http://batampos.co.id/content/view/34918/97/
Pemimpin Masa Depan Senin, 26 November 2007 Oleh: Agus Setiawan* PEMILIHAN kepala daerah ataupun kepala negara secara langsung pada hakikatnya adalah memilih pemimpin yang terbaik bagi daerah/negara. Pemimpin yang mampu memajukan daerah/negara dan mensejahterakan warganya sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD. Pemimpin seperti ini sangat dibutuhkan, baik untuk menjawab persoalan yang sedang dihadapi maupun tantangan ke depan yang semakin berat. Apalagi di era globalisasi dewasa ini sangat diperlukan pemberdayaan para pemimpin di masa depan dalam berbagai aspek kehidupan. Pemberdayaan kepe mimpinan adalah pengembangan secara optimal semua daya yang dimilikinya, baik yang tersirat maupun vang nyata, sehingga mewujudkan kepemimpinan yang efektif dan berkesiambungan. Seorang pemimpin harus memiliki keberdayaan tertentu, sehingga ia mampu mengatasi berbagai tantangan di masa depan. Dalam era reformasi dan demokrasi, para pemimpin dituntut untuk mampu mengarahkan masyarakatnya dalam mengatasi masalah yang kompleks, sebagai akibat dari pengaruh informasi dan perubahan. Jika seorang pemimpin tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang mempuni, maka bisa dipastikan kepemimpinannya akan berjalan semu, dan pada akhirnya pemimpin yang demikian itu akan ditinggal oleh masyarakatnya. Pemimpin masa depan yang akan selalu dinanti setidaknya mampu memberikan kepercayaan diri kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kriteria yang cocok untuk pemimpin masa depan adalah kreteria sebagaimana tercermin dalam pribadi Rasulullaah SAW yakni siddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Setiap manusia secara standar sudah memiliki potensi untuk berakhlak mulia. Dan potensi itulah yang semakin dikembangkan dengan hadirnya tuntunan-tuntunan moral dan etika yang kemilau cahayanya sangat memukau. Dalam hal ini, kunci kemuliaan akhlak yaitu jujur-terpercaya serta ramah dan lemah lembut namun tegas. Dalam konteks ini, kita bisa pahami bahwa jika negeri ini hancur karena krisis akhlak, maka kita cari orang atau pemimpin yang paling baik akhlaknya. Karena bagaimana mungkin akan mampu memperbaiki moralitas bangsa, kalau diri sang pemimpin sendiri dan keluarganya akhlaknya jelek. Begitu pula halnya, jika kita merasa negeri ini hancur, miskin, terbelakang karena maraknya korupsi, maka mari kita cari pemimpin yang terbukti paling bersih. Paling amanah, dan jujur. Karena tidak mungkin negeri ini dipimpin oleh orang yang bermental korupsi. Menjadi seorang pemimpin faktor terpenting bukan hanya intelect quotient (IQ), tetapi adalah emotional intelegent. Emotional intelegent ini makin mendekati masalah spiritual dan kejiwaan yang selama ini ditinggalkan masyarakat sekuler Barat. Seperti yang diungkapkan Prof Daniel Goleman dari Harvard University, unsure-unsur dari emotional intelegent ada lima yaitu, (1) Self awareness (tahu diri); (2) Self regulation (disiplin diri); (3) Motivation; (4) Empathy; (5) Social skill. Emotional intelegence ini termasuk faktor-faktor dalam genetika pribadi, namun dapat ditingkatkan dengan latihan. Dalam pandangan kita sebagai makhluk yang beragama (Islam, red), tampak bahwa akidah dan ibadah sangat berpengaruh meningkatkan unsur-unsur emotional intelegence itu. Secara sederhana dapat kita katakan bahwa hablum minallah wa hablum minannas sangat berpengaruh dalam meningkatnya emotional intelegence seorang pemimpin, sehingga akhirnya mencapai kematangan emosi. Selain kriteria yang penulis sebutkan di atas, untuk menjadi seorang pemimpin juga harus memiliki Imtaq (Iman dan Taqwa) (Spritual Question/SQ). Seorang pemimpin yang beriman adalah yang percaya bahwa Tuhan itu ada, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa-apa yang diucapkan, diperbuat bahkan isi hati atau niat manusia. Pemimpin dapat membohongi rakyatnya, tapi tidak dapat membohongi Tuhannya. Tipe kepemimpinan seperti ini jauh dari melakukan perbuatan Korupsi. Dan sebaliknya, dengan keberimanannya itu pula, ia menjadi orang yang paling tegas memberantas korupsi tersebut. Bahwa sebagaimana disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004, syarat pertama dari calon kepala daerah adalah ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Syarat yang tercantum pada pasal 58 ini erat kaitannya dengan keharusan bersih diri dari perbuatan korupsi. Dengan memiliki kecerdasan spritual yang tinggi, seorang pemimpin niscaya tidak akan mau melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai agama dan nilai kemanusiaan misalnya korupsi, anarkisme maupun perbuatan yang menzalimi orang lain. Dia akan lebih memposisikan diri sebagai pemimpin yang membawa amanah tuhan dan manusia demi terwujudnya masyarakat madani yang makmur dan sejahtera. Selanjutnya, seorang pemimpin dituntut meningkatkan SDM-nya. Kecerdasan kreativitas bagi seseorang pemimpin adalah pemimpin yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan terobosan-terobosan dalam mengatasi berbagai kendala atau permasalahan yang muncul. Tipe pemimpin dengan CQ (Creativity Quotient) yang tinggi ini mampu menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam upaya meningkatkan daya saing di era globalisasi. Ia bersikap dinamis, fleksibel, komunikatif, dan aspiratif, serta tidak dapat berdiam diri, selalu menginginkan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Ziauddin Sardar dalam bukunya ''Merombak Pola Fikir Intelektual Muslim" mengatakan peradaban di suatu negeri sangat membutuhkan kehadiran kaum intelektual sejati, jika tidak, maka negeri hanya akan terus bekecimpung dengan tanah tandus yang vakum intelektual. Di sini, pemimpin yang intelektual juga harus berperan sebagai agen perubahan social (agent of social changes). Peran itu lebih ditujukan kepada: Pertama, menata kehidupan sosial terutama nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat , apakah itu sudah sesuai dengan nilai/norma yang diajarkan oleh agama. Kedua, membimbing masyarakat melalui aktivitas intelektual untuk mendapatkan pemahaman yang benar. Ketiga, menauladani prilaku yang benar sebagai perbuatan dakwah untuk masyarakat di manapun berada. Keempat, menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan beban penderitaan mereka. Kelima, menyedia diri sebagai tempat konsultasi/komunikasi untuk menggalang keikut-sertaan masyarakat dalam menyelesaikan proyek-proyek kemanusiaan (sosial dan spiritual). (Dr Thohir Luth MA, 2002) Selain itu, seorang pemimpin harus bersikap demokratis. Pemimpin harus menghargai pendapat orang lain, bisa menerima semua masukan dari semua pihak, tidak memaksakan kehendak sendiri. Seorang pemimpin juga harus peduli pada lingkungannya. Pemimpin tidak hanya bisa menerima laporan dari jajarannya serta pembisiknya yang seolah-olah menjadi pemimpin banyangan semua bisa diatur dengan berbagai skenario yang dibuat, namun ia juga dituntut untuk turun langsung melihat masyarakatnya sebagai tanggung jawab sosial. Bukan hanya sekadar menerima laporan sistem dan kebijakan yang dibuat. Meski diakui keberadaan si pembisik terkadang juga bisa dibenarkan untuk mengatasi suatu masalah yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena tanggung jawab sosial ini merupakan aset bagi hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, untuk turut serta dalam mewujudkan tujuan nasional, yaitu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan ataupun kelompok. Akhirnya, siapapun yang menjadi pemimpin di negeri ini akan dihadapkan kepada tugas-tugas besar dan berat yang harus dipikulnya. Jika seorang pemimpin masih bisa dipercaya oleh rakyat, maka pandai-pandai mencari suaka politik dengan rakyat asalkan jangan memperalat reformasi, demokrasi serta hukum untuk dijadikan alat untuk mengelabui rakyat. Mudah-mudahan hal yang demikian jangan sampai terjadi. Jika masih terjadi, entahlah. *** *)Agus Setiawan, Sekjend Komite Independen Pemantau Aspirasi dan Demokrasi (Kipas) Indonesia