============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
ANALISIS POLITIK
Koalisi Pecah? Tidaklah!
Selasa, 16 Februari 2010 | 03:05 WIB
Oleh SUKARDI RINAKIT
Pada malam menjelang Imlek, seorang teman, Djoni Saleh, mengirim pesan melalui 
SMS kepada saya, ”Kong Si Pe Cah. Haiyaa! Kwa Lie Sie Bu Bar laah!” Sulit untuk 
tidak tersenyum membaca itu.
Seminggu terakhir ini, ranah politik memang dipanaskan oleh adu gertak antara 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. 
Dengan demikian, banyak pihak menduga- duga tentang kemungkinan pecahnya 
koalisi partai politik pendukung pemerintah; Golkar mundur dari koalisi atau 
justru ditendang keluar begitu saja.
Semua diawali dari pernyataan Yudhoyono mengenai penggelapan pajak. Lalu 
disusul pernyataannya mengenai bahaya praktik kolusi antara birokrat dan 
pengusaha. Banyak pihak menduga ini adalah manuver Presiden untuk menekan 
Aburizal Bakrie. Semua berhubungan dengan sikap politik Golkar di Pansus DPR 
tentang Hak Angket Bank Century. Partai ini sampai hari ini tampak tidak goyah 
dari tekadnya untuk membuka skandal dana talangan (bail out) Bank Century.
Alih-alih diam digertak Presiden, Aburizal Bakrie memberikan respons keras. Ia 
bukan saja tidak takut diancam soal pajak, diancam dibunuh pun tidak akan 
gentar. Bahkan, entah berhubungan atau tidak, tiba-tiba ada pertemuan pimpinan 
Golkar, yang juga dihadiri oleh para menteri yang berasal dari partai tersebut.
Bagi sebagian orang, fenomena tersebut dianggap sebagai sinyal bahwa 
keikutsertaan Golkar dalam roda kekuasaan saat ini akan segera berakhir.
Saya berpendapat sebaliknya. Meskipun hubungan antara Presiden dan Ketua Umum 
Partai Golkar memanas, koalisi tidak akan pecah. Para menteri dari Golkar tidak 
akan diganti. Mereka akan tetap di pemerintahan.
Dari sisi Yudhoyono, melakukan reshuffle kabinet saat ini adalah ibarat 
menantang prahara. Ketika harga beras masih mahal, intensitas demonstrasi 
mahasiswa dan aktivis masih tinggi, sikap Pansus Bank Century yang teguh dan 
kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja pascapembukaan pasar bebas 
ASEAN-China, memecah koalisi adalah langkah politik berbahaya. Ini bukan saja 
dapat mengerdilkan jumlah kursi koalisi partai berkuasa di parlemen, melainkan 
juga memicu gerakan ekstraparlementer.
Pendeknya, situasi yang panas dalam lingkaran elite berpotensi mengobarkan 
semangat perlawanan publik. Perasaan tanpa optimisme dan tidak adanya kepastian 
hidup ibarat delapan bom neutron, bisa meledak kapan saja. Jika hal itu 
terjadi, sekuat apa pun tembok kekuasaan dipertahankan, ia akan roboh. 
Sebaliknya, jika ledakan tidak terjadi, apatisme publik akan menjadi bentuk 
pembangkangan tanpa kekerasan yang efeknya tak kalah dahsyat dengan kemarahan 
massa.
Oleh sebab itu, para elite Republik sebaiknya tidak saling gertak. Itu bukan 
saja bisa memicu keresahan sosial, melainkan juga membongkar rahasia diri 
pribadi. Ibu saya dulu sering berpesan, ”Jika ada perbedaan apa pun, rasakan 
dalam-dalam di hatimu, jangan malah sombong dan berkoar, nanti malah tampak 
kebodohanmu.” Entah dari mana ibu memungut kebijakan itu. Mungkin dari menonton 
wayang kulit.
Kultur berkuasa
Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat tidak mungkin memecah koalisi, demikian 
juga dengan Golkar. Partai ini - sama dengan partai koalisi lain, terutama 
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) - sadar betul bahwa Yudhoyono dan Partai 
Demokrat tidak akan sok berani mengeluarkan mitra koalisi. Sekali langkah itu 
ditempuh, posisi mereka akan menjadi rapuh. Akibatnya, pemerintahan menjadi 
tidak efektif.
Apabila Golkar akhir-akhir ini bersuara lantang, bukan berarti ia berniat 
mundur dari koalisi. Kultur partai ini adalah kultur berkuasa. Ia enggan 
menjauh begitu saja dari medan magnet kekuasaan. Mereka sadar betul bahwa 
menjauh dari lampu kekuasaan berarti memperberat beban partai dalam melakukan 
manuver politik dan penetrasi ke konstituen.
Menyangkut kasus Bank Century, sikap politisi Partai Golkar dan PKS di Pansus 
memang harus seirama dengan partai-partai nonkoalisi (PDI Perjuangan, Hanura, 
Gerindra). Melawan arus ini, masa depan politik mereka akan suram. Karier 
politik mereka akan habis karena publik akan menutup pintu bagi mereka.
Kekhawatiran seperti itu, sekali lagi, mengokohkan kultur berkuasa Partai 
Golkar selama ini. Ia selalu pandai membaca pusaran arus sehingga biduk partai 
selalu merapat pada kekuasaan.
Dalam konteks konfigurasi politik masa kini, partai berkuasa harus terbiasa 
dengan pergeseran sikap politik mitra koalisi. Untuk kebijakan tertentu, kadang 
mereka akan menjadi pendukung loyal. Untuk masalah lain, sikap mereka bisa 
berubah menjadi pendukung kritis atau bahkan oposisi (spoiler) laiknya partai 
nonkoalisi. Inilah penyakit bawaan sistem presidensial yang semiparlementer.
Akan tetapi, kelemahan sistem presidensial yang tidak murni tersebut dapat 
dimininalkan kerumitannya melalui ketegasan dan keberanian Presiden. Setelah 
melakukan resume power, sejatinya Presiden tidak perlu banyak mengeluh, apalagi 
menggertak mitra koalisi. Apabila yang ditekan melawan, rakyatlah yang 
kebingungan. Aura optimisme yang sudah mendekat akhirnya buyar dan berubah 
menjadi lingkaran pesimisme.
Meskipun demikian, soal koalisi, kita tidak perlu khawatir. Mereka saling 
membutuhkan. ”Kwa Lie Sie Pe Cah? Tidaklah!”
Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate  [Kompas, 16/2/10]. 
---------- 
Menjadi presiden dan wakil presiden itu karena dipilih rakyat. Rakyat 
memilihnya karena percaya dan terpesona kembang gula, terutama kepincut iklan 
dan janji-janjinya. 
Jadi kalau nanti ingin jadi presiden, harus perbanyaklah iklan media - digeber, 
berapa pun biayanya harus berani membayar (dengan catatan: harus bayar sendiri 
ya – jangan sampai pakai uang korupsi, kolusi – apalagi pakai uang bailout atau 
apa....) siapkan tim profesionalnya, yang penting ‘nyantel’ di benak rakyat. 
Kalau nggak bisa begitu jangan harap jadi presiden...! Tetapi itu 
kemarin....ya?! Sampai-sampai pada geleng kepala, uang dari mana kok semudah 
itu dihambur-hamburkan untuk iklan media... belum secara konvensionalpun 
terkesan gemerlap.
Ehh, ternyata ekornya cukup panjang – sehingga mau tidak mau ‘kejepitlah 
ekornya’ – karena besar dan panjangnya, mau kemanapun pastilah kelihatan 
ekornya dari belakang.. 
Sebenarnya masyarakat itu hanya ingin sejahtera. Mau ekornya sedang kejepit 
kek, atau beras naik kek, atau gas mau naik kek, tetapi mbok ya para 
pemimpinnya itu berlaku seperti guru, yang ‘bisa digugu dan ditiru’ – jangan 
malah semakin kelihatan ‘wagu tur kuru’. Jangan pula ribut muluu.., apalagi 
cuma ngurusi 'kuali-kualisi'nya sendiri, yang hanya untuk mengamankan 
kepentingannya kelompoknya sendiri – bahkan berebut saling bentak di depan mata 
rakyat lagi – apa sudah nggak pada punya malu? Apa sudah nggak ada program yang 
lebih prioritas untuk kesejahteraan rakyat?! 
Padahal sesungguhnya mereka itu berkoalisi langsung dengan rakyat, yang lain 
hanya balancing saja. Jadi jangan ribut muluu... mendingan mikirin ‘isi kuali’ 
rakyat, yang jelas2 sudah pada mulai miring – sampai-sampai ada yang harus 
makan nasi aking.... Supaya kekuatan tegak kembali dan kuat membangun negeri 
ini dengan penuh semangat.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke