SUARA MERDEKA
Rabu, 06 Juni 2007

TAJUK RENCANA
Kekuatan Rakyat untuk Menjaga Bumi

Ketergopoh-gopohan banyak kalangan dalam merespons kondisi alam di Tanah Air 
saat ini sesungguhnya menggambarkan kecemasan terhadap realitas bumi. Kerusakan 
lingkungan terjadi secara massif di mana-mana. Simbol-simbol kekuatan bumi 
seperti hutan, gunung, bukit, sungai, dan pantai mengalami degradasi. Berbagai 
upaya rehabilitasi seolah-olah bergerak bagai deret hitung, sementara potensi 
kerusakan berjalan seperti deret ukur. Kesadaran untuk memulihkan ekologi 
memang muncul, tetapi "kesadaran" untuk melakukan pengrusakan dan penghancuran 
juga harus diakui terus berjalan.

Kalau hutan diyakini sebagai simbol utama kekuatan akomodasi bumi, kita harus 
melihatnya dari kacamata keprihatinan yang mendalam. Hari Lingkungan Hidup 
Sedunia, 5 Juni kemarin patut dijadikan momentum refleksi penting, walaupun 
kita tentu tak boleh sekadar merenung tanpa berbuat sesuatu. Bukankah 
sebenarnya Indonesia hingga saat ini dikenal sebagai salah satu negara dengan 
hutan terluas di dunia, bahkan pernah tercatat di urutan ketiga setelah Brasil 
dan Kongo? Namun tingkat kerusakan hutan kita juga sangat luar biasa, terutama 
karena pikiran dan tindakan yang semata-mata bermotif ekonomi.

Kerusakan hutan memberi pengaruh simultan bagi kualitas ekologis, terutama 
pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Kita sudah merasakan ketika 
kondisi cuaca tidak lagi dapat terprediksi, musim tanam yang otomatis menjadi 
kacau dan sulit direncanakan sehingga menyebabkan gangguan ketahanan pangan. 
Belum lagi yang menyerang daya tahan manusia sehingga rentan terhadap berbagai 
macam penyakit. Dari sisi keterjagaan habitat, pemanasan global mengancam 
kepunahan flora-fauna yang selama ini menjadi salah satu penyangga daya 
akomodasi bumi bagi kepentingan kehidupan.

Pada tingkat lapangan sudah dirasakan langsung berbagai dampak degradasi 
lingkungan. Banjir mudah datang di daerah-daerah yang semula tidak termasuk 
dalam "wilayahnya". Rob memperluas jangkauan limpasannya. Kekeringan menerpa 
kawasan-kawasan yang semula tidak pernah berpikir kekurangan air. 
Pergeseran-pergeseran semacam itu makin memperlihatkan "pemerataan" penurunan 
mutu ekologi yang juga menurunkan kualitas kehidupan. Rehabilitasi lahan 
merupakan salah satu jawaban, dan mungkin menjadi solusi satu-satunya sebagai 
reaksi yang sifatnya represif dan setelah peristiwanya terjadi. 

Peruntukan lahan dalam rencana tata ruang merupakan salah satu pemicu ketika 
kebutuhan kawasan permukiman dan industri tidak lagi dipertimbangkan dari daya 
akomodasi bumi. Antara visi ekologis dengan visi penegakan hukum belum berjalan 
berimbang, sehingga yang terjadi adalah kondisi-kondisi yang menggambarkan 
sikap terkaget-kaget, dan hukum yang tidak dapat berfungsi sebagai terapi 
preventif. Dalam sejumlah kasus, kekuatan modal terasa lebih berkuasa untuk 
menentukan perizinan, padahal filter izin itulah yang sesungguhnya harus 
dimaksimalkan sebagai pilar kekuatan iktikad menjaga bumi.

Berharap pada kesadaran rakyat, itukah jalan keluar untuk meyakinkan masih ada 
setitik harapan? Rakyatlah stakeholder utama lingkungan, sehingga mestinya 
pemberdayaan oleh kelompok-kelompok yang berkomitmen terhadap isu-isu ekologi 
lebih difokuskan untuk memberi mereka kesadaran dan peran. Rakyat harus terus 
dibangkitkan untuk mempertahankan hak atas kehidupan yang sehat dengan 
ketersediaan lingkungan berkualitas. Kita dorong elemen-elemen pecinta 
keterjagaan alam memberdayakan rakyat sebagai jawaban utama terhadap 
silang-sengkarut kepentingan kapitalistik terhadap bumi.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke