamati, bagaimana perilaku lembaga publik dan pejabatnya yang 
semakin menyerupai perilaku perusahaan dan kapitalis. 

Sampai terlaksananya pilpres pada 8 Juli 2009 kepada masyarakat akan disuguhi 
kompetisi antarcapres-cawapres bersama tim suksesnya. Denyut kampanye ala 
bisnis sudah mulai dirasakan. Tidak dapat terelakan, kompetisi yang hanya 
menentukan satu pemenang akan berlangsung secara keras dan mati-matian. 
Masyarakat sudah capai melihat dan mengikuti persaingan yang tidak sehat di 
antara kelompok pendukung capres-cawapres. Persaingan itu sudah jauh dari moral 
dan etika sebuah bangsa yang menganut ideologi Pancasila. Kita berharap, 
kompetisi ini dapat diselenggarakan secara bermoral, beretika, dan berbudaya. 
Capres dan cawapres telah menekankan agar kampanye diselenggarakan secara 
santun dan bersih, serta diharapkan mereka juga dapat mengarahkan dan mengawasi 
perilaku tim sukses beserta tim pendukungnya. Semuanya terpulang kepada capres 
dan cawapres, karena siapa pun yang menang, mereka yang akan menjadi pemimpin 
bangsa ini.

penulis adalah mantan Menperindag

Reply via email to