============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
BOMBANA
Nestapa dari Kilau Emas
Senin, 15 Februari 2010 | 04:05 WIB
Aktivitas penambangan emas di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, dua tahun 
terakhir telah menjungkirbalikkan kehidupan daerah transmigrasi di pesisir 
selatan Sulawesi ini. Roda ekonomi berputar cepat, ditandai dengan peredaran 
uang jutaan rupiah dari penjualan emas.
Di sisi lain, para petani mulai merasakan dampak buruk aktivitas penambangan 
emas. Bagi mereka, emas seperti kutukan. Saluran irigasi Bendung Langkowala 
yang bertahun-tahun memasok air ke sawah belakangan dibelokkan penambang untuk 
keperluan pendulangan.
Setidaknya hal itu yang kini dirasakan Asdar (34), petani di Desa Lantari, 
Kecamatan Lantari Jaya, Kabupaten Bombana. Saat ditemui hari Jumat (12/2), dia 
bersiap membajak sawah dengan traktor melintasi hamparan rumput berpetak-petak.
Dulu lahan seluas 1 hektar itu rutin ditanami padi dua kali setahun. Kini, 
musim tanam tinggal sekali setahun, itu pun mengandalkan pompa air tanah.
Dinas Pertanian Kabupaten Bombana kesulitan menjamin distribusi air bagi 
sekitar 300 petani di Lantari Jaya. Untuk mengairi sawah seluas 20 hektar, 
petani perlu membuat sumur bor dengan biaya Rp 3 juta.
”Kalau tidak ada penambangan emas, mungkin tidak begini jadinya,” kata Asdar, 
keturunan transmigran asal Jawa Barat.
Kecamatan Lantari Jaya dulu dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Bombana. 
Dengan luas sawah 2.500 hektar lebih, Lantari Jaya memproduksi padi 11.500 ton 
per tahun. Setiap hektar sawah dapat menghasilkan gabah 8 ton dengan keuntungan 
Rp 8 juta. Kini produksi berkurang setengahnya.
Kini Lantari Jaya bukan lagi sentra produksi beras di Bombana.
Penambangan masif
Penemuan emas di Bombana tahun 2008 telah mengundang ribuan pendatang dari 
sejumlah daerah, seperti Jawa, Kalimantan, dan Papua, ke Bombana. Penambangan 
dilakukan secara masif. Pemerintah Kabupaten Bombana menaksir kandungan emas di 
wilayahnya 165.000 ton.
Pada permulaan demam emas di Bombana, setiap penambang bisa mendapatkan 
sedikitnya 3 gram emas. Setiap hari mereka pulang dengan mengantongi uang Rp 4 
juta.
Kilauan emas juga menyilaukan mata transmigran setempat. Tidak sedikit yang 
meninggalkan pertanian, banting setir untuk mendulang emas. Harga ikan di 
Bombana pernah melonjak 10 kali lipat karena nelayan mencari emas.
Minimnya pengalaman para penambang tradisional tak jarang menyebabkan 
kecelakaan yang makan korban jiwa. ”Nyaris tiap minggu kami mendengar raungan 
sirene ambulans karena ada korban jiwa di areal penambangan,” kata Sardi (25).
Belakangan, demam emas di Bombana mereda. Banyak penambang emas kembali ke 
daerah asal karena hasil yang didapat tidak lagi sebanyak dulu. Selain itu, 
pemkab memberikan izin pertambangan bagi perusahaan sehingga penambang 
tradisional tidak leluasa mencari emas.
Bombana kini sarat dengan pemandangan tandus, jalan rusak, serta rumah 
transmigran yang berdinding kayu dan berlantai tanah. Kalaupun ada yang 
berkembang, hanya toko yang menjual kebutuhan pertambangan atau warung makan.
Rustam (56), warga setempat, mengeluhkan, Bombana kini menjadi daerah tidak 
aman. Perampokan merajalela.
Menurut dosen Antropologi dari Universitas Haluoleo, Waode Winesty, bila 
masyarakat gagap menghadapi perubahan sosial yang sangat cepat, mereka kemudian 
bisa terpinggirkan dan hanya menjadi penonton. Bila tidak segera diantisipasi 
pemerintah, bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi permasalahan pada masa 
mendatang. (Didit Putra Erlangga Rahardjo, Kompas, 15/2)
------------ 
Apakah di setiap lokasi pertambangan batubara, intan, minyak bumi, gas alam, 
perak timah, tembaga dan sebagainya di berbagai penjuru tanah air Indonesia 
juga selalu terjadi efek gegar ekonomi dan ekologi? Kemudian akhirnya membuat 
mereka hidup nestapa, menderita, demikian pula generasi penerusnya nanti. 
Semoga tidaklah demikian ke depan. 
Tetapi oleh desakan ekonomi, naluri manusia bisa jadi ibarat seperti semut – 
yang hanya berburu manisnya gula, tanpa memikirkan bagaimana memelihara 
kehidupan lingkungan, melestarikan, apalagi memproduksi produksi kembali gula 
tersebut bagi generasi ke depan. Bahkan bisa jadi lebih rendah daripada semut, 
karena semut bisa berdiam dengan cukup menggali liang di permukaan tanah, 
tetapi manusia tidak hanya diam tinggal di situ, tetapi bahkan menggali cukup 
dalam dari permukaan tanah, hingga membongkar-bongkar, mengorek isi perut bumi 
tanpa memikirkan kerusakan lingkungan dan ekologi alam di sekitarnya. Lumpur 
lapindo bisa jadi contoh ekstrem.
Dan di situlah letak jelas perbedaan tindakan dan praktik kehidupan antara 
manusia dengan semut, yang ke depan harus segera terus dibenahi.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke