T = Bung Leo, seorang filsuf Perancis menyatakan saya berpikir
maka saya ada (memang berbeda, sebab Rene Descartes mengatakan saya
berpikir, dan Bung Leo mengatakan saya sadar), ini yang Bung Leo pilih
dalam konteks penciptaan untuk menghindari diskursus mengenai realitas
bendawi seperti raga, batu serta pepohonan.



J = Filsuf Perancis dari abad ke-17, Rene Descartes (1596-1650), juga
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Descartes seorang filsuf yg
juga seorang ilmuwan fisika dan matematikawan. Ucapannya yg terkenal
"Cogito Ergo Sum", artinya: aku berpikir maka aku ada.



Yg jarang diketahui oleh orang banyak adalah penemuan Descartes tentang
apa yg disebutnya sebagai God Spot. God Spot adalah kelenjar pineal yg
letaknya persis di tengah batok kepala kita, dan saya
mengidentifikasinya sebagai Cakra Mata Ketiga.



So, Descartes adalah seorang filsuf yg bermeditasi. Meditasinya dimana
kalau bukan di God Spot itu, di kelenjar pineal, which is none other
than Cakra Mata Ketiga seperti dikenal oleh kebudayaan India. Terkadang
God Spot itu disebut juga sebagai Mata Siwa.



Tetapi menyadari bahwa kesadaran kita itu ada karena memang ada tidak
berarti lalu kita menghindari diskursus tentang benda-benda fisik.
Descartes itu seorang ilmuwan fisika, penemuannya masih dipakai sampai
saat ini, ingat istilah "cartesian"?



T = Bagi saya kemudian ini adalah salah satu contoh dari domain pribadi
yang anda singgung beberapa waktu lalu. Pada satu sisi manusia adalah
makhluk social yang tentunya juga kemudian sebagai implikasinya
memiliki kesadaran kolektif dan kebenaran kolektif.



J = Mungkin maksud anda adalah keterkaitan antara domain pribadi dan
domain publik. Di domain pribadi kita bisa kultivasi God Spot itu, yg
tidak lain dan tidak bukan cuma merasakan bahwa kita ada karena kita
ada.



Lalu kita bisa memilih filsafat pribadi apa yg akan kita adopsi dan
jadikan panutan kita sendiri. Kita buat sendiri dan kita pakai sendiri.
Lalu kita akan hubungkan domain pribadi itu dengan domain publik,
kehidupan kemasyarakatan.



Ya, memang seperti itu hubungannya. Bukan domain publik yg menentukan
domain pribadi, tetapi domain publik merupakan kumpulan dari domain
pribadi. Kita mengatur kepentingan bersama di domain publik, dan
mengatur kepentingan kita sendiri-sendiri di domain pribadi.



Tetapi hal ini terbalik-balik, terutama karena kegilaan agama-agama yg
mau mengatur manusia menjadi robot syariat. Di Barat masa lalu, manusia
diatur agar menjadi robot syariat, dalam hal ini syariat yg berdasarkan
ajaran agama Nasrani. 



Segala macam pelecehan HAM dilakukan oleh mereka yg berusaha menegakkan
syariat Nasrani di Barat. Tetapi manusia akhirnya sadar, muncul abad
pencerahan, masa modern, dan sekarang masa POST modern di Barat.



Sekarang manusia tahu bahwa agama-agama itu, kalau dibiarkan
merajalela, akhirnya manusia akan dilecehkan dan dijadikan robot
syariat saja. Di Barat maupun di Timur, segala macam pelecehan atas
nama agama selalu marak sampai manusianya sendiri sadar bahwa dirinya
itu sadar.



Kita sadar bahwa kita sadar setelah kita menemukan God Spot yg adanya
di batok kepala kita sendiri. Kita diam saja, dan kita akhirnya tahu
bahwa kita ada karena kita ada, saya ada karena saya ada. 



Dan apa yg saya lakukan dengan hidup saya sendiri merupakan tanggung
jawab saya sendiri. Saya bisa memilih, dan saya sendiri yg menanggung
konsekwensinya. Anda bisa memilih, dan anda sendiri yg menanggung
konsekwensinya. As simple as that.



Dan pengertian itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep
Allah dan segala macam syariat, baik syariat Nasrani seperti di Barat,
maupun syariat agama lain di belahan dunia lainnya. 



Kita bisa mendefinisikan Allah sebagai apapun, dan itu adanya di domain
pribadi. Kita yg percaya, dan kita yg menjalani. Tetapi kalau sudah mau
membawa konsep Allah dalam domain publik, maka namanya sudah overdosis.



Indonesia ini masih overdosis dengan membawa-bawa segala macam konsep
Allah dalam domain publik. Kalau mau dibawa juga, maka mau tidak mau
kita akan harus membantah segala macam definisi tentang Allah dan
syariatnya. 



Saya sudah mencontohkan bahwa konsep amal ibadah yg berasal dari agama
itu cuma akal-akalan saja, yg digunakan di masa lalu ketika masyarakat
masih bodoh, ketika manusia tidak sadar bahwa dirinya itu memiliki HAM
(Hak Azasi Manusia).



Masyarakat Barat yg telah menelanjangi dan membuang syariat dari agama
Nasrani itu adalah masyarakat maju yg menghormati HAM. So, ternyata
semakin maju masyarakatnya, maka semakin dibuanglah segala macam
perdebatan haram dan halal yg asalnya dari agama. 



Kita tahu bahwa agama itu terutama berguna di masa lalu ketika manusia
masih bodoh. Kalau manusianya sudah bisa sadar bahwa dirinya itu sadar,
dan bahwa dirinya itu mempunya pilihan, maka bisa saja agama itu
dibuang, dan manusianya tidak akan kekurangan suatu apapun.



Saya sadar bahwa saya sadar atau, menurut Rene Descartes: aku ada
karena aku berpikir, merupakan pengertian tertinggi yg bisa dicapai
oleh manusia hidup.



T = Saya suka gaya James Redfield dalam novel-novelnya yang saya
simpulkan menjadi “mencapai kesempurnaan bersama dengan kesadaran
kolektif”.



Orang buta pun bisa merasakan realitas bendawi secara fisik melalui
sentuhan, artinya sesuatu yang bendawi itu tidak saja ada secara konsep
tetapi memang faktanya ada. Bahkan menurut saya konsep itu hadir untuk
menjelaskan atau mendefinisikan benda-benda yang sudah ada.



Seperti kata jeep yang muncul setelah general purpose vehicle itu
tercipta, orang tidak menciptakan kata jeep sebelum jeep itu ada.
Seperti kesadaran itu ada dalam diri kita dan ketika kesadaran itu
menghilang ketika kita menyatakan diri kita sadar.



Orang berkonsep tentang Tuhan untuk memberi nama pada sesuatu yang
mereka anggap ada dan lebih besar dari alam semesta, berdasar pada
proses pengambilan kesimpulan dari adanya semesta itu sendiri.



J = Ya, memang seperti itu. Tuhan atau Allah itu cuma konsep saja,
untuk merujuk kepada sesuatu yg lebih tinggi, lebih besar, lebih mampu
dari diri manusia fisik. Allah itu sebenarnya merupakan proyeksi dari
kesadaran kita.



Kita memproyeksikan kesadaran kita, dan itulah yg kita sebut sebagai
Allah. Para nabi memproyeksikan kesadaran mereka, dan akhirnya bisa
benar-benar merasakan bertemu dengan malaikat yg membawa wahyu dari
Allah.



Pedahal, segala macam itu mulanya dari para nabi itu sendiri yg sadar
bahwa diri mereka sadar. Lalu mereka ber-kontemplasi, dan
memproyeksikan kesadaran itu, sehingga akhirnya bisa juga mengalami
"halusinasi" bertemu dengan Jibril, dengan Mikail, dengan Israil, dan
entah malaikat apa lagi which is also oke saja.



Segalanya itu oke saja karena sebenarnya yg berdialog itu sang nabi
sendiri. Berdialognya juga bukan dengan orang lain, atau bahkan dengan
Allah menurut pengertian orang-orang yg tidak mengerti. Sang nabi
berdialognya dengan kesadaran di diri sang nabi sendiri, walaupun tentu
saja sang nabi harus bilang bahwa ada malaikat yg datang untuk
menjelaskan fenomena itu kepada masyarakat yg masih terbelakang.



