===================== ============================ 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
===================== ============================ 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati Hari anti Korupsi 9 Desember 2009 dan Hari HAM 10 Desember 2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Menunggu (Ang)-Godot
Rabu, 16 Desember 2009 | 04:24 WIB
Oleh: Effendi Gazali
Tidak ada simbol komunikasi politik yang lebih signifikan untuk mempersatukan 
semua kemarahan dan pertanyaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia 
daripada gambar Anggodo dalam pakaian petinggi polisi!
Entah siapa yang memulai kreativitas seperti itu, tetapi daya persuasi simbol 
tersebut belum berakhir sampai saat ini. Apalagi polisi masih menyatakan tidak 
bisa melakukan apa pun terhadap Anggodo sebab tidak ada korban yang 
melaporkannya!
Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kegeraman 
bahwa namanya dicatut dan meminta hal itu diusut tuntas. Selain itu, seluruh 
rakyat berasumsi SBY telah mendengar pula dari rekaman yang diputar di Mahkamah 
Konstitusi (MK) bahwa Anggodo memang sudah mencatut namanya!
Gerakan moral?
SBY tercatat pernah melaporkan Zaenal Ma’arif karena mencemarkan nama baik, 
harga diri, dan kehormatannya (saat Zaenal menyatakan SBY telah menikah sebelum 
dengan Ibu Ani). Kutipan dari situs resmi Presiden RI (29/7/2007) menyatakan, 
”Oleh karena itu, saya melakukan gerakan moral sebagai seorang warga negara. 
Mari, apabila seseorang dicemarkan nama baiknya, apalagi pada tingkat yang 
sangat berlebihan, gunakan pintu keadilan, pintu hukum, untuk menyelesaikannya 
dengan baik.”
Sekali lagi, mengapa SBY tidak melaporkan Anggodo? Bahkan terkesan sampai SBY 
bersedia melupakan gerakan moral yang dia mulai tahun 2007 tersebut? Bukankah 
pelaporan semacam itu pula yang merupakan esensi ”Kotak Pos Ganyang Mafia 
Hukum” yang diluncurkan SBY (5/11/2009)?
Denny Indrayana pernah mencoba menjelaskan di televisi bahwa SBY tidak 
memandang perlu melaporkan semua orang yang membawa-bawa nama presiden kalau 
kasusnya tidak demikian mengganggu kredibilitas. Bung Denny salah besar! 
Gerakan moral (istilah) yang dimulai SBY, Kotak Pos Ganyang Mafia Hukum, dan 
persepsi rakyat tentang Anggodo terlalu gegabah untuk dikorbankan dan 
dibandingkan dengan pelaporan SBY yang relatif sangat personal sebelumnya.
Jawaban yang lebih memuaskan logika keluar saat saya diwawancarai Elshinta 
bersama pengamat intelijen Wawan Purwanto. Saat itu saya mengajukan pertanyaan 
yang sama. Wawan menjawab, terdapat kekhawatiran bahwa Anggodo akan ”menyanyi”. 
Saya menambahkan, kalau begitu persis seperti rangkaian Bernard Barker, 
Haldeman, Erlichman, yang akhirnya menyanyi dalam Kasus Watergate.
Polarisasi
Ketika berdiri di depan kelas sebagai pengajar, saya tidak bisa menjelaskan 
kepada mahasiswa, berapa lama kita harus menanti SBY melaporkan Anggodo? Saya 
coba pelajari betul teori-teori withholding information dalam krisis komunikasi 
(antara lain Robinson, jurnal Human Communication Research, Oktober 2009). 
Namun, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan penantian tanpa kepastian 
yang mirip drama ”Menunggu Godot” karya Samuel Beckett!
Sejak kasus cicak versus buaya, lembaga-lembaga negara dan masyarakat kita 
sudah mulai terpolarisasi, dan ini kian nyata dalam kasus Bank Century. Entah 
direkayasa atau alamiah, meluncurlah isu personal Aburizal Bakrie yang ingin 
mendiskreditkan Sri Mulyani. Atau keinginan tokoh tertentu menjadi wakil 
presiden jika Boediono rontok karena kasus Bank Century. Semua ini amat mudah 
dibaca.
Terus terang, saya tergolong orang yang sedih melihat rontoknya ikon reformasi. 
Apalagi kalau sekadar menghasilkan estafet ke tokoh-tokoh lama. Namun, di sisi 
lain sedikitnya terdapat dua kasus ”Menunggu Godot” lainnya.
Pertama, ketika SBY, Andi Mallarangeng, dan Denny Indrayana selalu menyatakan 
bahwa SBY telah begitu banyak mengeluarkan surat izin pemeriksaan pejabat 
publik dalam upaya perang terhadap korupsi. Pada saat yang sama sejarah harus 
mencatat bahwa dalam era pemerintahan SBY pula, dua unsur pimpinan KPK sempat 
ditahan karena dugaan rekayasa (perihal rekayasa ini dinyatakan juga dalam 
keputusan MK). Persoalan tidak pernah boleh mereka anggap selesai dengan 
menyatakan toh Bibit dan Chandra sudah dikembalikan ke posisi mereka! Rakyat 
sedang ”menunggu Godot” yang menunjukkan siapa yang merekayasa pimpinan KPK 
sampai masuk tahanan.
Kedua, dari Watergate dan berbagai kasus lain, kita tahu bahwa kebohongan harus 
ditutup dengan kebohongan lainnya. Lihatlah betapa nama almarhum Cak Nur sampai 
harus dibawa-bawa untuk sekadar membangun logika lain dengan aroma kebohongan. 
Sebuah rezim yang bersalah, jika selamat karena upaya polarisasi apa pun, pasti 
telah mempekerjakan begitu banyak agen kebohongan untuk menutupi 
kebohongan-kebohongan baru. Lalu, masa pemerintahannya akan dihabiskan untuk 
membalas jasa para agen kebohongan itu, antara lain agar tidak ”menyanyi”. 
Dengan demikian, tidak akan pernah terjadi pembangunan yang efektif untuk 
rakyat.
Jadi, kita sedang menunggu politikus jantan dengan rombongan intelektual 
jantan, yang segera menunjukkan di mana bersihnya mereka serta melaporkan yang 
tidak bersih sebagaimana mestinya. Jika tidak, kita memang sedang ”Menunggu 
(para) Godot” yang tak kunjung tiba.... [Effendi Gazali, Koordinator Program 
Master Komunikasi Politik UI, Kompas, 16/12/09]
--------
Belajar praktis tentang kepastian hukum dari kasus kebijakkan ekonomi yang 
dampaknya  menyedot devisa negara, menguras energi dan waktu para pejabat 
publik negeri ini, bahkan sebelum 100 hari kerja terlewati....hingga sampai ada 
yang mencoba-coba mengkail ikan di air yang ia sangka keruh... padahal 
godot2lah yang perlu di kail.. agar air tetap terjaga kejernihannya.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
Best Regards, 
Retno Kintoko 

 
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm]
Sedia Bibit Ikan Patin




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke