POTRET BURAM SEBUAH BANGSA (Refleksi 81 Tahun Sumpah Pemuda)

Gisteren om 12:43


Oleh Hasudungan Rudy Yanto Sitohang


Hari ini 81 tahun lalu, segenap kelompok pemuda, berbagai suku
bangsa datang dari berbagai penjuru sudut negeri, berkumpul
membicarakan nasib sebuah bangsa bernama Indonesia. Nama yang pertama
kali dipopulerkan seorang berkebangsaan Jerman bernama A. Bastian.
Mengapa harus berkumpul ? Sejarah menceritakan bahwa negeri “Gemar
Ripah Loh Jinawi”, tanah yang subur-indah-damai sedang berada dalam
kekuasaan kolonial. Penjajahan yang berabad-abad lampau menjadi cerita
kelam perjalanan sebuah bangsa. Kesadaran yang mucul, dupupuk lama
membuat para pemuda tergerak akan nasib bangsanya ke depan dari
belenggu penjajahan. Tak ada yang indah atau manis dalam situasi
“terjajah”, sama artinya terkurung dalam ruang gelap jeruji penjara.
Tak bebas, dikelilingi tembok tinggi besar, diamati bahkan diasingkan
jika gerak menjadi perlawanan. Tak terbayangkan situasi saat itu, anak
menangis kelaparan, ibu terbaring sakit menuggu ajal, ayah kurus
kerontang melamun mencari sumber makan. Tragis…sejarah kelam
menyelimuti pelosok tanah negeri, tak tahu berbuat apa dalam ruang
waktu berabad. Diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam situasi itu,
kerap hukum rimba bertahta. Siapa yang kuat-menang maka dia bertahan
hidup. Mirip zaman barbarian. Ada gladiator, penghianat, mata-mata,
moderat, pencuri, tuan tanah, serdadu bayaran, pahlawan, pujangga dan
para penghkotbah. Sejarah melukiskan tinta hitam-buramnya sketsa
kehidupan masa itu. Tapi di dalam keremangan, kegelapan mendera,
sekelompok anak-anak bangsa, sadar dan maju berpikir menggenggam kepal
tinju walau belum berguna seutuhnya, baru permulaan. Ya…dari pelosok
negeri mereka (bukan kita) mencari celah agar bersama-sama menjejaki
para pendahulunya –meletakkan pondasi kesadaran periode selanjutnya-
agar keluar dari masa kegelapan.



Para “pendahulu” telah memberi teladan bagi para pemuda yang beraneka
suku bangsa, beragam bahasa, mengispirasi para pemuda akan sejarah
perjuangan para “leluhur” yang mati, ditawan, diasingkan. Tak ada lagi
ketakutan, karena mereka tau bahwa kemerdekaan adalah barang mahal yang
harus direbut, diperjuangkan bersama. Lewat proses kebangkitan nasional
pertama, 20 Mei 1908, para pemuda menyerukan teriakan PERSATUAN  dan KESATUAN
. Gerakan perjuangan bumiputra berubah menjadi gerakan lompatan jauh
kedepan mencetuskan akar berdirinya sebuah bangsa. Itulah sebuah
sumpah, sumpah yang ditujukan bagi “Tanah dan Air”, negeri indah dalam
kerangkeng para penjajah rakus. Negeri yang kita pijak, dibawahnya
berserakan tulang-tulang para pendahulu yang tak di kenal demi cucu
dimasa depan. Mereka bersumpah, para pemuda bersumpah dikenal dengan
“Sumpah Pemuda”. Ikrar yang didalam kongres pemuda ke II (26-28 Oktober 1928 di 
Jakarta)
menyatakan bahwa Putra Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu,
menjunjung bahasa persatuan dan berbangsa satu yaitu Indonesia. Tak
lama kemudian sumpah itu dibuktikan dalam epos sejarah, berbuah
merdeka. Lagi-lagi para pemuda berkontribusi membuktikan sumpahnya
mendobrak keraguan akan cita-cita kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bangsa
dimerdekakan oleh Sukarno Hatta atas nama bangsa, atas nama seluruh
rakyat termasuk para pemuda. Benang merah sejarah membuktikan, biarpun
tergilas dalam roda penjajahan, para pemuda telah membuktikan mereka
mampu mendobrak walau nyawa menjadi takdir terakhir. Negeri yang baru
berumur jagung harus dipertahankan dengan darah, senjata, dan doa
melawan kerakusan, melawan penindasan tak terperi demi mempertahankan
hak “para anak-cucu” (kita) di masa depan.

 

Gaung Sumpah Semakin Redup 

Kini, 81 tahun kemudian, eposide sumpah pemuda hari ini bersambung dari
jilid-jilid kemarin. Bertahun-tahun pasca kemerdekaan dinamika
perjalanan bangsa berjalan tertatih-tatih menuju cita-cita dan tujuan
luhur bangsa, tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Cita-cita menjadi
bangsa besar dan sejajar diantara bangsa-bangsa lain diletakkan
sejajar, impian yang sampai hari ini menjadi pokok pergulatan. Ritme
pembangunanan disana-sini menjadi doktin indah, stabilitas dan
pemerataan menjadi salah kaprah. Rejim Orde baru membuktikan hal itu,
disana-sini pemiskinan terus berlangsung, menjadi harga yang harus
dibayar oleh mereka kaum tak berpunya, yang atas nama pembangunan tak
berhak menikmati kemerdekaan. Sesungguhnya, nurani bertanya: apa sudah
benar kita merdeka!, sumpah sebagai bangsa yang satu, tanah air yang
satu dan bahasa yang satu. Sumpah para Pemuda telah diracuni atas nama
mengisi kemerdekaan, pembangunan dan peradaban maju. Kaum “tak
berpunya” dihilangkan hak-haknya, disembunyikan dari ruang-ruang, tak
pantas mengenyam rasa merdeka. Merdeka hanya diberikan kepada mereka
yang berpunya, yang menjungjung tinggi budaya barat, dan yang menghamba
terhadap kehormatan semu sambil menjilat para perampok, penindas. Stop
!. Bagi yang tak rakus, yang melindungi alamnya harus minggir,. Katanya:



“Kalian anti perubahan, penghambat masa depan, melukai peradaban yang berjalan. 
Dan atas nama perubahan, biarkan kami menikmati”



“Kalian hanya boleh hidup dalam blok keterbelakangan, yang harus dikangkangi”



Bagi mereka, sumpah itu hanyalah sejarah. Sejarah tinggal sejarah. Tak
ada manfaat, dan menjadi proyek menyenangkan. Sumpah Pemuda masa kini
hanya sekedar basa-basi, tapi dari dalam ingin menyatakan bahwa
nilai-nilai itu sudah kadaluarsa, tak laku. Roda kehidupan harus maju,
dan bagi yang menggugat sejarah bukan hal yang dibanggakan. Bagi
mereka, kesadaran tak perlu, karena itu hanya membuat bangsa ini jadi
rumit. Itu tak baik buat kesehatan peradaban. Bagi mereka, mimpi sumpah
pemuda sudah dibuang dalam comberen.



Aktualisasi Sumpah Pemuda 

Jilid-jilid sumpah pemuda beberapa tahun belakangan sudah dibicarakan.
Seminar, workshop, kegiatan perlombaan sampai pada upacara yang tak
bermakna selalu mengalami pengulangan. Bagaimana berbicara sumpah
dihadapan para pemuda sekarang. Mereka hanya tahu cerita, tapi tak
pernah diberitakan “teladan” para bapak pendiri bangsanya. Mereka hanya
tau menjalankan perlombaan sumpah pemuda hari ini dan beberapa hari
kedepan. Dan bagi pemerintah daerah sumpah pemuda adalah proyek dan
target yang harus dikerjakan. Bahwa untuk apa dan kemana makna sumpah
pemuda dibawa, bukanlah urusan. Yang penting selamat, yang penting
karir naik (minimal terjaga), yang penting tetap menjabat, yang penting
bla..bla..bla…bla..bla….seterusnya



Tonggak Pemuda hari ini dan ke depan menjadi pertaruhan..apakah
cita-cita para bapak bangsa terealisasi atau hanya menjadi jargon.
Jargon hanya vitamin proses peradaban sedangkan dialektika sejarah
menuntun kita menghargai kehidupan dari arus global yang semakin
menggerus. Pesan para pendiri bangsa hanya sederhana agar selalu
menjaga tanah, air dan segala yang didalamnya. Agar bangsa Indonesia
hidup harmoni dalam taman sarinya internasionalisme. Dalam
Internasionalisme, nasionalisme para pemuda harus segera membuktikan
sumpahnya, dalam pekerjaannya, bersikap, berpikir dan punya
keberpihakan jelas kepada mereka yang lemah, disingkirkan, dimiskinkan
oleh sistim global yang bernama liberalisme, kerakusan. Jikalau tidak,
kita siap-siap menuju masa kegelapan berikutnya dalam ruang yang
berbeda. Jadi benarlah kata Bung Karno: "Perjuanganku lebih mudah karena 
mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu 
sendiri..." 



Pemuda…lakukan yang terbaik!!! 



28 Oktober 2009 



Hasudungan Rudy yanto Sitohang  

(Alumni Targati Bela Negara X, tinggal di Medan) 



Lampiran:   

Teks asli Sumpah Pemuda 1928 



POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA 

Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh 
perkoempoelan-perkoempoelan
pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong
Java, Jong Sumatranen Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia,
Sekar Roekoen Pasoendan, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong
Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar
Indonesia;

membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 October tahoen 1928 dinegeri Djakarta;

sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan dalam 
kerapatan tadi;

sesoedahnja menimbang segala isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;

kerapatan laloe mengambil poetoesan:

PERTAMA.

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH 
INDONESIA. 

KEDOEA.

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA 
INDONESIA. 

KETIGA.

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA 
INDONESIA. 

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas
ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia;

mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan 
dasar persatoeannja:

kemaoean

sejarah

bahasa

hoekoem-adat

pendidikan dan kepandoean;

dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam
segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat
perkoempoelan-perkoempoelan kita





Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

Kirim email ke