Mencari Pemimpin
                           Posted in Opini by Redaksi on April 20th, 2009 
                
                                
        
Oleh Fotarisman Zaluchu

Hari-hari ini, pasca pemilu legislatif kita melihat bagaimana
konfigurasi kepemimpinan nasional wacananya mulai bergulir kencang.
Sesuai dengan prediksi hasil pemilu yang didapatkan oleh mereka,
masing-masing parpol kini mulai memikirkan siapakah sosok yang akan
diusung dalam pilpres nanti.


Di atas kertas, beberapa nama sudah disebutkan akan menjadi RI-1 dan
RI-2. Tanpa membedakan siapa menjadi apa, nama-nama itu misalnya adalah
SBY, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan, Prabowo, Wiranto, Akbar
Tandjung, serta sederet nama penting lainnya. Kotak katik nama-nama itu
bahkan dibarengi dengan prediksi media mengenai pasangan mana yang akan
paling diterima oleh masyarakat.


Sejenak merenungkan, apakah yang sedang dicari oleh parpol dan hendak
disajikan kepada kita untuk dipilih, semestinya adalah kandidat terbaik
dari bangsa ini. Yang namanya RI-1 dan RI-2 haruslah sosok terpilih
yang akan bekerja keras untuk memimpin negeri ini yang memiliki lebih
dari 215 juta penduduk yang tersebar di lebih kurang 17.000 pulau. RI-1
dan RI-2 itu adalah mereka yang memimpin bangsa ini dalam 5 tahun ke
depan, dengan menggunakan sumber daya yang ada, supaya Indonesia bisa
lebih baik lagi di masa depan.


Amanah Konstitusi


Kalau demikian, siapakah sebenarnya yang layak memimpin negeri ini? Di
dalam konstitusi kita jelas sebenarnya bahwa seorang pemimpin yang
layak memimpin negeri ini adalah sosok yang mampu memimpin pemerintahan
dalam memenuhi amanah konstitusi yang tercantum di dalam UUD 1945 yaitu
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Kriteria pertama jelas yaitu
bahwa sosok pemimpin bagi negeri ini adalah pribadi yang dengan
kesungguhan dan kesetiaan ingin mewujudkan amanah konstitusi itu.


Menjalankan amanah konstitusi sebagaimana kita sebutkan di atas jelas
tidak mudah. Seorang pemimpin harus melihat Indonesia sebagai satu
kesatuan yang utuh, yang menjadi rumah bersama bagi semua, dan menjadi
sumber rejeki bagi semua. Sebagaimana kata Bung Karno, negeri bernama
Indonesia itu adalah tempat bersama, dimana tidak ada lagi kemelaratan
pada satu kelompok masyarakat di satu sisi dan kemakmuran hanya pada
sekelompok orang pada sisi yang lain. Pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang adil bagi semua dan semua tindakannya menciptakan
keadilan.

Pemimpin bagi Indonesia adalah sosok yang memberikan kenyamanan kepada
semua orang. Tidak ada lagi yang rumahnya digusur, dibakar, atau
hidupnya terancam. Seharusnya seorang pemimpin adalah sosok yang
menjadi jalan keluar di dalam perdamaian di antara sesama, bukannya
menjadi sumber dari persoalan.


Pemimpin yang disebut pemimpin dalam sosok yang bekerja keras untuk
membangun negeri ini. Indonesia adalah negeri yang seharusnya lebih
maju dibandingkan sekarang ini. Sayangnya, selama ini negeri ini salah
urus. Mereka yang harusnya menikmati kekayaan negeri ini adalah mereka
yang paling miskin. Di tempat-tempat dimana emas, gas dan minyak
melimpah, di sana ada kelaparan dan penderitaan. Di masa lalu, kantong
kemiskinan bisa kita lihat tersebar dimana-mana, dan sekarang masih
demikian. Salah satu sumbernya adalah karena para pemimpin negeri ini
menikmati sendiri kekayaan negeri ini. Alangkah jauhnya dari profil
seorang Bung Hatta yang tetap miskin sampai akhir hayatnya demi
mempertahankan integritas konstitusi. Seorang pemimpin harusnya malu
kalau meski hanya sepeser, uang rakyat masuk ke dalam kantongnya.


Tetapi aneh di negeri ini, pemimpin umumnya adalah orang yang paling
kaya dan paling beruang. Lihat saja para pemimpin. Rumah paling besar,
perabotan paling megah, dan hidup paling bergelimang. Mereka hidup
lebih dari cukup, tetapi tetap saja meminta lebih dan lebih lagi.
Padahal, pendiri negeri ini banyak yang hidup dalam kemelataran karena
berpihak kepada kemelaratan masyarakat di awal-awal negeri ini berdiri.


Ada semacam kekuatiran kita bahwa ternyata yang menjadi pemenang pemilu
ternyata adalah para caleg yang memiliki modal uang. Bagaimana mereka
bisa tampil setiap hari di televisi, internet dan media massa?
Bagaimana mereka bisa mendirikan berbagai posko pemenangan dan
memberikan insentif uang kepada timnya? Bagaimana mereka bisa melakukan
kampanye masif? Semuanya dengan uang. Tak ada lagi pemimpin yang
suaranya dirindukan seperti saat Bung Karno dulu. Masyarakat dulu tidak
perlu dibayar untuk datang mendengar orasi Bung Karno. Umbul-umbul
tidak perlu. Kampanye tidak perlu. Masyarakat datang, karena mereka
ingin melihat pemimpinnya.


