http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/01/22/krn.20100122.188618.id.html
Korupsi Dana Pendidikan Jum'at, 22 Januari 2010 | 00:13 WIB Penyimpangan dana alokasi khusus untuk pendidikan tidak semestinya dibiarkan. Kebocoran yang merugikan negara triliunan rupiah ini akan berulang setiap tahun jika Komisi Pemberantasan Korupsi hanya membeberkan modus dan mengeluarkan semacam peringatan. Bagaimanapun, perlu tindakan tegas dari penegak hukum untuk membasmi wabah korupsi dana pendidikan di berbagai daerah. Temuan itu diungkap oleh KPK saat menyampaikan evaluasi pengelolaan dana alokasi khusus tahun 2009 untuk pendidikan, belum lama ini. Total duit yang dibagikan ke 451 daerah tingkat dua mencapai Rp 9,3 triliun. Dari jumlah ini, diperkirakan Rp 2,2 triliun telah diselewengkan di 160 kabupaten atau kota. Mereka sebenarnya tidak membutuhkan dana itu, tapi tetap mengajukan permohonan dan, celakanya, dikabulkan. Pembagian duit yang termasuk dalam dana perimbangan ini hanya ditujukan untuk memperbaiki ruang kelas dan membangun perpustakaan sekolah dasar. Tapi banyak kepala daerah berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan kucuran dana, kendati sekolah-sekolah di daerahnya tidak membutuhkannya. Tanpa merasa bersalah, mereka kemudian menggunakan dana pendidikan ini untuk keperluan lain. Menyikapi temuan itu, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin hanya mengimbau agar dilakukan perbaikan menyeluruh dalam pengelolaan dana alokasi khusus tahun ini. Artinya, tidak akan ada tindakan hukum terhadap penyelewengan yang mencolok itu. Sikap seperti ini jelas tak membuat para pejabat di daerah takut, apalagi jera. Sejak otonomi daerah dilaksanakan 11 tahun silam, imbauan untuk mengakhiri penyimpangan seperti itu sudah sering disampaikan. Tapi tetap saja korupsi dana pendidikan muncul setiap tahun. Seharusnya KPK bekerja sama dengan kejaksaan jika tak sanggup menangani sendiri kasus korupsi yang tersebar di banyak daerah itu. Komisi bisa berkonsentrasi menelisik pejabat di Departemen Pendidikan yang diduga terlibat penyelewengan. Perlu ditelusuri pula mengapa anggaran itu disetujui oleh Departemen Keuangan dan para politikus di Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun kejaksaan menangani para pejabat di daerah yang telah memanipulasi data kondisi sekolah-sekolah di wilayahnya. Tidak sedikit pula daerah yang memang berhak atas dana itu, tapi mereka tidak menyalurkannya secara benar. Duit ini disunat oleh pejabat daerah dengan berbagai cara. Sebagai contoh, Kabupaten Serang mewajibkan setiap sekolah penerima dana pendidikan ini menyetor Rp 3,3 juta dengan alasan untuk membayar biaya konsultan perencana dan pengawas. Karena di kabupaten itu ada 138 sekolah yang menerimanya, jumlah pungutan mencapai Rp 455,4 juta. Modus seperti itu sudah muncul pula pada tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya penyunatan, tapi sering pula terjadi penggelembungan nilai proyek. Sebagian kasus di daerah pun telah ditangani oleh kejaksaan. KPK seharusnya mendorong upaya pembasmian korupsi dana pendidikan yang dirintis di daerah. Hanya mengimbau agar penyelewengan serupa tidak diulang akan sia-sia, karena korupsi telah merasuk ke segala sendi kehidupan negara ini, termasuk dunia pendidikan.