http://www.antaranews.com/berita/1274026152/ketika-gajah-terpaksa-keluar-dari-habitat

Ketika Gajah Terpaksa Keluar dari Habitat
Minggu, 16 Mei 2010 23:09 WIB | Warta Bumi | Masalah Lingkungan | 
Fazar Muhardi
Bengkalis (ANTARA News) - Hewan bongsor itu keluar dengan bergerombolan. Mereka 
bukan tengah berekreasi, namun terpaksa ke luar dari habitat aslinya karena 
kelaparan dan kian menyempitnya lahan hutan hunian mereka akibat maraknya 
perambahan. 

Begitulah peristiwa yang kerap terjadi di Kecamatan Pinggir, Kabupaten 
Bengkalis, Riau. Akibatnya adalah kerusakan rumah, tanaman kebun, dan kecemasan 
warga untuk tinggal di pedesaan setempat. 

Korban luka-luka bahkan meninggal dunia pun tak terelakkan. Peristiwa ini 
terjadi berulangkali dalam beberapa tahun terakhir di sebuah desa yang berada 
tepat di bibir hutan Kabupaten Bengkalis atau di kawasan konservasi SM Balai 
Raja yang kini hanya tersisa sekitar 500 hektare dari belasan ribu hektare 
sebelumnya. 

Namun demikian, pada perkembangan terakhir di bulan Mei 2010 ini, seekor anak 
gajah yang tertangkap di perkebunan sawit oleh pihak berwajib (pemerintah-red), 
oleh masyarakat setempat diminta untuk dibebaskan karena dia tidak mengganggu 
dan tidak membahayakan warga. Justru menurut warga di sana, apabila anak gajah 
itu ditangkap dan induk gajah itu mencarinya di sekitar permukiman maka akan 
lebih membahayakan keselamatan warga setempat. 

Penjelasan dan pemahaman yang sangat sederhana yang teruraikan dari pemikiran 
masyarakat bila kawanan gajah liar sudah keluar dari habitatnya adalah 
disebabkan oleh dua realita. 

Yang pertama, karena habitatnya sudah tidak layak untuk hidup akibat dirusak 
oleh manusia dengan penebangan hutan dan bahkan pembalakan liar secara 
besar-besaran. Realita yang kedua adalah karena manusia dengan sengaja 
membangun gedung industri dan permukiman di kawasan tempat di mana rombongan 
gajah itu melintas untuk mencari makan dalam siklus hidupnya. 

Realita ini menimbulkan berbagai pertanyaan, di antara kedua sebab tersebut, 
apa sebenarnya yang terjadi dengan hewan yang dilindungi negara itu? Mengapa 
gajah keluar dari habitatnya menuju ke perkebunan bahkan melintasi permukiman 
manusia?

Berdasarkan penelusuran ANTARA, pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda di 
tahun 1607 sampai degan 1636, gajah sangat bermanfaat dan mempunyai nilai 
ekonomis yang tinggi. Selain menjadi kendaraan kehormatan raja, pasukan darat 
Sultan Iskandar Muda juga mengandalkan kekuatan pasukan gajah untuk menaklukkan 
lawan perangnya. 

Bahkan ekspansi penguasaan atas wilayah semenanjung Malaya seperti Johor dan 
sekitarnya dilakukan dengan pasukan gajah ini, dan telah membuat pasukan asing 
dari Spanyol dan Portugis gentar. Pasukan gajah pada masa itu siap tempur 
menghadapi letusan senjata api dan meriam yang kerap membuat kebanyakan mereka 
teluka hingga tewas. 

Kala itu gajah diperlakukan hampir sama seperti manusia oleh bangsa kerajaan. 
Sebagai contoh, pada zaman itu, gajah jantan yang memiliki tubuh dan bulu yang 
ideal yang dapat memenangkan sebuah pertempuran, akan mendapatkan imbalan 
seekor gajah betina yang molek pula untuk dijadikan selir. Sedangkan bila gajah 
itu kembali dengan kegagalan ditambah dengan kondisi tubuh yang kurang ideal, 
maka gajah itu akan diperlakukan sebaliknya, dan akan mendapatkan hukuman. 

Pada zaman kerjaan itu, gajah bukanlah hewan liar yang ganas. Justru 
sebaliknya, berdasarkan cerita kuno yang dikutip dari sebuah buku `traciusang` 
berjudul `kerajaan gajah`, kawanan gajah pada zaman itu merupakan hewan raksasa 
yang paling dekat dengan manusia. Pemanfaatan gajah dilakukan masyarakat pada 
zaman itu untuk bertani, berkebun, dan yang paling handal, gajah yang 
sebelumnya telah dijinakkan biasanya digukan sebagai transportasi angkut barang 
dan manusia. 

Pada masa itu kebanyakan gajah liar, atau gajah yang belum pernah bersentuhan 
langsung dengan manusia bukan hanya dilindungi secara hukum, namun perlindungan 
gajah liar pada waktu itu juga cenderung ke pelestariannya dengan menjaga 
keutuhan habitat hewan belalai itu mulai dari pelestarian hutan dan mengawasi 
gerak-gerik gajah liar agar tetap nyaman di habitat aslinya. 

Cerita tersebut berbeda dengan yang terjadi terhadap hewan balalai itu saat 
ini. Di zaman modern sekarang, kebanyakan manusia memilih untuk melakukan 
perburuan gelap terhadap gajah liar yang dilindungi negara itu. Perlahan, sejak 
perburuan manusia yang dilakukan secara terus menerus itu, gajah-gajah kini 
mulai berkurang, dan bahkan terancam punah. 

Sebagai contoh, pada pertengahan April-Mei 2010, di Desa Petani, Kecamatan 
Pinggir, Bengkalis, kawanan gajah liar masuk keperkebunan warga dan 
mengobrak-abrik tanaman masyarakat di sana. 

Kedatangan segerombolan gajah itu mengakibatkan sedikitnya seribuan hektare 
perebunan milik warga rusak. Beberapa warga Desa Petani pada saat itu mengalami 
luka-luka akibat diterjang kawanan hewan bertubuh bongsor itu saat (warga) 
melakukan aktivitas di kebun. 

Kejadian tersebut, bukanlah yang pertama terjadi. Sebelumnya, di hari, bulan, 
tahun dan tanggal yang berbeda, sejak didirikannya pedesaan di bibir hutan 
tempat kawanan gajah itu tinggal, konflik sudah dimulai. Hampir setiap tahun, 
korban tewas baik dari gajah maupun manusia terus berjatuhan. 

Ironisnya, hal ini belum menjadi perhatian utama pemerintah daerah setempat, 
untuk memikiran bagaimana caranya menghentikan konflik mematikan itu.

Sampai sekarang, kedua pihak, baik gajah maupun warga Desa Petani, terus 
berupaya, saling teror dan sempat terjadi saling bunuh dalam kurun waktu 
beberapa pekan lalu, saat seekor gajah dewasa ditemukan tewas tanpa gading, dan 
seorang anak manusia warga Desa petani berusia 14 tahun meninggal dunia setelah 
diterjang puluhan gajah yang melintas di desa tersebut pada petang hari.

Kematian Satu Sama
Satu kematian untuk gajah, satu kematian pula untuk manusia. Manusia dan gajah 
di Kecamatan Pinggir dan Mandau, Kabupaten Bengkalis sama-sama mati gara-gara 
berebut lahan. Penyebabnya dimulai dari hilangnya kawasan konservasi gajah 
bernama Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja seluas 18 ribu hektare yang diubah 
jadi sebuah kota kecil. Tempat berdirinya Kantor Camat Pinggir, Pabrik Kelapa 
Sawit, dan pemukiman penduduk yang saat ini sudah menjadi sebuah pedesaan 
bernama Desa Petani. 

Kematian manusia akibat diinjak gajah jika dilihat data 2007, 2008 dan akhir 
2009, berbanding lurus jumlahnya dengan kematian gajah. 

Misalnya kematian Ronal (43) di tahun 2009, hanya berselang satu bulan dengan 
kematian seekor gajah di Balai Pungut, Kecamatan Pinggir. Gajah itu mati dalam 
keadaan kaki dan belalainya terjerat kawat, sementara gadingnya menghilang. 

Selanjutnya, kematian Posimbi (35) di tahun 2008, berselang dua bulan dengan 
kematian seekor gajah, yang mati dalam keadaan ditusuk benda tajam semacam 
tombak. Data terakhir, adalah kematian Riri (14) yang berselang sepekan setelah 
kematian seekor gajah betina dengan tubuh yang koyak akibat sabetan senjata 
tajam. 

Gajah dan manusia sama-sama mati di tempat ini untuk mempertahankan arealnya 
masing-masing bagi kelangsungan hidupnya masing-masing pula.

Awal Saling Bunuh
Tidak ada data pasti sejak kapan peristiwa saling bunuh antara gajah dan 
manusia itu terjadi. Namun dugaan kuat, peristiwa saling bunuh itu mencuat 
setelah gajah di kawasan itu makin terdesak di habitatnya. Bahkan benteng 
terakhir mereka yang dilindungi Undang-undang berupa SM Balai Raja seluas 18 
ribu hektare yang terletak di Kecamatan Pinggir pun telah disulap menjadi 
sebuah kota kecil. 

Di kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi gajah sejak tahun 1986 
hingga saat ini tersebut telah berubah menjadi kawasan kantor camat, perkebunan 
dan pabrik kelapa sawit serta permukiman penduduk. 

Bagaimana hal itu bisa terjadi dan siapa yang bersalah atas hilangnya kawasan 
itu? Tak ada satu pihak pun yang mengaku bertanggung jawab akan hilangnya 
kawasan konservasi itu.

Namun berdasarkan penelusuran data yang dilakukan ANTARA, diketahui jauh 
sebelum areal tersebut ditunjuk sebagai kawasan konservasi, PT Caltec Pacific 
Indonesia yang kini bernama PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah beroperasi 
pada tahun 1973. Mereka juga telah mendirikan sekolah di Desa Pinggir sebagai 
program pengembangan masyarakat. 

Kawasan konservasi itu juga dibangun di atas kawasan eks HPH PT Chandra, 
sehingga di dalam kawasan itu sudah ada jalan-jalan operasional. Kondisi itu 
membuat kawasan tersebut dari awal sudah rawan terhadap kegiatan perambahan. 

Untuk mengantisipasi kerawanan itu, pada tahun 1993 dilakukan penataan batas 
kawasan sepanjang 51 KM. Pada tahun 1993 itu berhasil dituntaskan tata batas 
sepanjang 33,72 KM. Dalam penataan batas itulah diketahuilah bahwa di dalam 
kawasan telah berdiri sejumlah kebun karet dan sawit. Bahkan naasnya pada tahun 
1995, pos jaga untuk kawasan SM Balai Raja itu dibakar oleh pihak tertentu, 
tidak diketahui motif dan tujuan pastinya.

Namun, karena telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi maka kawasan tersebut 
tetap harus dipertahankan. Untuk itulah tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam 
(BKSDA) melakukan patroli dan operasi gabungan di kawasan itu, walau tidak 
secara rutin.

Mengingat ada ancaman perambahan terhadap kawasan itu, pada tahun 1996 
dikeluarkan surat kepada Kepala Inspektur Wilayah Provinsi Riau agar 
menertibkan kepala desa yang mengeluarkan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) di 
kawasan konservasi tersebut. Itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam 
Negeri Nomor 593/1984, bahwa kepala desa dan camat tidak memiliki kewenangan 
untuk memberi izin pembukaan tanah.

Selanjutnya, pada 2001, Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Riau juga 
menyurati bupati walikota se-Riau untuk memberitahukan kawasan konservasi di 
masing-masing wilayah. Mereka juga diminta berperan dalam menjaga keberadaan 
kawasan konservasi yang ada. 

Namun, bukan tanggapan positif yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) 
Bengkalis. Pemkab Bengkalis justru mulai 2002 mulai membangun pabrik kelapa 
dawit dan Kantor Kecamatan Pinggir di kawasan Konservasi Balai Raja itu. Bahkan 
pemberitahuan secara lisan oleh petugas lapangan BKSDA tidak dipedulikan.

Pada Desember 2003 digelar rapat koordinasi penanganan masalah perambahan hutan 
di SM Balai Raja. Rapat itu dipimpin oleh Jhon Kenedie selaku Kepala BKSDA Riau 
dan turut dihadiri oleh Fadrizal Labai dari Dinas Kehutanan, Abdul Hamid 
mewakili Dinas Kehutanan Bengkalis, dan berbagai instansi terkait termasuk 
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan kepolisian. 

Dalam pertemuan itu disepakati di antaranya, komitmen untuk mengatasi 
perambahan, membentuk tim inventarisasi, dan melaksanakan upaya penanganan 
secara tegas terhadap pelaku perambahan. Namun butir-butir kesepakatan itu 
tidak terealisasi sampai saat ini. 

Itulah sebabnya kini, dari sekitar 18 ribu hektare kawasan konservasi SM Balai 
Raja yang tersisa hanya sekitar 500 hektare. Itu pun adalah Hutan Lindung 
Talang yang terletak di tepi Kompeks Perumahan Talang Chevron. Selebihnya 
kawasan konservasi yang membentang dari Kantor Camat Pinggir hingga ke Hutan 
Lindung Talang telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang dilengkapi berbagai 
fasiltas umum termasuk pabrik kelapa sawit, kebun kelapa sawit dan perumahan 
penduduk yang terus meluas. 

Seiring dengan itu, kawasan konservasi gajah lainnya yang letaknya tak jauh 
dari SM Balai Raja yakni Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga, Duri, seluas 5.873 
hektare juga terdegradasi. Tempat sekolah gajah itu sempat dibakar dan dirambah 
secara besar-besaran hingga akhirnya tidak bisa dipertahankan. Kawanan gajah 
itu akhirnya ditumpang-titipkan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim (SSK) 
yang kemudian dikenal dengan nama PLG Minas. 

Sejak hilangnya dua kawasan konservasi di wilayah Kecamatan Mandau dan Pinggir 
itulah diperkirakan konflik antara gajah dan manusia di dua kecamatan itu 
menjadi-jadi. 

Tanaman pertanian yang siap panen di kawasan itu kerap kali dijarah gajah. 
Sesekali rumah penduduk yang kebanyakan terbuat dari papan pun 
diluluhlantakkannya. 

Kalau sudah begini, siapa yang salah, dan siapa pula yang harus bertanggung 
jawab? 
(KR-FZR/H-KWR)
COPYRIGHT © 2010

Baca Juga
  a.. Gajah Liar Menetap di Kebun Warga Bengkalis
  b.. Gajah Rusak Gubuk Petani di Aceh Selatan
  c.. Gajah di Bengkalis Menuju Kepunahan
  d.. Seorang Ibu Nyaris Tewas Disepak Gajah
  e.. Gajah Rusak Ratusan Hektare Perkebunan Warga Bengkalis

Kirim email ke