Refleksi : Golkar dan konco-konconya menjadi oposisi apa yang akan mereika perjuangkan? Bukti 32 tahun sebagai partai pemerintah dizaman Soeharto, belum cukup?
Jawa Pos [ Senin, 13 Juli 2009 ] Menunggu Golkar Jadi Oposisi Oleh: Moch. Nurhasim Hasil quick count beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa pasangan SBY-Boediono unggul dan diramalkan menjadi pemenang Pilpres 2009. Hasil tersebut sekaligus menepis peluang pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla (JK)-Wiranto. Kekalahan JK pada Pilpres 2009 mengundang beberapa pertanyaan lanjutan. Pertama, akankah posisi JK sebagai ketua umum (Ketum) Partai Golkar digoyang oleh kubu yang selama ini menghendaki duet SBY-JK berlanjut? Kedua, akankah Partai Golkar menjadi oposisi? Ujian bagi JK Hasil perolehan suara yang kecil pada pilpres -versi quick count dan masih menunggu hasil resmi KPU- tampaknya akan menjadi ujian dan tantangan bagi JK. Tantangan yang harus dihadapi JK adalah dia harus mampu meredam gejolak di tubuh Golkar. Kekalahan JK justru menjadi instrumen bagi sebagian elite Golkar yang selama ini kecewa. Benih kekecewaan atas kepemimpinan JK, misalnya, tampak dari kubu Akbar Tandjung. Tuntutan agar Musyawarah Nasional (Munas) Golkar dipercepat dengan alasan-alasan tertentu mengindikasikan bahwa sedang terjadi pergolakan dalam tubuh partai beringin. Tantangan selanjutnya bagi JK adalah apakah dia mampu mengonsolidasikan gerbong dan kekuatan politiknya. Apakah para pendukung JK tersebut akan mengamankan posisi Ketum untuk kali kedua. Sebab, bagaimanapun, kekalahan JK pada pilpres lalu menjadi instrumen delegitimasi kekuasaan JK sebagai Ketum Golkar. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin hal itu dapat terjadi karena Ketum partai adalah jabatan yang sangat strategis untuk mencapai tangga politik selanjutnya. Baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Oleh karena itu, tuntutan diadakannya munas dapat berdampak pada munculnya tuntutan pertanggungjawaban terhadap JK atas kekalahannya pada pilpres. Apalagi, proses menentukan capres dan cawapres sebelumnya tidak sepenuhnya disetujui elite partai dan pengurus di tingkat daerah. Munculnya gerakan DPD-DPD yang pernah dimotori Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad dan Akbar Tandjung agar Golkar menjadi bagian dari pemerintahan SBY dapat menjadi batu sandungan bagi JK untuk mempertahankan posisinya sebagai Ketum. Jadi, di satu sisi, gagasan munas dapat dianggap sebagai jalan awal bagi sebagian elite Golkar untuk mengevaluasi kepemimpinan JK. Di sisi lain, munas bisa menjadi sarana untuk memilih kepemimpinan baru dalam tubuh Golkar. Siapkah Menjadi Oposisi? Dalam tubuh Golkar, ada dua kecenderungan kuat yang sedang terjadi. Pertama, sebagian elite Golkar yang sejak semula tidak setuju JK jadi capres, tampaknya, akan cenderung merapat ke kubu Partai Demokrat. Kedua, gerbong para pendukung JK tentu akan membawa Golkar kembali pada desain koalisi besar yang pernah digagas sebelumnya. Kejelasan Golkar sebagai oposisi atau pendukung partai pemerintah (SBY-Demokrat) tergantung pada beberapa hal. Pertama, jika JK gagal mengamankan posisinya sebagai Ketum, Golkar secara politik akan melunak dan sebaliknya, dapat berbalik menjadi kekuatan pendukung utama SBY. Kedua, jika JK berhasil mengamankan posisinya sebagai Ketum, kecil kemungkinan Golkar akan mendukung Demokrat (pasangan SBY-Boediono) secara institusional. Golkar akan mendukung secara individual. Caranya, SBY memberikan jatah menteri kepada tokoh tertentu Golkar. Dalam sistem presidensial saat ini, kita mengharapkan Golkar dapat menjadi penyeimbang kekuasaan agar tidak muncul tirani mayoritas di tubuh eksekutif dan legislatif. Mengingat posisinya yang sangat strategis dan dapat berkiprah lain dalam menentukan arah perpolitikan di eksekutif dan legislatif, tentu peran partai beringin diharapkan dapat menjadi bagian dari alat untuk mengontrol kekuasaan. Demi kepentingan untuk konsolidasi demokrasi dan menjaga agar tidak terjadi tirani mayoritas, ada baiknya jika desain koalisi besar antara PDIP, Golkar, Hanura, dan Gerindra diperkuat kembali. Oposisi secara politik tidaklah jelek. Sebab, tujuan oposisi politik adalah menjaga agar kebijakan pemerintah tidak berada pada garis yang salah, yang menyimpang dari konstitusi, dan melenceng dari kepentingan rakyat. Secara substansial, sistem presidensial dengan sistem multipartai seperti yang dianut oleh Indonesia saat ini membutuhkan keseimbangan politik di parlemen dan pemerintahan. Tujuannya, tidak terjadi tirani mayoritas. Selain itu, tujuan yang lebih mulia adalah terjadi checks and balances. Demokrasi tanpa checks and balances antara legislatif dan eksekutif tidak akan menciptakan pemerintahan yang baik. Checks and balances dapat mendorong pemerintah untuk bekerja sesuai dengan janji-janji yang telah disampaikan kepada publik. Karena itu, kontrol tetap diperlukan. Namun, semua itu berpulang kepada para elite Golkar saat ini, siapkah mereka berada di luar kekuasaan dan menjadi partai oposisi. *) Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta