http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/26/KRI/mbm.20090126.KRI129353.id.html

49/XXXVII 26 Januari 2009

Para Oma Pemburu Bayi

Polisi menangkap sejumlah nenek yang diduga bagian dari sindikat perdagangan 
bayi. Terungkap setelah tiga bulan penyamaran.
WAJAHNYA putih bersih. Rambutnya yang tipis tersisir rapi. Sepasang bo­la 
matanya yang bulat be­kerjab-kerjab menyambut siapa saja yang mendekat. Bila 
tak ada yang menemani, bayi berusia seki­tar tujuh bulan itu menyibukkan diri 
de­ngan aneka mainan yang tersebar di ran­jangnya, di sudut ruang perawatan 
Ru­mah Sakit Ibu dan Anak Dinda, Jati­uwung, Tangerang. "Anak ini jarang sekali 
rewel. Dia lucu dan penurut," kata Darnelis, pemilik rumah sakit itu. 

Sudah sekitar dua pekan bayi laki-laki itu menginap di Rumah Sakit Dinda. Tak 
seorang pun yang mengetahui namanya. Buyung-demikian perawat di situ 
memanggilnya-diduga korban perdagangan bayi yang dilakukan oleh sekelompok 
perempuan di Tangerang. Petugas Kepolisian Sektor ­Jati­uwung, yang 
menggagalkan transaksi itu pada 14 Januari lalu, untuk sementara "menyimpannya" 
di rumah sakit milik ­Darnelis itu. Kendati foto Buyung sudah muncul di 
beberapa surat kabar, hingga akhir pekan lalu belum ada seorang pun yang 
mengaku itu anaknya. 

Enam perempuan yang diduga menjual Buyung kini mendekam di tahanan kantor 
polisi Jatiuwung. Rata-rata mereka berumur hampir 60 tahun, sudah oma-oma. 
Mereka, Lanni Sanjaya, Em­ma, Chung Muk Chai, Sueiki, Gihfok, dan 
Yenty-satu-satunya yang belum melewati usia setengah abad. Ditemui Tempo pekan 
lalu, keenamnya menggeleng keras ketika ditanya asal-usul Buyung. "Tidak tahu," 
ujar mereka kompak. 

Polisi menduga bayi itu korban penculikan. Dari penampilan fisik Buyung, polisi 
menduga orang tuanya berada. Kendati demikian, polisi tetap tidak 
mengesampingkan kemungkinan lain: bocah itu sengaja dibuang atau dijual orang 
tuanya ke sindikat. Di Tangerang, ini bukan kasus pertama. Dua tahun lalu, 
polisi Tangerang juga mengungkap kasus jual-beli bayi di kota itu, yang diduga 
ada hubungannya dengan sindikat perdagangan anak di luar negeri. 

Menurut Kepala Unit Reserse dan Kriminal Kepolisian Jatiuwung, Inspektur Satu 
Danang Setio Pambudi, pihaknya sudah mengintai selama tiga bulan, sebelum 
akhirnya menggulung komplotan nenek itu. "Selama tiga bulan petugas kami 
melakukan penya­maran." 

Nah, pada 13 Januari silam, menurut Danang, mereka menerima informasi "A1" 
(informasi valid): transaksi jual-beli bayi akan terjadi esok hari. Lokasinya 
di Glodok, Jakarta Barat. Informasi itu menyebut, bayi itu akan dijual dua 
perempuan bernama Gihfok dan Yenty seharga Rp 13 juta kepada Dora. Adapun Dora 
akan memberi uang muka Rp 5 juta. "Sisanya akan dibayar setelah Buyung laku," 
ujar Danang. 

Ketika para perempuan itu bersiap melakukan transaksi di Glodok, seorang polisi 
yang menyamar sebagai pembeli menelepon dan menawar Buyung Rp 30 juta. Kedua 
perempuan itu tergiur. Transaksi pun disetujui di kediaman dua perempuan 
tersebut, di perumahan Villa Regency, Periuk, Tangerang. 

