=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
  
Memperjuangkan Kematangan Demokrasi 
Selasa, 3 Februari 2009 | 00:14 WIB 
Oleh : YUDI LATIF 
Saat diundang Megawati Institute untuk menanggapi beleid politik Partai 
Demokrasi Indonesia Perjuangan menjelang rapat kerja nasional di Solo, saya 
terenyak oleh pertanyaan seorang wartawan. ”Apa risikonya jika pemilu yang 
mahal ini tak menghasilkan pemimpin yang diharapkan?” 
Mahalnya biaya kekuasaan pantas dirisaukan. Indonesia begitu cepat menandingi 
fenomena yang sama di Amerika Serikat, dengan produk nasional bruto (GNP) yang 
tak tertandingi negara kita. Indikasinya bisa dilihat dari kenaikan secara 
eksponensial total belanja iklan politik. 
Menurut Nielsen (Media Indonesia), pada 1999, total belanja iklan politik hanya 
Rp 35 miliar, meroket tajam menjadi Rp 3 triliun pada 2004. Menjelang Pemilihan 
Umum 2009, angkanya mencapai Rp 1,327 triliun pada 2007, menjadi Rp 2,2 triliun 
pada 2008, dan dipastikan melambung pada tahun 2009. 
Jumlah itu akan kian mengerikan jika ditambah pembiayaan pelaksanaan pemilu dan 
kekerapan pemilihan kepala daerah serta pembiayaan kampanye lapangan, mungkin 
juga money politics, dari puluhan partai serta ribuan calon anggota legislatif 
di daerah pemilihan. 
Borosnya pembiayaan politik berbanding terbalik dengan paceklik perekonomian 
yang mengimpit negeri. Belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi yang lalu, 
seketika muncul krisis ekonomi global yang membawa luberan krisis baru yang 
melumpuhkan. 
Kontradiksi harus diwaspadai karena David Morris Potter pernah berhipotesis, 
”Demokrasi lebih cocok bagi negara dengan surplus ekonomi dan kurang cocok bagi 
negara dengan defisit perekonomian.” Upaya memperjuangkan demokrasi dengan 
ongkos mahal, dalam kondisi paceklik, bisa berujung pada penggalian kuburan 
demokrasi. 
Institusi demokrasi 
Isu utamanya bukanlah muncul atau tidaknya pemimpin yang diharapkan, tetapi 
sehat atau tidaknya institusi demokrasi sebagai produk ekstravaganza politik 
itu. Penekanan pada penyehatan institusi ini adalah konsekuensi dari pilihan 
Indonesia untuk keluar dari rezim stabilitas yang tertutup menuju rezim 
stabilitas yang terbuka. 
Pada rezim pertama, stabilitas negara sangat bergantung pada karisma pemimpin 
secara individual. Kapasitas pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan 
cenderung mengalami sentralisasi yang memusat pada pemimpin besar. 
Durabilitas dari stabilitas negara semacam itu dibatasi siklus karisma 
pemimpinnya; sedangkan ketertutupannya terhadap dinamika intern dan ekstern 
membuatnya tak memiliki kelenturan dalam menghadapi guncangan (shock) sehingga 
mudah terjerembab ke dalam krisis. 
Pada rezim kedua, stabilitas negara bergantung pada karisma institusi-parlemen 
yang representatif dan responsif, eksekutif dengan kapasitas 
direktif-koordinatif, birokrasi yang impersonal, lembaga peradilan yang 
independen, lembaga pemilihan yang tepercaya dan imparsial, serta 
komunitas-komunitas kewargaan yang partisipatif. Kebijakan negara terbuka bagi 
dinamika arus informasi dan ide dari luar maupun dalam negeri, yang membuatnya 
memiliki daya absorpsi terhadap guncangan. 
Negara yang bertransisi dari rezim stabilitas yang tertutup menuju stabilitas 
yang terbuka akan menjalani periode instabilitas yang berbahaya. Celakanya, 
tidak ada jalan pintas untuk itu dan tidak selamanya bisa dilalui. Trayek yang 
dilalui bisa membawa negara pada empat posisi: negara tanpa stabilitas (failed 
state), berstabilitas rendah, berstabilitas moderat, dan berstabilitas tinggi. 
Beruntung transisi politik Indonesia saat ini tidak membuatnya terjerembab ke 
dalam failed state, yang ditandai dengan ketidakmampuan negara untuk 
mengimplementasikan dan menegakkan kebijakan. Indonesia saat ini berada pada 
status negara berstabilitas rendah; ditandai dengan otoritasnya yang masih 
diakui dan hingga taraf tertentu masih mampu menegakkan hukum, tetapi masih 
berjuang untuk bisa mengimplementasikan kebijakan efektif dan efisien. 
Demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi, reformasi dalam institusi 
perekonomian, politik, dan birokrasi menjadi keharusan. Industri yang tidak 
efisien harus ditutup atau disehatkan, pemborosan sumber daya alam diakhiri, 
ketergantungan pada pihak asing dikurangi dengan memperkuat kemandirian; 
prosedur dan kelembagaan politik disederhanakan dan diberdayakan; birokrasi 
dirampingkan, disinergikan, dan diresponsifkan. Semuanya bukan tanpa 
pengorbanan. Banyak pihak yang akan merasa dirugikan oleh reformasi 
kelembagaan. Pengangguran dan dislokasi sosial yang ditimbulkan bisa membawa 
instabilitas, yang acap kali mendorong sebagian warga untuk menyerukan 
restorasi dengan mengorbankan manfaat reformasi yang digulirkan. 
Betapapun mengguncangkan, pemimpin reformasi mesti siap dan mampu mengeluarkan 
modal politik demi membawa perubahan. Termasuk dalam kesiapan ini adalah 
komitmen mengurangi ongkos politik dan ketidakpopuleran demi tercapainya 
efektivitas pemerintahan. 
”Tiada yang lebih sulit dilakukan, lebih sangsi menuai hasil, dan lebih gawat 
ditangani, ketimbang memulai suatu perubahan,” ujar Machiavelli. Siapa berani 
jadi pemimpin haruslah berani menanggung risiko: melakukan pengorbanan bagi 
perwujudan tatanan baru. 
---- 
Mari kita semua belajar menjadi warga negara yang baik, pemilih yang baik, 
untuk dapat memilih caleg, capres/cawapres sebagai pemimpin Indonesia yang 
bijaksana, matang, merakyat, harus menjunjung tinggi moral dan etika yang 
berlaku di Indonesia dengan benar, yang akan membawa perubahan untuk kebaikan 
rakyat Indonesia ke depan – pun tidak harus seperti Obama, ya paling tidak 
sudah harus dimulai dari sekarang, mengarah ke sana... sebagai wujud kebanggaan 
demokrasi Indonesia kita yang nyata, berdasar pancasila, berbhinneka tunggal 
ika, sebagai modal jati diri bangsa menjadi salah satu negara demokratis yang 
mendunia. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
------



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke