================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Mensyukuri 81 Tahun Sumpah Pemuda dan Memperingati Hari Pahlawan 10 Nopember 
2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
TOKOH MUDA INSPIRATIF (25)
Menyemai Kebebasan Beragama
Rabu, 25 November 2009 | 04:07 WIB
Oleh : AHMAD ARIF
Budhy Munawar Rachman adalah salah satu penerus pemikir Islam progresif yang 
melihat Islam secara lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala 
pemikiran yang fondasinya dibangun oleh para tokoh Muslim di era Nurcholish 
Madjid.
Sebagaimana gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy juga dikenal 
sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama. 
Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di 
antaranya adalah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama, yang terbit pada tahun 
2003, dengan jelas menggambarkan keberpihakannya pada kemanusiaan.
Selain kesibukannya mengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi 
Filsafat di Driyarkara, Budhy aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai 
Program Officer Islam and Development.
Berikut petikan wawancara dengan Budhy Munawar.
Sampai di mana pergulatan pemikiran umat Islam di Indonesia terkait isu 
modernisasi?
Kontribusi besar tokoh-tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman 
Wahid, Syafii Maarif, dan Djohan Efendi adalah membangun fondasi pemahaman 
sehingga umat Islam di Indonesia gampang menerima ide baru.
Misalnya, ide tentang demokrasi dengan segala turunannya: penerapan HAM, 
kebebasan beragama, juga hal-hal yang lebih konkret seperti pemerintahan yang 
baik.
Dan, menurut saya, mereka berhasil. Mereka telah memberi pijakan sangat kuat 
bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi.
Sejak 2005 saya bekerja di Asia Foundation, saya mendapat kesempatan banyak 
bisa bekerja dengan komunitas di tingkat akar rumput, misalnya bekerja dengan 
pesantren, sekolah Islam, juga dengan lembaga peradilan agama dan organisasi 
massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Dari persinggungan itu, saya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia sangat siap 
untuk mengimplementasikan demokrasi. Tetapi, masyarakat sebenarnya masih 
membutuhkan tuntunan untuk menggali akar mereka sendiri di tingkat lokal.
Bisa memberi contohnya?
Contoh klasik adalah pembentukan women crisis centre (WCC), yaitu tempat bagi 
perempuan untuk konseling penyembuhan dan berlindung bagi korban kekerasan 
dalam rumah tangga. Kebutuhan mengenai crisis center itu sudah ada sejak 80-an.
Tetapi, pembangunannya mendapat tentangan. Resistensi masyarakat sangat kuat 
karena ide ini dianggap ”barat” dan tidak cocok dengan ide ”Timur” dan Islam. 
Ditambah lagi munculnya isu feminisme karena yang membawa WCC ke masyarakat 
adalah LSM yang peduli feminisme.
Ketika kita mulai menyadari pentingnya peran lembaga seperti NU dan 
Muhammadiyah, serta lembaga turunannya seperti Fatayat dan Muslimat, kita 
kemudian mendorong mereka untuk tampil ke depan membawa isu WCC ini. Kini 
penyebaran WCC sudah meluas dan lebih mudah diterima.
WCC pengalaman pertama tahun 90-an, yang menjadikan kita sekarang sangat sadar 
mengenai pentingnya ormas Islam. Untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, 
peran ormas Islam ini pun memang masih penting. Mereka memiliki kekuatan untuk 
mendorong masyarakat menjadi lebih terbuka.
Tentu sekarang tantangannya juga semakin berat, yaitu semakin menguatnya 
konservatisme, bahkan mengarah ke radikalisme, baik radikal dalam hal wacana 
maupun terorisme.
Yang sedikit melegakan, NU dan Muhammadiyah telah menyebut diri mereka sebagai 
moderat. Istilah moderat dipakai untuk menunjukkan bahwa ormas Islam di 
Indonesia itu bukan radikal. Oleh karena itu, mereka akan melawan segala bentuk 
kekerasan yang bisa muncul dari agama. Walaupun ada juga ormas Islam yang lebih 
kecil dengan massa yang lebih sedikit yang cenderung konservatif, bahkan 
cenderung radikal.
Kenapa radikalisme sekarang banyak muncul?
Karena dulu Orde Baru (Orba) serba tertutup dan melawan semua kencederungan 
radikalisme, baik kanan maupun kiri. Sejak reformasi, ada keterbukaan.
Saya percaya pada proses bahwa membangun masyarakat yang lebih terbuka itu 
penting walaupun harganya mahal. Kita membayarnya dengan perang sipil di Poso, 
konflik etnis di Kalimantan, juga diskriminasi terhadap kelompok agama 
minoritas, seperti Ahmadiyah.
Radikalisme muncul di era keterbukaan. Ini tak bisa diatasi dengan cara seperti 
dulu dengan menghabisi melalui kekerasan dan tekanan. Di Malaysia masih seperti 
itu sehingga keterbukaan masyarakat Islam dalam berwacana dan berpendapat di 
sana belum bebas. Di Indonesia kita bisa memunculkan wacana apa saja, pendapat 
seliberal apa pun. Walaupun harus diakui tantangannnya juga ada. Namun, tidak 
sampai pada tahap yang membahayakan jiwa.
Apa yang bisa dilakukan untuk meredam radikalisme?
Yang paling penting adalah membuat masyarakat sadar bahwa terorisme itu 
berbahaya untuk perkembangan masyarakat sendiri. Karena radikalisme itu 
cenderung menghancurkan kelompok yang berbeda.
Dalam hal ini, potensi ormas Islam sangat besar karena mereka mewakili sebagian 
besar umat Islam di Indonesia. Apalagi mereka sudah menyatakan diri sebagai 
kelompok yang moderat. Lebih baik lagi jika mereka bisa lebih progresif 
sehingga betul-betul menjadi penyangga dalam meredam radikalisme.
Apa hambatannya untuk mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia?
Dari segi legal kita sudah cukup progresif walaupun masih cukup banyak 
kontradiksi. Dari segi teologi, kita masih memerlukan suatu kejernihan berpikir 
dan berargumen sehingga menjadi jelas bahwa hak-hak orang lain, baik sesama 
Muslim maupun non-Muslim, untuk beragama itu dijamin.
Isu pluralisme dimulai puluhan tahun lalu, tetapi isu kebebasan beragama belum 
sampai pada tahap praktis.
Secara normatif memang mulai dibangun, misalnya ada uraian mengenai ayat Al 
Quran laa iqroha fid-dien, yang artinya tak ada pemaksaan dalam beragama. 
Tetapi, sekarang tantangannya lebih berat.
Toleransi pasif mungkin sudah kita lakukan. Saya kira semua tokoh agama dan 
pemerintahan sudah melakukan, tapi toleransi aktif masih belum. Toleransi aktif 
maksudnya kebebasan beragama dalam implementasi nyata. Misalnya, upaya 
menyelesaikan masalah bersama di masyarakat dalam pendirian tempat ibadah.
Apakah Anda optimistis masyarakat Muslim Indonesia bisa menuju fase demokrasi 
aktif?
Optimis karena secara normatif tidak ada pertentangan. Bahkan, akar-akar 
demokrasi sangat kuat di Islam. Itu yang dieksplorasi oleh pemikir Islam yang 
demokratis. Dan, itu yang hidup di masyarakat.
Kita memang sudah memilih demokrasi sebagai cara untuk mengembangkan masyarakat 
Indonesia. Kita tidak memilih sistem politik yang lain. Demokrasi sudah menjadi 
amanah waktu kita membentuk Indonesia. Kita menuju ke sana.
Saya percaya pada proses. Kita ada dalam satu jalan yang benar. Amerika maupun 
negara-negara Eropa juga butuh waktu lama sampai ke pilihan demokrasi itu. Kini 
kita dalam tahap di mana demokrasi bisa ditumbuhkan.
Sayangnya tak ada negara Muslim besar yang bisa jadi acuan. Banglades contoh 
yang menarik. Mereka menyebut sebagai negara sekuler walaupun memiliki jumlah 
penduduk Muslim sangat besar, terbesar kedua di dunia. Tapi, mereka jatuh 
bangun juga. Problemnya sama dengan Indonesia, korupsi dan lain-lain.
Secara prosedural kita contoh yang baik, di mana demokrasi yang elementer sudah 
terjadi, di mana pemimpin dipilih masyarakat secara bebas. Pemilu dan pilkada 
kita damai. Tentu kita belum puas karena itu masih demokrasi yang elementer. 
Belum sampai pada tahap demokrasi yang membawa kesejahteraan. Jika demokrasi 
masih membawa tetap miskin, untuk apa? Ini kita yang masih cukup jauh. Masih 
perlu waktu.
Apa yang harus dikhawatirkan bisa menggagalkan kita menuju ke proses itu?
Yang bisa menggagalkan adalah radikalisme karena hal itu bisa membatalkan semua 
yang telah kita lakukan, terutama sejak reformasi. Kecenderungan mengenai 
radikalisme itu ada sehingga memang harus terus diwaspadai. [Kompas, 
20/11/2009].
---------
Kepada seluruh umat Muhammadiyah, selamat memperingati dan merayakan 100 tahun 
berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Indonesia semoga semakin terasa 
perannya didalam memajukan bangsa Indonesia. 
Begitupula kami mengucapkan selamat atas terpilihnya kembali A. A. Yewangoe 
menjadi Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) periode 
2009-2014 di Mamasa, semoga lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia semakin 
menjadi motor pendorong kemajuan berfikir dan pemahaman umat, serta bagaimana 
umat dapat semakin menyadari pentingnya hidup dalam keberagaman dan 
keharmonisan bangsa Indonesia.
Marilah melanjutkan semangat juang, kepemimpinan, keteladanan dan kerja keras 
para pahlawan, khususnya di dalam usaha meletakkan dasar negara Pancasila, 
dasar pemahaman keagamaan, keumatan, kenegaraan dan kebangsaan bagi masa depan 
bangsa Indonesia.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
 
Ikutilah :
Magnificat Choir Competition 2009 [MCC 2009] 
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm [ Alarm gempa ] 
Sedia Bibit Ikan Patin
 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke