http://www.gatra.com/artikel.php?id=112069
APBD Ketika Orang Miskin Merancang Anggaran Selain ibu rumah tangga, Warsi, 36 tahun, sehari-hari punya "bisnis" sambilan: beternak ayam. Kalau ayam milik sendiri mendingan. Ini milik tetangga yang dia piara. Bila si ayam kelak beranak-pinak, separuhnya menjadi bagian Warsi sebagai imbal jasa. Pas-pasan, memang. Tapi lumayan buat menopang pendapatan suami yang bekerja jadi buruh tani serabutan di pinggiran Kota Metro, Lampung. Saban hari, Warsi keluar-masuk kandang ayam dengan pakaian awut-awutan. Tapi tidak pada Sabtu siang, 26 Januari lalu. Hari itu, Warsi berdandan rapi. Ia mengenakan jilbab putih dan baju oranye terbaik, yang hanya dipakai pada saat Lebaran dan hajatan penting. Berduet dengan Harris, 38 tahun, juga buruh tani serabutan, Warsi membacakan kontrak politik bersejarah di Aula Gedung Wanita, Kota Metro. Siang itu, Warsi seakan menyandang posisi politik setara dengan Wali Kota Metro, Lukman Hakim, dan ketua DPRD setempat, Amir Hamzah, yang menyimak dengan saksama pembacaan kontrak politik itu. Dua pejabat inilah yang menentukan hitam-putihnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Metro, yang bisa juga berimbas pada nasib keluarga Warsi. Harris dan Warsi mewakili 7.000-an rumah tangga miskin atau 23,9% dari 30-an total kepala keluarga (KK) se-Kota Metro. Keduanya membaca "Piagam Kesepakatan Penanggulangan Kemiskinan Kota Metro". Sebelas pasal piagam yang juga disebut "Citizen Charter" itu berisi kawalan agar APBD Metro diprioritaskan untuk memenuhi hak dasar warga miskin. Mulai bidang pendidikan, kesehatan, sampai akses ekonomi. Langkah itu untuk mengerem kebiasaan politik anggaran pemerintah yang cenderung tersedot untuk belanja rutin atau proyek elitis yang tidak berimbas langsung pada penyelesaian problem rakyat miskin. Setelah pembacaan kontrak, 25 orang naik panggung. Dengan senyum merekah, mereka bergantian menandatangani empat lembar kopian komitmen politik itu. Mulai wali kota, ketua DPRD, rektor tiga perguruan tinggi, pimpinan delapan organisasi lintas agama, organisasi wanita, enam LSM, dan pungkasannya, Warsi dan Harris, wakil keluarga miskin. Aneka menu "makanan rakyat" mengiringi hajatan itu. Ada minuman beras kencur, wedang jahe, kunyit asam, serta kacang dan pisang rebus. Kontrak politik skala lokal itu sampai mendapat perhatian dari para tokoh berbagai agama tingkat nasional, yang juga terlihat menikmati makanan tradisional tadi. Tampak hadir Syafii Maarif (tokoh Muhammadiyah), Kardinal Julius Darmaatmadja (Uskup Agung Jakarta), Pendeta A.A. Yewangoe (Ketua Umum PGI), Djaunggrana Ongawijaya (tokoh Konghucu), dan Udayana Sangging (tokoh Hindu). Wakil Rais Am PBNU, KH Tolchah Hasan, sedianya datang, tapi berhalangan mendadak. Mereka menandaskan, inisiatif lokal macam itu penting dijadikan contoh untuk gerakan skala nasional, yang mengusung semangat kebijakan anggaran yang memihak kaum miskin. Lebih-lebih ketika kepemimpinan nasional mereka kritik kurang berkarakter. Maka, harapan dari kepemimpinan lokal mendesak ditumbuhkan. Bagi para tokoh lintas agama, tema itu juga penting untuk menggeser agenda kerja sama antar-agama. Dari tema-tema besar-abstrak, semacam komitmen kebangsaan dan seruan hidup rukun, ke agenda yang nyata-nyata digeluti rakyat: kemiskinan dan pelbagai efek berantainya. Tugas agamawan kini harus terus memotivasi lahirnya kebijakan pro-rakyat miskin. Syafii Maarif menekankan, kontrak politik itu jangan hanya berhenti jadi seremoni. Harus diimplementasikan. Setengah berkelakar, Syafii mengingatkan, penandatanganan piagam itu disaksikan langsung oleh kardinal. "Beliau ini bukan tokoh main-main. Wakil Paus di Indonesia. Kalau sampai piagam ini tidak dijalankan, Vatikan bisa marah," kata pendiri Maarif Institute, lembaga yang memfasilitasi tercapainya kontrak politik itu. "Metro ini harus jadi contoh buat Indonesia. Jadi pelopor jihad total melawan kemiskinan." Syafii mengajak para tokoh agama untuk tidak sekadar berceramah di masjid, geraja, vihara, dan kelenteng. Melainkan juga terjun langsung membantu menyelesaikan masalah kemiskinan. Energi berlebih kelompok agama garis keras, kata Syafii, hendaknya dicurahkan untuk memberantas kemiskinan. Bukan untuk membunuh atau bom bunuh diri. Jangka waktu piagam itu tiga tahun. Minimal tiap semester dilakukan evaluasi. Peran implementasi kontrak politik itu dibagi tiga. Pemerintah berperan mengalokasikan anggaran, melaksanakan program, dan layanan. DPRD memberi dukungan produk hukum. Pihak swasta, termasuk warga miskin, berpartisipasi menyusun anggaran, memonitor, dan mengevaluasi. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, angka kemiskinan tertinggi di Metro justru di tengah kota. Dikenal dengan kaum miskin kota. Meski kota, 51% wilayah Metro berupa lahan pertanian. Kaum miskin kota itu bekerja jadi buruh bangunan, buruh migran, kuli pasar, tukang becak, pedagang kaki lima, buruh cuci dan setrika. Bila musim panen, mereka jadi buruh tani. Pendapatan mereka Rp 5.000-Rp 10.000. Dalam APBD Metro 2006 yang senilai Rp. 235 milyar, hanya Rp 239 juta (0,1%) untuk program kaum miskin. Wali Kota Lukman Hakim, kepada pers usai menandatangani kontrak politik, menyatakan bahwa APBD Metro 2008 akan mengalokasikan 17,3% untuk pengentasan kemiskinan. Plafon untuk mendongkrak usaha kecil dan menengah juga terus dinaikkan. Bila tahun 2006 hanya Rp 750 juta per kelurahan, tahun 2007 naik jadi Rp 1 milyar, dan tahun 2008 bertambah jadi Rp 1,150 milyar. Pendeta Yewanggoe mengingatkan, demokrasi bukan hanya alat untuk mencapai kekuasaan. Melainkan juga tata nilai dalam menjalankan kekuasaan. Termasuk prinsip keadilan semangat emansipatoris dalam kebijakan anggaran. Lewat partisipasi pengelolaan anggaran, energi Warsi, Harris, dan warga miskin lainnya bukan hanya disedot ketika pemilu untuk menyokong seseorang jadi pemimpin. Mereka juga berhak menikmati dampak perbaikan hidup lewat alokasi anggaran. Buah demokrasi langsung yang berhak mereka cicipi. Asrori S. Karni [Nasional, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 14 Februari 2008
<<81.jpg>>