RIAU POS

      Negara yang Selalu Tegang        


      05 Juni 2007 Pukul 14:10  
      Drama perseteruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mantan Ketua 
MPR Amien Rais berakhir dengan "damai", setelah keduanya bertemu selama 12 
menit di Bandara Halim Perdanakusuma. Sudah pasti ada pihak yang kecewa dan ada 
pula yang senang. Mereka kecewa karena semula berharap Amien akan konsisten 
dengan pernyataannya untuk buka-bukaan soal kebobrokan para penyelenggara 
negara ini, yakni kasus dana kampanye yang ditengarai ilegal menjadi pintu 
masuknya. 

       
      Amien Rais juga sudah mengakui menerima dana dari Departemen Perikanan 
dan Kelautan (DKP) itu, suatu kejujuran yang seharusnya mesti 
dipertanggungjawabkan melalui proses-proses hukum yang berlaku. Diharapkan 
pula, pengakuan Amien itu bisa "diteladani" para capres/cawapres lain, termasuk 
Yudhoyono-Kalla yang saat ini memimpin negara ini.

      Sementara itu, bagi yang senang, justru peristiwa islah itu menjadi happy 
ending, berakhir dengan sesuatu yang menyenangkan. Mengapa? Pertama, mereka tak 
ingin melihat budaya perseteruan elite terus merecoki pengelolaan bangsa ini. 
Mereka khawatir karena biasanya "saat dua gajah beradu, yang jadi korban 
serangga-serangga kecil tak berdaya akibat terinjak-injak". 

      Tepatnya, perseteruan elite bangsa akan menjadikan ketegangan sosial 
politik meningkat. Para elite akan semakin sibuk mengurus diri dan atau 
kelompoknya, sementara rakyat tak terurus. Apalagi, yang terlibat secara 
langsung adalah presiden pilihan rakyat yang diharapkan waktunya diabdikan 
untuk mengurus dan menyejahterakan rakyat.

      Kedua, baik bagi pihak Amien maupun Yudhoyono, pertemuan damai itu akan 
bisa menjadikan keduanya tenang dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Keduanya 
tak perlu resah dengan kemungkinan adanya upaya hukum untuk menelusuri 
kebenaran aliran dana DKP (dan juga barangkali dana asing) yang masuk ke pihak 
masing-masing. Sebab, Yudhoyono sebagai presiden bisa menggunakan otoritasnya 
untuk menghentikan penyusutan kasus dana ilegal itu. 

      Ketiga, bagi pihak Yudhoyono sendiri, mengakhiri perseteruan dengan Amien 
berarti memperkecil ruang konflik di tengah berbagai problem yang menjadikannya 
tersorot dan menurunkan derajat popularitasnya akhir-akhir ini. Sebab, kalau 
saja Amien masih ngotot untuk buka-bukaan sebagaimana dijanjikannya, tak 
mustahil Yudhoyono akan kewalahan menghadapinya. 

      Apalagi, saat ini Yudhoyono-Kalla sedang dipersoalkan di lingkungan 
parlemen (DPR) (ancaman interpelasi) khususnya sebagai buntut kebijakannya 
terhadap Iran. Maka sudah pasti, berdamai dengan Amien merupakan jalan terbaik 
untuk mengeliminasi persoalan yang tengah dihadapinya.

      Penyelesaian masalah kebobrokan dengan cara-cara negosiasi dan berdamai 
memang merupakan bagian dari salah satu karakter menonjol para elite politik 
dan penyelenggara negara. Biasanya, sekali lagi, dengan cara itu pula proses 
hukum bisa berakhir atau tak dilakukan sama sekali. Tak ada yang bisa menggugat 
mereka karena memang hukum dianggap berada di bawah kendali kekuasaan.

      Tetapi, dengan cara-cara seperti itu pula, masalah bangsa ini tak pernah 
selesai. Sebab, tak ada satu aturan pun yang melarang kasus seperti itu dibuka 
kembali, yang sudah pasti akan melahirkan guncangan di publik seperti yang baru 
saja terjadi antara Amien dan Yudhoyono. 

      Setiap seorang elite yang merasa tersakiti hatinya oleh elite lain, 
pastilah mereka akan berusaha mencarikan atau membuka kebobrokannya. Figur atau 
pihak yang menjadi sasaran pun bereaksi dengan menggunakan cara-cara defensif 
atau bahkan ofensif. Lagi-lagi muncul ketegangan sosial politik. Sementara itu, 
masyarakat umum menonton perseteruan di antara para elite itu. Ya, hanya 
menonton. Mereka tak bisa berbuat lebih dari itu, hingga berakhirnya lagi kasus 
tersebut melalui negosiasi damai seperti yang baru saja terjadi pada Amien 
versus Yudhoyono.

      Tampaknya, disadari atau tidak, kekacauan di dalam negeri ini sebenarnya 
diciptakan para elite sendiri. Rakyat hanya jadi penonton dan bahkan jadi 
korban. Kalau terjadi dampak politik, sosial, dan ekonomi terhadap instabilitas 
yang ditimbulkan konflik elite, yang jadi korban adalah rakyat kecil. 

      Para elite tetap berjaya, menikmati keuntungan dalam penyelenggaraan 
negara, termasuk buah dari tawar-menawar politik dalam penyelesaian masalah 
secara damai itu. 

      Pertanyaannya, apakah watak bangsa seperti itu tak bisa diubah? Saya kira 
memang sulit karena para elite merasakan manfaatnya. 

      Pada tingkat tertentu, hal tersebut juga merupakan bagian dari "jualan" 
media massa dengan mengeksploitasi konflik atau perseteruan elite yang 
kontroversial. Asumsinya, barangkali, semakin banyak konflik atau perseteruan 
elite yang terjadi, semakin hangat dan laris media massa itu. Semua itu, 
seperti yang terjadi di Indonesia belakangan ini, memang boleh dikatakan tiada 
hari tanpa berita yang menegangkan, kendati semua berakhir dengan sangat 
mengecewakan.

      Lama-kelamaan, masyarakat juga akan terbiasa dengan masalah yang berisi 
kepura-puraan bahkan kebohongan. Lagi-lagi, para elitelah yang berada di 
dalamnya atau menjadi aktor-aktor yang berperan penting. Hanya, muncul 
pertanyaan, apakah rakyat akan terus membiarkan negaranya atau diri mereka 
dikelola orang-orang yang merupakan pencipta masalah, pencipta ketegangan, 
bahkan sebagian terlibat dalam kasus-kasus yang setiap hari ramai 
diperbincangkan? 

      Jawaban atas pertanyaan itu tentu berpulang pada rakyat sendiri. Yang 
pasti, sekarang atau baru saja berlalu sebuah sandiwara elite yang saling 
mengamankan kepentingan demi tetap bertahannya popularitas atau langgengnya 
kekuasaan. Lebih dari itu, potret bangsa ini sama saja dengan negara yang 
selalu tegang tanpa ujung penyelesaian masalah melalui proses-proses hukum yang 
berkeadilan.(jpnn)


      Laode Ida, 
      Wakil Ketua DPD 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke