http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=62878
Karebosi, Revitalisasi atau Komersialisasi? (22 Apr 2008, 39 x , Komentar) Oleh: H M Ilham Alim Bachrie Tulisan ini akhirnya harus keluar walaupun tertunda sejak awal Desember 2007 lalu, bukan karena adanya teror SMS yang mendiskreditkan penulis waktu itu dan bukan pula atas order untuk menganalisa ataupun membuat pro-kontra,tapi semata-mata untuk mengungkap kebenaran "kebohongan publik serta berbagai "pelanggaran". Selain itu, ibarat peribahasa "anjing menggonggong dan kafilah berlalu", kesan seperti itulah yang nampaknya dilakoni oleh sang Penguasa Kota Makassar, termasuk pimpinan DPRD Kota Makassar terhadap segala kritikan serta gugatan yang mengatasnamakan revitalisasi Lapangan Karebosi. Sejak dimulainya pemagaran serta pembangunannya pada 16 Oktober 2007 lalu, pemerintah tidak perduli dengan segala kritikan yang diungkapkan melalui tulisan, pendapat oleh berbagai kalangan, di berbagai media cetak dan elektronik. Pokoknya tutup mata, telinga, dan gerakan tutup mulut (GTM). Pembangunan jalan terus! Dengan alasan aset milik pemda dan kebijakan otoriter walikota, tidak peduli apakah Karebosi itu sebagai warisan sejarah masa lalu yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Tallo dan Gowa, penjajahan dan Pemerintahan Gemente Belanda, zaman pendudukan Jepang, bahkan sudah ada sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI. Karebosi telah menyimpan banyak rahasia serta legenda. Semestinya terdaftar dan masuk dalam inventaris "benda cagar budaya/UU No.5/92). Karebosi juga sebagai land mark kota, artinya merupakan ciri khas serta identitas Kota Makassar. Secara de facto Karebosi adalah kekayaan dan milik masyarakat Kota Makassar, kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan, bahkan hanya Monas tandingannya di Indonesia. Karebosi adalah ruang publik, daerah resapan air, kalau terjadi banjir cepat kering. Itulah daya tarik Karebosi. Kalau alasan untuk mengatasi banjir, sebenarnya bisa didanai dan cukup oleh APBD Kota Makassar saja. Saya tidak bisa membayangkan, kalau pagar seng Karebosi terbuka, pasti akan kelihatan lapangan menjadi lebih tinggi dari jalanan di sekitarnya. Lantas, mau dikemanakan air banjir nanti? Apakah dijamin, tidak akan tumpah ke Jalan Sudirman, Kartini, Kajaolaliddo, dan Ahmad Yani dan menjadikannya sungai-sungai kecil? Ciri ruang publik adalah dia harus ruang terbuka untuk masyarakat bebas beraktivitas, free of charge alias gratis seperti Pantai Losari. Kota Bandung telah kehilangan keasrian Lapangan Alun-alun yang dulu merupakan kebanggaan Kota Kembang itu. Padahal luasnya hanya sepersepuluh Karebosi. Sekitar tahun 70-an dibeton. Karebosi pun akan mengalami nasib sama. Bahkan akan lebih parah dan itu. Dijual sedikit demi sedikit! Karebosi tidak bisa pula disamakan dengan Dataran Merdeka di Kuala Lumpur, Malaysia. Dataran Merdeka memang bukan ruang public tapi milik British Polo Club (Inggris). Ruang Bisnis di bawah lapangan itu, yang pernah dipersewakan oleh club, kini sudah tidak difungsikan lagi sejak 2002. Karebosi juga tidak bisa disamakan dengan Bazaar, (pasar di bawah lapangan yang ditinggikan sekitar dua meter dari jalan) di New Delhi, ibukota India. Semestinya Karebosi mencontohi Lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta (Zaman Pemerintahan Presiden Suharto dibuatkan Keppres) sebagai Pusat Paruparu kota dengan ditanami berbagai jenis pepohonan, dilestarikan sebagai hutan kota dan sekarang dipasang pagar yang indah. Setidaknya pinggiran Karebosi dilakukan hal yang sama, yakni ditanami pepohonan yang asri untuk mengimbangi gedung pencakar langit yang ada di sekitar Karebosi. Bukan justru ditambah bangunan hutan beton pula. Kalau nantinya Karebosi sebagian ruangnya sudah diubah menjadi bangunan untuk bisnis seperti dibanguni petak kios atau tempat jualan seperti mal dengan struktur basement dan ground floor, pakai sertifikat sistem satuan rumah susun nonhunian (penulis ikut membidani pembuatan perdanya 1994), berarti akan sama seperti di MTC. Tanda-tanda persiapan ke arah itu telah nampak karena kokohnya pondasi beton bertulang dan modelnya saat ini (ah, sungguh terlalu akal-akalan!). Bahwa sebagian ruang Karebosi akan berubah fungsi menjadi ruang komersil pasti akan berlaku berbagai ketentuan dan aturan di ruang komersial/mal. Orang tidak akan bebas beraktivitas di ruang tersebut. Sebab, akan berlaku ketentuan jam buka dan tutup mal dari jam, misalnya buka pukul 09.00 dan tutup pukul 22.00. Semua diatur sesuai keinginan pengelola usaha. Kalau ini terjadi, otomatis Karebosi telah dikuasai investor. Waktu penguasaannya sangat lama, 30 tahun. Jadi, apa sebenarnya alasan revitalisasi itu? Ketika penulis mengikuti pendidikan S2 jurusan Urban Management (Manajemen Perkotaan) di Unhas 15 tahun lalu, pengertian revitalisasi (alm DR.Hendarto), adalah suatu tempat yang pernah berstatus vital, kemudian tidak vital, dan akan divitalkan kembali. Misalnya, kota sungai di Chicago, Amerika Serikat, yang pernah vital kemudian mati, sehingga perlu divitalkan kembali dalam bentuk renovasiatau restorasi, bahkan direklamasi atau ditimbun. Inilah awal muncul istilah revitalisasi di perkotaan, dan istilah revitalisasi di Kota Makasssar dipakai pertama kali pada waktu revitalisasi Pantai Losari, 2002 lalu (Penulis sebagai Tim Penilai Umum Sayembara waktu itu dipilih oleh Walikota HB Amiruddin Maula). Istilah revitalisasi juga kadang-kadang menjadi guyonan di warung kopi, bahwa apabila alat keperkasaan laki-laki tidak berfungsi, maka perlu direvitalisasi (maaf diperkasakan kembali). Pembongkaran dan penjualan Lapangan Karebosi "dijebak" pula dengan istlah revitalisasi. Padahal, Karebosi tidak pernah tidak vital, dan sepanjang masa tetap sangat vital bagi warga kota (citizen) maupun pengunjung, termasuk orang Balanda dan Japang. Jadi, apa yang akan direvitalisasi di Karebosi? Salah kaprah! Kasihan Pemerintah Kota Makassar, tidak tahu atau diperbodoh, atau "mangiwang tongolo", terbuai atau main mata dengan investor yang akan membangun sebagian Karebosi menjadi "commercial space" (sebagai bagian dari MTC)? Kalau demikian, sangat murah dan kasihan Karebosi yang tidak jelas statusnya, dijual atau diberikan gratis. Pemerintah kota telah menunjukkan kekuasaannya sebagai sang penguasa kota yang tidak berpihak kepada kepentingan publik, tapi berpihak kepada investor. Berbagai trik, untuk memuluskan sebuah program kadang-kadang membingungkan. Masyarakat susah membedakan istilah investor dengan spekulator atau pun manipulator. Tidak bisa dipungkiri, bahwa trik terselubung tersebut telah terjadi di Karebosi. Lapangan itu sebagian sudah terjual untuk pemakaian 30 tahun ke depan, dengan alas hak sertifikat dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB). Space ini akan digerogoti sedikit-sedikit hingga ruang publik meyempit. Seingat penulis, diakhir tahun 1980-an sudah pernah ada isu bahwa sudah ada investor yang akan membangun Karebosi, dan sudah mendapat restu Gubernur Sulsel kala itu. Tetapi, isu tersebut hilang begitu saja, setelah mendapat reaksi keras dari berbagai tokoh masyarakat. Saat ini, bukan isu lagi, melainkan sudah pamer kekuatan Pemerintah Kota Makassar. Kominikasi "sipakatau" tidak jalan. Sepertinya telah terjadi "hukum rimba", siapa kuat dia berkuasa. Sebenarnya, Karebosi akan menjadi sangat indah apabila benar-benar mendapat mandat dari rakyat, bila perlu berupa referendum/jajak pendapat dari masyarakat, dan bukan Sayembara atau Sandiwara serta proses tender. Apalagi bila dibuat lorong di bawah tanah yang akan membedah Jalan Ahmad Yani. Ini tidak boleh dibiarkan, karena PT Tosan Permai Lestari sudah melakukan banyak pelanggaran, khususnya merampas hak pejalan kaki (juga Ruang publik), yakni