http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009071300564581
Senin, 13 Juli 2009 OPINI TAJUK: Mencegah Kediktatoran Baru SUSILO Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kembali menjadi presiden lima tahun mendatang akan semakin nyata setelah melihat perhitungan cepat Metro TV yang menempatkan pasangan SBY-Boediono memperoleh suara 58,51%, disusul Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto 26,32%, dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dengan 15,18% suara. Sebenarnya angka tersebut belumlah final. Kita harus menunggu hasil perhitungan manual Komisi Pemilihan Umum (KPU), siapa yang akan memenangkan pertarungan Pemilu Presiden (Pilpres) pada 8 Juli lalu. Bagi SBY, rasa percaya diri memimpin makin tinggi setelah melihat prosentase kemenangan pada pilpres dan juga pemilu legislatif. Partai Demokrat meraup suara 26,79% yang menempatkan partai besutan SBY ini di urutan pertama setelah Parat Golkar dan PDI Perjuangan. Kondisi seperti itu dikhawatirkan berdampak buruk bagi pembangunan di negeri ini. Rasa percaya diri dengan kekuatan yang dipilih rakyat dan di parlemen sangat perkasa, tentunya jika tidak dikawal dengan partai oposisi akan menciptakan sebuah pemerintahan yang otoriter. Kita mendorong agar PDI Perjuangan dan Partai Golkar sebagai oposisi di parlemen. Ini untuk mengantisipasi terciptanya pemerintahan otoriter. Kita masih ingat pemerintahan Orde Baru yang menempatkan Golkar sebagai partai pemenang pemilu dengan mayoritas tunggal. Pemerintahan berjalan dengan label "asal bapak senang". Tumbuhnya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) karena parlemen tidak bisa lagi mengontrol eksekutif. Kecenderungan menjadi lebih otoriter sudah mulai tampak menjelang Pilpres 2009, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut sebagai lembaga super (superbody) atau ketika dikatakan posisi wakil presiden (wapres) berperan sebagai pembantu. Ada apa dengan penyebutan lembaga super? Ada apa pula posisi wapres sebagai peran pembantu. Dari beberapa pernyataan atau argumentasi sejumlah pakar dan pengamat merasakan ada semacam keengganan untuk disaingi pihak lain. Rakyat akan menagih hasil kesempatakan dari pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla pada 12 Maret 2009. Salah satu yang disepakati adalah koalisi. Kedua tokoh itu bertekad membangun koalisi yang kuat. Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDI Perjuangan Taufik Kiemas menantang Partai Golkar bersama-sama menjadi oposisi. Sepertinya angin yang berhembus kencang dari Cikeas meniup partai berlambang pohon beringin menggoyahkan Golkar menjadi partai oposisi. Demokrat agar bersatu kembali membentuk pemerintahan baru dan kuat. Melihat perjalanan demokrasi pascapemilu legislatif, PDI Perjuangan akan tetap menjadi pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Partai Megawati ini optimistis menjadi penyeimbang yang kuat. Selama ini Golkar selalu di pemerintahan. Jika ingin membuktikan sebagai partai hebat tidak tergantung kepada pemerintah, Partai Golkar harus berani mengambil sikap menjadi oposisi seperti halnya PDI Perjuangan. Menjadi oposisi di masa lima tahun mendatang merupakan sebuah tantangan. Jika tidak ada kelompok yang mengambil sikap oposisi, peluang untuk melahirkan pemerintahan yang otoriter terbuka lebar. Sekali lagi untuk menghindari kemungkinan terburuk, kita mendorong PDI Perjuangan dan Partai Golkar bergabung dan menetapkan diri sebagai oposisi di parlemen. Dengan kondisi itu, partai opisisi mampu mencegah terjadinya pemerintahan yang otoriter atau bentuk kediktatoran baru di negeri ini.
<<bening.gif>>