Jangan harap itu terjadi sekarang. Masyarakat umumnya
berbondong-bondong karena ingin meraih dan mengais rejeki dari
bergelimangnya uang para elit politik. Pragmatisme masyarakat
menyebabkan para elit politik mau tidak mau mencari kekuasaan dengan
uang dan dengan cara yang sama pula mempertahankan kekuasaan dengan
yang dikumpulkan selama berkuasa.


Amanah konstitusi tidak pernah menjadi indikator awal. Yang paling
dipentingkan sekarang ini adalah bagaimana memenangkan pemilu. Lalu
kemudian suara rakyat dijadikan modal, lalu dengan modal uang, suara
rakyat kemudian diperoleh untuk menduduki jabatan puncak. Itulah niat
yang kini ada di dalam hati banyak elit politik. Mereka ingin duduk di
kursi kekuasaan, tetapi lupa untuk apa mereka berkuasa. Lupa bahwa
pendiri negeri ini sudah memberikan amanah konstitusi yang jelas dan
luhur mengenai apa yang harus dikerjakan.


Semangat Perubahan


Beberapa tahun terakhir, para pemimpin negara-negara di dunia ini
bermunculan. Uniknya, mereka adalah sosok-sosok baru, yang berusia muda
dan memperkenalkan perubahan yang signifikan ketika memimpin.


Itulah yang bisa kita lihat dari munculnya pemimpin-pemimpin yang
sangat menginspirasi dunia saat ini. Sekedar menyebut nama adalah
Presiden Obama dari Amerika Serikat, Presiden Dmitry Medvedev dari
Russia, Presiden Eva Morales dari Bolivia, Presiden Hugo Chavez dari
Venezuela bahkan juga PM Manmohan Singh dari India. Mereka adalah
sedikit dari sosok pemimpin dunia yang menciptakan perubahan besar di
negerinya. Perubahan itu adalah bagaimana menjadikan negaranya maju,
lebih baik dan lebih modern.

Kita ingat bagaimana slogan kampanye Presiden Obama: “Yes, We Can”, dan
“Change, We Can Believe In”. Slogan itu memperlihatkan semangat untuk
melakukan perubahan. Jangan kira kekuatan slogan tidak ada. Lihat saja
bagaimana Nazi Jerman pernah berjaya dengan kalimat “Ein Volk, Ein
Reich, Ein Führer” yang artinya adalah “one people, one country, one
leader”. Lalu slogan Che Guevara yang sangat terkenal itu adalah “Hasta
la victoria siempre” yang bermakna “selalu ada kemenangan untuk diraih”.


Seorang pemimpin semangatnya dapat dilihat dari slogan yang
diteriakkannya untuk menarik simpati masyarakat. Slogan Jasmerah-nya
Bung Karno bahkan sampai sekarang tetap menginspirasi.


Pemimpin yang sejati meneriakkan perubahan sebagai bagian dari tujuan
untuk membawa negeri maju. Pemimpin yang baik merombak kemapanan,
merombak sesuatu yang kelihatannya benar tetapi salah, mengubah situasi
yang mandeg, demi kemajuan bersama dan pemenuhan tugas dan
tanggung-jawabnya sebagai pemegang amanah konstitusi. Seorang pemimpin
yang tidak punya “teriakan” dalam arti semangat, adalah pemimpin yang
lembek dan suka pada status quo. Pemimpin tipe demikian, bukan pemimpin
yang baik tetapi hanya menjadi pemimpin yang ingin berkuasa saja.


Dalam kelas training kepemimpinan yang terkadang saya kelola, saya suka
menyajikan permainan memperebutkan kursi. Permainannya adalah
menyediakan kursi yang tidak cukup untuk semua peserta supaya bisa
duduk. Selalu direncanakan 1 peserta yang bakalan tidak akan
mendapatkan kursi. Sesuai dengan dorongan manusiawi, karena instruksi
dari saya adalah semua peserta harus duduk, maka untuk bisa mendapatkan
kursi masing-masing, semua peserta akan saling mencari kursi untuk
diduduki. Lucunya, seorang peserta kadang mendorong temannya, melompati
barisan yang ada, bahkan merebut kursi yang telah diduduki, supaya ia
bisa duduk.


Menjadi pemimpin negeri ini bukan hanya mengandalkan dorongan manusiawi
belaka. Dibutuhkan pengertian dan perenungan mendalam mengenai apa yang
hendak dilakukan dan apa tujuan dari menjadi pemimpin. Tanpa itu,
menjadi pemimpin hanya sekedar duduk di kursi kekuasaan. Dan untuk
kursi itu, menjegal orang lain pun dilakukan. (Penulis adalah pengarang
buku Menjadi Manusia Pemimpin (2005), sedang menempuh pendidikan di
University of Leeds, UK.e-mail: fotaris...@yahoo.com). (m)
Sumber: http://hariansib.com/2009/04/20/mencari-pemimpin/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

Reply via email to