http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010012101321966

      Kamis, 21 Januari 2010 
     
      OPINI 
     
     
     
Menggugat Pelarangan Buku 

      Oki Hajiansyah Wahab

      Peminat masalah sosial, tinggal Bandar Lampung



      KEJAKSAAN Agung kembali menyatakan lima buku sebagai buku terlarang. 
Kelima buku tersebut adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan 
Kudeta Suharto karangan John Roosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas 
Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat 
Harus Diakhiri karya Cocrates Sofyan Yoman, Lekra tak Membakar Buku Suara 
Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950--1965 karangan Rhoma Dwi Aria 
Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan M.M., 
dan Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama yang ditulis Syahrudin Ahmad.

      Kejaksaan Agung menilai kelima buku tersebut dianggap menganggu 
ketertiban umum dengan bahasa yang lebih lugas dinilai bertentangan dengan UUD 
1945, Pancasila, Agama, dan sara seperti yang dikatakan Kepala Pusat Penerangan 
Hukum Kejaksaan Agung. Uniknya, salah satu buku yang dilarang, yaitu buku Dalih 
Pembunuhan Massal karya John Roosa termasuk nominasi buku terbaik dalam 
International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk 
bidang studi Asia pada 2007. Buku yang aslinya berjudul Pretext for Mass Murder 
sebelumnya juga telah dilansir University of Wisconsin Press pada 2006.

      Kasus pelarangan buku kali ini bukanlah yang pertama kali di era 
reformasi. Sebelumnya tahun 2007, Kejaksaan Agung lewat SK Nomor 
19/A/JA/03/2007 juga telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP 
dan SMA. Alasan pelarangan adalah karena isi buku tersebut tidak memuat 
Pemberontakan Madiun dan 1965 serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan 
G/30S. Praktis, sejak surat larangan itu dikeluarkan Jaksa Agung, razia 
buku-buku sejarah gencar dilakukan di berbagai daerah.

      Pelarangan buku ini mengingatkan kita pada pencabutan SIUPP dan 
pelarangan buku kiri pada masa rezim Orde Baru. Ketika itu negara tampil 
sebagai satu-satunya penguasa wacana yang punya otoritas memberikan hak hidup 
suatu penerbitan. Pengawasan barang cetakan sendiri diatur dalam Undang-undang 
No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya 
dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Kepja 190/A/JA/3/2003 tanggal 25 Maret 
2003 yang menetapkan sebuah badan bernama clearing house. Di masa Orde Baru, 
proses clearing house dilakukan oleh Tim 9 yang anggotanya di antaranya Badan 
Intelijen Negara (BIN), Departemen Dalam Negeri, TNI, dan Kepolisian.

      Sejarah pelarangan buku di Indonesia, baik zaman Orde Lama, Orde Baru 
bahkan di era Reformasi sesungguhnya lebih banyak dilakukan atas dasar latar 
belakang politik dan stigma ideologi penulisnya, bukan sepenuhnya berdasarkan 
isi buku atau opini yang mesti dilarang. Sejarah yang sesungguhnya amat penting 
keberadaannya sebagai media untuk bercermin sekaligus bahan pelajaran yang 
berharga dalam kenyataannya juga lebih banyak ditulis berdasarkan kepentingan 
yang menang dan berkuasa.

      Pelaksanaan kekuasaan seperti yang digambarkan Foucault hadir dalam wujud 
produktif seperti hukum. Pelarangan buku sejarah oleh kejaksaan itu mirip 
praktek panoptikon sebagaimana dilukiskan Michel Foucault dalam bukunya 
berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Dalam kacamata 
Foucault panoptikon merupakan konsep untuk memahami aturan hukum yang dipakai 
sebagai topeng yang canggih untuk menutupi intervensi kekuasaan yang 
berlebihan. Setiap orang dengan latar belakang apa pun kemudian ditata untuk 
memiliki sistem berpikir, berbicara, yang sesuai dengan totalitas "apriori" 
kebenaran yang sudah dirumuskan dalam bentuk peraturan. Pada gilirannya hukum 
menjadi teknologi yang mengawasi dan mendisiplinkan sampai masuk wilayah yang 
paling otonom dari manusia, yaitu kesadaran.