Kita saat ini bukan masyarakat terbelakang, tetapi agama-agama itu
tetap saja mau memaksakan pendapat mereka bahwa sang nabi itu benar
bertemu dengan Allah. Pedahal kita tahu bahwa itu cuma dialog di dalam
kesadaran sang nabi sendiri, dan Allah itu tak lain dan tak bukan
merupakan proyeksi dari kesadaran sang nabi sendiri.



The prophet creates Allah, then later says that Allah creates him or
her. Sang nabi menciptakan Allah, dan lalu mengaku bahwa Allah yg
menciptakan dirinya.



T = Pencapaian higher self memberikan kepada kita kebenaran. Dalam fase
itu tentunya bisa menjawab kenapa kita ada. Pada hal ini, kesadaran
pribadi dan kolektif tentunya bisa menjelaskan tentang penciptaan. Saya
teringat dengan film India Mahabarata, yang selalu pada awal ada narasi
mengenai sang “kala/waktu”.



Tentunya kemudian ada titik temu antara higher self tadi dengan
realitas ilmiah jika keduanya sama-sama pada jalan yang “benar”. Walau
pun justru nilai “ilmiah” itu sendiri mungkin memiliki ketidaksesuaian
karena berangkat dari asumsi-asumsi nalar manusia yang pada tahap
tertentu masih berupa hypothesis yang tidak mutlak “kebenarannya”.



Atau kemudian dalih yang diambil adalah kebenaran dalam higher self
adalah milik pribadi sehingga orang lain yang menginginkannya silahkan
untuk mencari sendiri dan sadar-lah sendiri-sendiri. Bagi saya hal ini
kemudian mengingkari kenyataan bawa manusia makhluk social. Tanpa
social bond yang dibentuk oleh manusia (terlepas dari kepentingannya),
manusia tidak akan survive hingga saat ini.



J = Ada yg namanya kesadaran pribadi per pribadi yg harus dijalani
sendiri oleh manusianya, dan ada pula yg namanya "kesadaran kolektif".



Masyarakat Barat yg menghormati HAM itu memiliki kesadaran kolektif
dalam arti mereka menghormati kebebasan individu untuk kultivasi
apapun, dan mereka mengatur domain publik agar semaksimal mungkin bisa
melindungi kebebasan individu.



Domain pribadi dan domain publik berjalan bersamaan.



Siapa bilang di Barat itu individualisme merajalela? Menurut saya, yg
individualismenya merajalela itu justru di Indonesia ketika orang-orang
yg petantang petenteng sebagai umat beragama menuntut orang-orang lain
untuk menghormati mereka.



Pedahal penghormatan itu harusnya diberikan kepada semua warganegara,
baik beragama maupun tidak beragama. Kalau sudah menuntut penghormatan
berlebihan seperti ingin dihormati sebagai orang suci karena berjilbab,
maka itu namanya sudah keterlaluan, tapi kita maklum saja, karena
namanya juga manusia yg masih belum tercerahkan. 



Mereka yg mengaku beragama, semakin fanatik semakin terbutakan, dan segala 
macam pemikirannya semakin tidak masuk akal.



Namanya waham (delusion) atau penipuan diri sendiri. Orang yg fanatik
beragama itu menipu dirinya sendiri, dengan berpikir bahwa mereka
mengumpulkan amal ibadah supaya diterima di sisi Allah SWT. Pedahal
kita tahu bahwa Allah itu cuma proyeksi dari kesadaran kita saja, dan
bukan akuntan yg menghitung segala macam amal ibadah kita. Tidaklah,
tidak seperti itu. 



Kita tidak se-primitif itu lagi.



Leo

@ Komunitas Spiritual Indonesia 
<http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>.



Filsuf
dan ilmuwan Perancis, Rene Descartes, yg bilang bahwa aku berpikir maka
aku ada. I think, therefore I am. Bukankah itu sama saja seperti ucapan
Al Hallaj: ana al haq. Atau ucapan Nabi Isa: Allah dan aku adalah satu?
I think, therefore I am, cuma itu saja pengertian terakhir yg bisa kita
capai sebagai manusia hidup, dan dicapainya melalui kultivasi God Spot
atau Cakra Mata Ketiga. Kultivasi adalah meditasi, wirid, diam saja,
just feel it!


      Get your new Email address!
Grab the Email name you&#39;ve always wanted before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

Kirim email ke