bahu jalan di Nusakambangan, Ahmad Yani, bahkan membangun tangga di atas ruang publik di Jalan HOS Tjokroaminoto, karena MTC tidak memiliki lahan parkir yang sesuai kapasitas bangunan. Ada juga yang aneh, yakni pelanggaran bangunan di atas jalan dengan nama Jembatan Serba Guna. Apa yang dihubungkan jembatan buntung itu? Bangunan MTC saja perlu diteliti kelayakannya, terutama menyangkut keselamatan pengunjung. Semua itu bisa saja dikategorikan telah melanggar Undang-Undang No.26/Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang sanksinya tiga tahun kurungan dan denda Rp500 juta. Mulai pasal 58 sampai pasal 69, keberadaan MTC termasuk jembatan niaga akan mengurung popularitas dan mematikan legenda Pasar Sentral atau Makassar Mal yang dipenuhi UKMK. Kasihan PKL yang selalu diburu-buru, kasihan showroom Toyota, kasihan tata ruang kota kita ini yang telah hancur. Karebosi menjadi potret seakan semua cara dihalalkan. Misalnya sayembara yang diidentikkan dengan proses tender yang pemenangnya PT Tosan Permai Lestari. Tidakkah hal ini telah menyalahi ketentuan Keppres No. 80/2003, bahwa sebuah proyek yang anggarannya di atas Rp50 juta harus melalui tender, dan diikuti minimal tiga peserta yang harus mengajukan penawaran. Mengapa harus tertutup? Sekarang masa reformasi di mana tranparansi, akuntabilitas publik, serta supremasi hukum dikedepankan. Masyarakat sekarang tidak bodoh atau gampang dibodohi. Bahkan masyarakat sudah dapat menggugat melalui class action kepada pembuat kebijakan serta investor. Temuan BPK pada semester II tahun 2007 yang telah dilaporkan kepada DPR RI pada Maret 2008 mengindikasikan, bahwa akibat pelaksanaan revitalisasi Lapangan Karebosi telah terjadi kehilangan aset pemda yang dibiayai APBD sebesar Rp2,95 miliar. Apakah hal ini tidak masuk kategori telah terjadi tindak pidana korupsi? Semestinya indikasi ini diusut oleh KPK. Kepentingan bisnis tidak harus mengalahkan kepentingan publik. Perlu pertimbangan dari segala aspek sebelum membuat kebjakan, karena Karebosi, bukan milik Pemerintah Kota saja, melainkan milik publik. Dalam Kondisi seperti ini, pemerintah kota bisa saja mendapat tudingan telah membuat kebohongan publik, dan kalau ini terjadi, maka walikota, pimpinan DPRD, pejabat BPN, investor, dan pelaksananya serta siapa pun yang terlibat, dapat digugat pidana dan perdata ke pengadilan. Apalagi kalau telah diterbitkan sertifikat atas nama investor selama 30 tahun. Kesimpulannya, sebaiknya pembongkaran Karebosi tidak dilanjutkan atau dengan kata lain, hentikan pekerjaannya, tidak ada kompromi, dan tiada maaf. Pembongkaran termasuk pagar seng segera dibuka supaya transparan, sambil menunggu proses gugatan dan pemeriksaan di lembaga peradilan umum. Karena adanya pelanggaran tata ruang, maka sebaiknya kembalikan saja karebosi seperti sebelum direklamasi, dan mandat kepemilikannya seharusnya bukan hanya sebagai aset pemerintah kota saja, tapi di tingkatkan statusnya menjadi yang terinventarisir dan terlindungi sebagai "Cagar Budaya" (UU No.5 Tahun 1992). Perlu pula dihentikan pembohongan publik seperti adanya baliho bertuliskan "Bagus Mi Tawwa Karebosi-ta". Karena itu, pemerintah kota sebaiknya bersikap arif dan bijaksana menyikapi kuatnya gugatan dari berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, LSM, serta tokoh masyarakat terhadap pembongkaran Karebosi dengan dalih revitalisasi itu. Kalau perlu memohon maaf atas kekeliruan kebijakannya. Saya khawatir, kalau pemerintah kota tetap "ngotot" dan bersikap masa bodoh atau pamer kekuatan/bertangan besi seperti saat ini, maka tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi "people power". Kalau rakyat bersatu, sulit dikalahkan, karena rakyat sudah tidak takut lagi dan bosan dengan model "backingan" apalagi tekanan. Penulis mantan anggota DPRD Kotamadya Ujungpandang 1987-1999, tokoh masyarakat, pengamat BIMP-EAGA.