Negeri Para Pendusta

 Saturday, 14 November 2009 at 22:57


Sebuah sinetron baru telah membetot perhatian publik. Aktornya:
Presiden, Pimpinan Polri, KPK, Kejagung, Tim 8 dan Anggodo. Lakonnya:
Membantah setiap pernyataan yang dilontarkan lawan mainnya. Judulnya:
Negeri Para Pendusta—terinspirasi judul puisi Adhie Massardi: Negeri
Para Bedebah. Akting mereka sungguh memikat: ada yang menangis di
hadapan Komisi III DPR sambil mengucap “Demi Allah”; ada yang bersumpah
di bawah Al Qur’an; ada pula yang tetap tenang, menjaga wibawa atas
nama “tidak ingin mengintervensi hukum”.



Kian hari, sinetron ini semakin memprihatinkan. Sepertinya tak cukup
jika hanya diberi peringatan tayangan ini perlu “Bimbingan Orangtua”.
Lebih dari itu, harus dihentikan karena membuat masyarakat bingung.
Memang tak ada adegan pornoaksi dan pornografi; tapi ada lakon yang
sama berbahayanya: mengajarkan dusta. Jika ada dua atau tiga orang yang
sama-sama mengklaim dirinya benar dan bersumpah atas nama Allah,
bukankah diantara mereka pasti berdusta? Dan, bagi mereka yang memiliki
nurani, secara kasat mata bisa menyimpulkan siapa sesungguhnya pendusta
itu.



Simak pernyataan-pernyataan berikut ini:



“Saya tak paham apa itu kriminalisasi KPK,” kata Presiden SBY
menanggapi opini yang berkembang bahwa telah terjadi upaya
kriminalisasi KPK. Seorang presiden bergelar S3 dan jenderal bintang
empat sama sekali tak paham istilah kriminalisasi. Anda percaya atau
tidak?



“Saya menemui Anggoro di Singapura difasilitasi KBRI,” ujar mantan
Kabareskrim Susno Duadji. Belakangan, pihak KBRI membantahnya.



“Saya diperas oleh pimpinan KPK,” ucap Anggodo. Padahal, dalam rekaman
yang diputar di Mahkamah Konstitusi jelas terdengar jika Anggodo
mengambil inisiatif menyuap KPK.



Semakin hari, bantah-membantah itu tak terkendali. Kebohongan atau
dusta bak cendawan di musim hujan. Dusta ditutupi dengan dusta, terus
begitu tak berkesudahan. Dan mereka tak malu mempertontonkan itu kepada
khalayak, bahkan di panggung terhormat seperti di DPR.



Saya jadi teringat dengan seorang psikolog asal University of
Massachusetts, Robert Feldman, PhD. Secara khusus ia melakukan
penelitian untuk membuktikan seberapa sering manusia berdusta dan untuk
apa mereka berdusta. Tak tanggung-tanggung, penelitian itu dilakukan
selama 25 tahun! Salah satu hasilnya sangat mengejutkan. Menurutnya,
orang-orang sukses dan memiliki jabatan tinggi sebetulnya adalah
pembohong ulung.



Feldman kemudian memaparkan hasil penelitiannnya itu dalam bukunya The
Liar in Your Life: The Way to Truthful Relationships. Ia mengatakan,
rata-rata orang mengatakan 3 kebohongan setiap 10 menitnya. Diketahui
pula bahwa tingkat kebohongan para responden sangat tinggi, berbohong
bagi mereka sudah menjadi sangat umum dan hal biasa sampai-sampai
seseorang tidak menyadari bahwa ia melakukannya.



Menurut Feldman, berbohong sudah dilakukan sedari kecil, sekitar umur 2
atau 3 tahun. Semakin besar seseorang, keahlian berbohongnya pun
semakin mantap. Sampai-sampai jika dilakukan tes dengan alat pendeteksi
kebohongan mungkin bisa tidak terdeteksi.



Mengapa mereka berdusta? Pertama , mereka berbohong untuk bertahan
hidup. Kedua, seseorang berbohong untuk mendapatkan apa yang ia mau.
Contohnya, memuji seseorang untuk mendapat pujian balik atau keuntungan
tertentu, meyakinkan orang lain untuk meyakini apa yang kita mau dan
sebagainya.



Teknik berbohong sebenarnya tidak dilakukan oleh manusia saja, hampir
seluruh makhluk hidup melakukannya, dan satu alasan yang sama untuk
berbohong adalah untuk mempertahankan hidup.



Jika diperhatikan, hewan melakukan teknik kamuflase yang merupakan
teknik berbohong sederhana. Kebanyakan hewan melakukan kamuflase untuk
menarik lawan jenisnya atau mencari mangsa yang ujung-ujungnya
bertujuan untuk mempertahankan hidup.



Lalu, bagaimana dengan manusia? Perlukah seseorang berbohong untuk 
mempertahankan hidupnya?



Dalam Islam, hanya ada tiga dusta yang diperbolehkan. Pertama, orang
yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan. Kedua, orang yang
berbicara bohong dalam peperangan. Ketiga, suami yang berbicara dengan
istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya (mengharapkan
kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga)”. (HR. Muslim)



Dusta yang dilakukan oleh para pemimpin kita tak satu pun masuk dari
tiga kategori di atas. Dusta mereka, justru membuat kita “Malu (Aku)
jadi Orang Indonesia”, seperti judul puisi yang ditulis Taufiq Ismail.



...Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi

berterang-terang curang susah dicari tandingan,



Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia

dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,

kabarnya dengan sepotong SK



Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,

tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang

menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.



Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.



Penulis: 

Erwyn Kurniawan, S.IP, Editor Maghfiroh Pustaka, Alumni Universitas Nasional



Sumber:

http://eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/erwyn-kurniawans-ip-editor-maghfiroh-pustaka-negeri-para-pendusta.htm

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

Kirim email ke