      Konsep panoptikon memberikan pelajaran kekuasaan yang canggih tidak lagi 
memerlukan kehadiran fisik, tapi yang terpenting adalah bagaimana efek 
kekuasaan tersebut dirasakan. Layaknya rezim Orde Baru, meski telah tumbang, 
doktrin dan praktek kontrolnya masih tetap dirasakan sampai sekarang. Sejarawan 
LIPI, Dr. Abdurrachman Suryomihardjo, pernah menulis sebuah anekdot yang 
menggambarkan konsep panoptikon. Seorang pencopet dikejar oleh kelompok 
keamanan, tapi pihak keamanan tidak mampu menangkapnya. Akhirnya, karena putus 
asa, mereka berteriak, "Tangkap PKI!" Akhirnya orang yang dikejar tersebut 
berhenti, dan berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata: "Saya bukan 
PKI! Saya tukang copet!" Rupanya, ketakutan menjadi PKI begitu merasuki mental 
semua orang Indonesia, maka lebih baik ditangkap sebagai maling daripada 
dituduh PKI.

      Nasib buku di negeri ini harus diakui memang masih memprihatinkan. Hingga 
kini masih sering terjadi pelarangan dan pembakaran buku-buku. Artinya, buku 
sebagai media menyampaikan bahasa masih belum mendapatkan ruang demokratis di 
negeri ini. Meskipun Indonesia telah merativikasi Kovenan Internasional tentang 
Hak-hak Sipil dan Politik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang 
memberikan jaminan untuk berekspresi, termasuk menulis dan juga pers tapi 
praktek-praktek pembatasan atas nama "ketertiban umum" masih terus terjadi. 
Selain itu, semestinya sejak lahirnya Tap MPR No. 17 Tahun 1998 tentang Hak 
Asasi Manusia, seharusnya pelarangan buku tersebut batal demi hukum.

      Hukum sesungguhnya tidak boleh mencampuri, memaksa, dan melarang 
perdebatan dan pencarian kebenaran sejarah itu. Tapi hukum baru hadir apabila 
salah satu pihak atau para pihak sudah mulai memaksakan kehendaknya dengan 
kekerasan. Jadi, apa yang dilakukan kejaksaan melarang buku sejarah tersebut 
sesungguhnya melampaui kewenangannya sebagai institusi hukum. Bahwa hukum 
mempunyai batas untuk menuntut ketaatan warganya, seperti kebebasan berpikir 
tidak boleh dibatasi oleh hukum.

      Dan kalau batas itu dilampaui, apa yang menamakan diri hukum dan 
institusi hukum kehilangan legitimasinya. Sebab itu, kejaksaan harus kembali 
pada fungsinya sebagai penegak hukum dan tidak boleh tergelincir menjadi 
"departemen ideologi" yang mengontrol pikiran dan memonopoli tafsir (Widodo : 
2007).

      Fakta yang tidak bisa dimungkiri, pelarangan buku justru memicu orang 
untuk mencari buku yang dianggap terlarang tersebut. Makin dilarang, makin 
besar minat orang untuk membacanya. Buku-buku Pramoedya adalah contoh baik 
dimana tetraloginya yang monumental plus novel Arus Balik yang pernah 
dinyatakan terlarang oleh pemerintah--, ternyata rohnya tidak pernah mati 
sampai dengan sekarang. Dengan demikian sesungguhnya sejarah telah membuktikan 
buku atau pemikiran yang baik, hebat, besar, sesungguhnya tidak pernah mati dan 
tidak akan pernah ada yang bisa melarangnya. Saatnya budaya warisan kolonial 
dan rezim otoriter yang selalu ingin mengatur arus informasi dan pemikiran 
diakhiri.
     

<<bening.gif>>

Reply via email to