http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009022606001581

      Kamis, 26 Februari 2009 
     

      OPINI 
     
     
     

TAJUK: Pemilu di Tengah Apatisme Publik 


      MESKI tinggal 42 hari, demam dan ingar-bingar Pemilu 9 April 2009 belum 
juga terasa. Ada indikasi masyarakat tidak cukup antusias, bahkan apatis 
menghadapi hajatan demokrasi lima tahunan itu.

      Di tengah apatisme publik, patut dicatat sejumlah persiapan pemilu yang 
belum juga kelar. Sebut saja daftar pemilih tetap yang masih berubah-ubah, 
surat suara yang rusak, dan pemilih yang belum paham teknis pemberian suara. 
Selain itu, belum adanya payung hukum tentang tanda pemberian suara yang bisa 
lebih dari satu kali dan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

      Kita khawatir sekaligus prihatin dengan persiapan pemilu kali ini. Dengan 
waktu yang kian mepet, KPU belum juga tuntas dengan jumlah pemilih tetap. 
Penambahan dan pengurangan jumlah pemilih masih saja terjadi. Padahal KPU sudah 
menetapkan jumlah pemilih tetap sebanyak 171.068.667 orang. Jumlah itu 
merupakan rekapitulasi secara nasional dari KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

      Perubahan jumlah pemilih di satu daerah bukanlah kecil. Di Jawa Timur, 
misalnya, dalam pilkada baru-baru ini diduga terdapat 345 ribu pemilih fiktif. 
Di daerah lain terjadi juga pengurangan atau penambahan jumlah pemilih secara 
signifikan.

      Perubahan daftar pemilih berkorelasi dengan surat suara. Di beberapa 
daerah, pencetakan surat suara dihentikan karena menunggu kepastian jumlah 
pemilih tetap. Sebab, sesuai Pasal 145 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, 
jumlah surat suara cadangan tidak boleh lebih dari 2% dari jumlah pemilih tetap 
di daerah pemilihan tersebut.

      Pencetakan surat suara juga amburadul. Sekitar 14 juta surat suara 
dinyatakan rusak dan sebagian lainnya ditarik kembali karena salah cetak. Di 
Jakarta Timur, sebanyak 300 ribu surat suara yang sudah didistribusikan ke KPU 
Jakarta Timur terpaksa ditarik.

      Ancaman klasik setiap pemilu adalah munculnya orang-orang yang tidak 
menggunakan hak pilih alias golput. Jumlah itu diperkirakan meningkat pada 
Pemilu 2009. Tren golput sejak reformasi terus meningkat. Pada Pemilu 1999, 
jumlah golput sekitar 10,21%. Pada 2004 meningkat lebih dua kali lipat mencapai 
23,34%, sedangkan pada pemilihan presiden putaran kedua mencapai angka 23,32%, 
meningkat dari putaran pertama sebesar 21,5%.

      Tanda-tanda angka golput meningkat bisa dilihat dari pilkada yang 
berlangsung di berbagai daerah. Rata-rata angka golput dalam setiap pilkada 
mencapai lebih dari 30%.

      Semua itu memperlihatkan bahwa persiapan Pemilu 2009 memang 
mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan karena banyak hal masih memerlukan 
sosialisasi, tapi KPU tidak kunjung melakukannya. Daerah-daerah terpencil tidak 
terjamah sosialisasi dan dibiarkan mengambang. Tanpa sosialisasi, hak suara 
rakyat bisa hangus hanya karena persoalan teknis. Tanpa sosialisasi jumlah 
golput bisa menanjak tajam.

      Jika apatisme pemilih bukan karena kurangnya sosialisasi, melainkan 
karena kesengajaan tidak berkiprah dalam pemilu, berarti kesalahan tidak semata 
karena KPU. Akan tetapi, itu bentuk hukuman terhadap elite politik yang lama 
mengabaikan suara dan kepercayaan rakyat.

      Kini saatnya seluruh elite politik harus bergerak menyelamatkan pemilu 
yang merupakan agenda penting bangsa ini. Tidak hanya menjadi beban KPU, sebab 
seluruh elite politik mempunyai andil menciptakan apatisme kronis di lapisan 
masyarakat.
     

<<bening.gif>>

Kirim email ke