http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=290889

Kamis, 21 Juni 2007,



Memperkaya Negeri Tetangga


Singapura, Malaysia, dan Hongkong tahu benar salah satu watak orang Indonesia. 
Suka belanja. Konsumtif. Menghambur-hamburkan uang untuk shopping. Tentu saja 
ini bagi yang berduit.

Karena itulah, saat ini Singapura menggelar Singapore Great Sales (SGS) tiap 
tahun. Waktunya tetap, Juni-Juli. 

Kenapa Juni-Juli? Sebab, periode ini adalah liburan sekolah di Nusantara. Itu 
berarti saatnya keluarga Indonesia "menyerbu" negeri tetangga. Mereka pakansi. 
Wisata. Dan itu berarti saatnya mereka shopping. 

Ingin tahu jumlah wisatawan Indonesia yang shopping di Singapura serta nilai 
shopping-nya? Fantastis. Tetapi, watak maniak belanja itu sekaligus 
memprihatinkan dilihat dari kondisi negeri yang ekonominya tak sehat-sehat ini. 

Maniak shopping itu memprihatinkan karena menghambur-hamburkan uang di negeri 
orang, sementara sebagian besar bangsanya masih terlilit kesulitan ekonomi. 

Data di Tourism Singapore Board (TSB) pada 2006, di antara 9,7 juta wisatawan 
ke negeri kota itu, 1,92 juta berasal dari Indonesia. Selama delapan minggu 
-dua bulan SGS- 360 orang Indonesia datang ke Singapura. 

TSB memperkirakan, setiap orang Indonesia menghabiskan USD 800 atau Rp 7 juta 
untuk belanja dan makan. Angka ini belum termasuk biaya transportasi dan 
penginapan. Ini berarti Singapura meraup kurang lebih USD 228 juta dari para 
wisatawan Indonesia saat SGS.

Tidak ada yang salah sebenarnya dari watak suka shopping itu. Apalagi 
kecenderungan ini lebih banyak bersifat pribadi karena bergantung kepada 
tipis-tebalnya kantong masing-masing orang.

Hanya, rasanya, terkesan kuat bahwa sifat menahan diri sebagian bangsa kita 
untuk hidup sederhana kini sudah sangat lemah. Bahkan, tidaklah berlebihan 
untuk mengatakan itu sebagai sisi lain dari cermin lemahnya solidaritas 
terhadap kondisi sesama bangsanya yang tidak beruntung. 

Memang belum tentu yang suka shopping tak memiliki naluri simpati atau belas 
kasihan. Mungkin, banyak pula di antara mereka yang punya empati tinggi 
terhadap sesama bangsanya yang masih sering dilanda musibah. Tetapi, tetap saja 
sulit mengingkari bahwa banyak di antara bangsa ini yang tidak memiliki sens of 
crisis.

Di negerinya sendiri masih banyak yang kekurangan. Banyak yang terkena bencana. 
Banyak yang jadi korban buruknya tekanan ekonomi. Banyak anak bangsa ini yang 
untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit.

Ironisnya, dengan kondisi sosial ekonomi seperti itu, ada sesama bangsa yang 
enteng menghambur-hamburkan uang di negeri orang demi memenuhi nafsu 
konsumtifnya.

Paling tidak, kelemahan untuk tidak bisa menahan godaan belanja telah turut 
memperbesar larinya devisa. Di tengah negeri ini sulit mendapatkan kepercayaan 
pemilik modal asing untuk investasi, justru anak negerinya dengan enteng 
"melarikan" uangnya buat menambah kaya negeri tetangga.

Apa yang dapat kita katakan? Mungkin "Ini bangsa yang bodoh." "Tidak punya 
kepribadian yang kukuh." "Lemah mental," atau apalah. Yang pasti, kelemahan 
watak kita justru dimanfaatkan negeri tetangga dengan cerdik.

Simak saja, setelah Singapura sukses dengan SGS-nya, Malaysia ikut-ikutkan. 
Malaysia menggelar Mega Sale Carnival. Waktunya bahkan lebih lama, 16 Juni-2 
September. 

Hongkong tak mau kalah untuk turut memancing para shopper Indonesia. Negeri itu 
menggelar Hongkong Shopping Festival. Waktunya, 30 Juni-31 Agustus.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke