TEMPO
Edisi. 40/XXXVI/26 November - 02 Desember 2007 

      Mengantar Tuan Franklin ke Parlemen

      Duit Bank Indonesia diantar ke rumah 20-an anggota panitia kerja Komisi 
Keuangan DPR. Kurir dan notulis pertemuan telah bersaksi.  


DUA orang petinggi Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat pernah 
bertikai, hampir empat tahun silam. Bukan tentang kebijakan ekonomi pemerintah, 
menurut seorang saksi kepada Badan Kehormatan DPR, mereka berdebat tentang 
"amplop" dari Bank Indonesia (BI).


Menurut sumber Tempo, petinggi pertama berkata kencang kepada koleganya yang 
berbeda partai itu. "Kenapa cuma ini yang mau dibagi-bagi, padahal masih ada 
yang lain?" kata petinggi itu, seperti ditirukan sang sumber. Petinggi satunya 
hanya terdiam.


Pertikaian dua anggota DPR periode 1999-2004 itu merupakan bagian dari cerita 
mengalirnya duit dari BI ke parlemen. Pada Juni-Desember 2003, BI mengguyur 
sebagian anggota Komisi Keuangan DPR dengan Rp 31,5 miliar "dana diseminasi". 
Para penadah guyuran itulah yang kini sedang ditelisik oleh Badan Kehormatan 
Dewan.


"Kami akan terus memanggil saksi yang mengetahui persoalan ini," kata Gayus 
Lumbuun, Wakil Ketua Kehormatan Dewan, yang memimpin pengusutan kasus ini.



l l l


DUIT segajah yang diambil dari rekening Yayasan Pengembangan Perbankan 
Indonesia, yayasan milik BI yang bergerak di bidang pendidikan, itu dipakai 
untuk mengegolkan dua tujuan. Pertama, memuluskan kepentingan bank sentral 
dalam perubahan Undang-Undang BI yang saat itu digodok parlemen. Kedua, 
membantu penyelesaian kisruh bantuan likuiditas Bank Indonesia. 


Ketika itu, di Senayan sedang seru-serunya dibahas amendemen Undang-Undang BI. 
Pembahasan macet di sejumlah poin, di antaranya soal pembentukan Dewan 
Supervisi dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Departemen Keuangan menganggap 
perlu pembentukan OJK untuk mengawasi bisnis perbankan. Petinggi BI berpendapat 
sebaliknya.


Menurut sumber Tempo, duit untuk keperluan ini dicairkan pada 17 September (Rp 
7,5 miliar dan Rp 3 miliar) serta 4 Desember 2003 (Rp 6 miliar). Hasilnya? Pada 
Desember itu, amendemen tersebut diketuk. Pembentukan OJK untuk mengawasi BI 
diundur hingga 31 Desember 2010.


Pasal lain yang juga hilang dari pembahasan adalah aturan pemberhentian anggota 
Dewan Gubernur BI, begitu undang-undang hasil amendemen diberlakukan. Semula, 
aturan itu sempat menjadi perdebatan panas di Senayan. Karena tak tuntas, 
pembahasan dilanjutkan di hotel beberapa kali. Sejak itulah pasal tersebut 
menghilang.


Paskah Suzetta, mantan ketua panitia kerja amendemen Undang-Undang BI yang kini 
menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, tak membantah adanya 
aliran dana dari Bank Indonesia. Tapi, menurut dia, pengucuran dana dari bank 
sentral ke Dewan bukanlah gratifikasi. "Itu diseminasi," katanya tiga pekan 
lalu.


Gayus Lumbuun menilai, gratifikasi dan diseminasi tak ada bedanya. "Dua-duanya 
mengambil duit negara lalu dibagikan kepada anggota DPR," kata anggota Dewan 
dari PDI Perjuangan itu.


Kisruh BLBI juga dibahas panas di Senayan. Petinggi bank sentral berkeras bahwa 
bantuan likuiditas itu merupakan keputusan pemerintah. BI hanya menjalankannya. 
Pemerintah berkukuh sebaliknya. Pada Agustus diambillah keputusan politik: 
pemerintah menerbitkan surat utang Rp 144,5 triliun, sejumlah dana bantuan 
likuiditas itu.



l l l


SEBULAN sebelum keputusan itu diambil, duit dari BI mengguyur parlemen. Aliran 
pertama pada 27 Juni sebesar Rp 2 miliar. Berikutnya, 2 Juli (Rp 5 miliar dan 
Rp 0,5 miliar) serta 23 Juli (Rp 7,5 miliar). "Kalau benar menerima aliran 
dana, ini kejahatan parlemen yang serius," kata seorang anggota Badan 
Kehormatan Dewan.


Selain untuk pembahasan amendemen Undang-Undang BI dan bantuan likuiditas Bank 
Indonesia, duit dengan jumlah yang lebih kecil juga dialirkan untuk pembahasan 
undang-undang lain. Di antaranya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Likuidasi 
Bank, Rancangan Undang-Undang Kepailitan, dan pembahasan anggaran BI.


Bagaimana duit itu sampai ke kantong anggota Dewan? Menurut audit Badan 
Pemeriksa Keuangan, dana dari BI disetorkan melalui Antony Zeidra Abidin, 
anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Partai Golkar. Tapi politikus yang 
kini menjadi Wakil Gubernur Jambi itu berkali-kali membantah tuduhan itu.


Sumber lain yang mengetahui pengusutan kasus ini menjelaskan, dana dari BI 
dibawa oleh seorang perantara bernama Joko. Bentuknya uang kertas nominal US$ 
100 bergambar mantan Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin. Kabarnya, Joko 
telah mengakui soal ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.


Seorang pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan, uang selanjutnya 
diantar beberapa kurir ke para anggota Dewan. Para penerima uang adalah anggota 
panitia kerja amendemen Undang-Undang BI dan panitia kerja BLBI. "Uang ada yang 
diantar ke rumah, ada juga yang ke hotel," kata pejabat itu.


Memang tak mudah membuktikan aliran dana tunai itu. Berharap transaksi terekam 
kamera keamanan hotel tentu tak mudah. Apalagi menunggu pengakuan para 
penerimanya. Untuk itu, kata sumber yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi 
kini memagari para kurir itu agar tetap pada pengakuannya.


Sejauh ini ada 16 orang penerima dana BI yang dilaporkan oleh Koalisi Penegak 
Citra DPR-gabungan sejumlah aktivis antikorupsi. Tapi, menurut sumber Tempo, 
20-an anggota panitia kerja bisa jadi dianggap melanggar kode etik DPR. 
Sebabnya, mereka melakukan rapat-rapat di luar gedung parlemen atas biaya Bank 
Indonesia.


Untuk membahas amendemen Undang-Undang BI, panitia kerja melakukan rapat di 
Hotel Mulia, Hotel Hilton, Holten Sheraton Bandara, dan Hotel Imperial Aryaduta 
Karawaci. Agenda rapat ini diatur oleh Kepala Bagian Sekretariat Komisi 
Keuangan dan Perbankan Usiono-kini sudah pensiun.


Menurut Gayus Lumbuun, semua pembicaraan dalam rapat direkam dan dicatat oleh 
Wagianto, Kepala Sub-Bagian Sekretariat Komisi. "Dia bilang telah menyerahkan 
transkrip rekaman itu kepada Biro Kearsipan DPR. Penyerahan ini ada tanda 
terimanya," kata Gayus.


Satu rapat di hotel itu terungkap dari lembar disposisi pejabat bertajuk 
"Pertemuan Pembahasan Anggaran BI" bertanggal 21 September 2004. Di situ 
ditulis soal rencana pembahasan anggaran, khususnya berkaitan dengan 
persetujuan anggaran operasional BI 2005.


Lembar disposisi yang dikirim Biro Gubernur kepada Bun Bunan Hutapea, Deputi 
Gubernur BI, itu menyampaikan kesepakatan untuk bertemu 18 anggota Sub-Komisi 
Perbankan DPR. Tempatnya di Hotel Mulia, Jakarta, 21 September 2004. Untuk 
keperluan itulah diusulkan pencairan dana diseminasi Rp 540 juta. "Sebagai 
apresiasi kepada anggota DPR," tertulis dalam dokumen itu.


Pekan ini, Badan Kehormatan rencananya akan mendengarkan rekaman rapat di 
hotel-hotel itu. Dari sini akan diketahui anggota DPR yang paling gencar 
menyuarakan kepentingan BI. Siapa tahu, dari rekaman itu bisa pula diungkap 
para anggota Dewan penerima uang kertas dolar bergambar Tuan Franklin.


Budi Setyarso dan Budi Riza

Reply via email to