Beberapa polisi berpakain sipil segera meluncur ke Regency. Tanpa kesulitan, 
mereka meringkus dua nenek yang bersiap melepas si Buyung. Dari salah seorang 
tersangka, polisi juga mendapat kuitansi pembayaran awal sebesar Rp 5 juta yang 
sedianya disiapkan untuk Dora. Polisi segera mengembangkan temuan mereka. 

Dari sini, dicokoklah empat perempuan lainnya yang ditengarai sebagai mata 
rantai komplotan itu. Keempatnya warga Kecamatan Sukabumi, Tangerang. Adapun 
Dora, yang menurut polisi otak kejahatan ini, hingga kini belum diketahui 
keberadaannya. 

Menurut Danang, Dora adalah orang yang memerintahkan pencarian bayi. Perintah 
itu diberikan kepada Yenty. Lalu Yenty mengabarkan order tersebut ke Gihfok. 
Gihfok pun melanjutkannya ke empat rekannya di Kotabumi. Keempat orang itulah 
yang bergerilya memburu bayi. Kepada Tempo, para oma itu lagi-lagi menggeleng 
tatkala dita­nya perihal Dora. "Saya tak pernah bertemu, cuma dengar namanya 
dari teman," kata Sueki. 

Sueki dan lima nenek sejawatnya juga membantah tuduhan menjual bayi. "Sumpah, 
saya nggak tahu apa-apa. Saya cuma disuruh mencari bayi," kata Lanni Sanjaya. 
Menurut Lanni, ia baru mengenal Dora sebulan. Adapun Sueki bercerita, awalnya 
ia mengira Dora tidak memiliki anak dan berniat melakukan adopsi. Para nenek 
itu mengaku tidak memiliki pekerjaan selain menjaga cucu mereka. 

Kepala Kepolisian Sektor Jatiuwung, Ajun Komisaris Yade Setiawan Ujung, menduga 
kuat mereka itu bagian dari sindikat perdagangan bayi. Yade mengambil 
kesimpulan itu setelah melihat keterangan mereka yang tidak seragam plus 
tingkat kedekatan mereka yang berbeda dengan Dora. Yade bahkan menduga kelompok 
pemburu bayi tersebut ada hubungannya dengan sindikat perdagangan bayi yang 
ditelusuri polisi di Jakarta Barat beberapa tahun lalu. "Ini tampak dari cara 
mereka berkoordinasi dan mencari korban." 

Pada September 2007, Kepolisian Me­tropolitan Tangerang menangkap sese­orang 
yang diduga terlibat perdagangan ba­yi di Jembatan Lima, Jakarta Barat. 
Tersangka, yang kemudian dilepas karena kurang bukti, diduga terlibat kasus 
perdagangan anak di Tangerang. Kasus ini terungkap berkat laporan ibu sang 
bayi, Nimis, yang curiga pada suami­nya, Subhan, lantaran hilangnya bayi 
mereka. Kepada polisi, Subhan mengaku memang menjual bayi itu. 

Bayi yang dijual itu memang bukan anak Subhan. Ketika Subhan menikahi Nimis, 
perempuan itu sudah hamil tujuh bulan. Polisi menduga, Subhan bersedia menikahi 
Nimis semata lantar­an mengincar bayi tanpa ayah itu. Bayi itu diserahkan 
Subhan ke seorang nenek bernama Leni Frederica, yang belakangan berencana 
menjual bayi bernama Nur Hasanah itu Rp 2,5 juta kepada seseorang yang akan 
ditemuinya di Jembatan Lima. Transaksi itu gagal karena polisi bergerak lebih 
cepat. 

Sindikat perdagangan anak berulang­ kali terungkap, tapi tak pernah tuntas 
digulung. Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Mer­deka 
Sirait, mengatakan bahwa In­do­nesia memang salah satu negara pe­nyuplai anak. 
Anak-anak Indonesia, ujar­nya, dijual sampai Pakistan hingga Uz­bekistan. 
"Selain karena le­mahnya­ penegakan hukum, kebijakan pemerin­tah selama ini 
tidak pro-anak," ujarnya. 

Adek Media, Joniansyah (Tangerang), Martha Warta Silaba

Reply via email to