================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Pemimpin dan Rakyatnya
Selasa, 2 Februari 2010 | 02:56 WIB
Oleh : Budiman Sudjatmiko 
Demokrasi politik secara leluasa tumbuh di Indonesia selama 11 tahun terakhir. 
Sebagai bangsa, kita patut bangga mengingat kita telah menikmati nyaris semua 
kelengkapan demokrasi yang bisa dirasakan manusia modern. Kita menikmati 
kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, pemilu kompetitif dan langsung, 
keberadaan Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.
Mungkin sektor-sektor yang masih tertinggal dari hak-hak sipil dan politik ini 
adalah masalah penegakan HAM, reformasi birokrasi, dan reformasi kepartaian. 
Ini adalah pekerjaan rumah politik kita. Jika ketiga ”sisa” persoalan ini 
akhirnya bisa segera kita tuntaskan, dengan agak jumawa kita bisa mengklaim 
bahwa kita sudah demokratis secara nyaris sempurna, sebagai negara dan sebagai 
masyarakat.
Namun, sebelum kita telanjur menepuk dada secara tergesa, mungkin baik untuk 
kita menyoroti sejumlah ”produk antara” dari capaian-capaian demokratis kita 
sementara ini, yaitu para aktor pelaku politik. Mereka adalah para pemimpin 
rakyat, yaitu presiden, kepala daerah, pemimpin partai, dan wakil rakyat.
Sebagai produk antara proses demokrasi, para pemimpin tersebut ditunggu oleh 
banyak orang untuk memimpin mereka meraih tujuan akhirnya (ultimate goal) dari 
semua urusan ini: kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat seantero negeri.
Saya sering mendengar orang berkata bahwa muatan dan kualitas pemimpin sebuah 
bangsa merupakan cerminan dari masyarakat yang memilihnya. Yang lucu adalah 
ketika ini kemudian menjadi permakluman jika ada wakil rakyat atau eksekutif 
yang tidak menguasai masalah pengawasan, eksekusi, penyusunan anggaran ataupun 
pembuatan kebijakan publik lainnya.
Kita hendak diyakinkan bahwa para pemimpin ini merupakan produk masyarakatnya 
sendiri yang tidak terdidik secara politik. Jadi, ini dianggap sesuatu yang 
wajar.
Rupanya sinisme hendak menghasut kita untuk memercayai bahwa rakyat cenderung 
memilih secara sembarangan orang-orang yang tidak melek politik pula sebagai 
wakil atau pemimpin mereka, sejauh mereka bisa menyediakan uang dan bertengger 
di atas popularitas. Tentu ini sebuah cara menyimpulkan yang sinis, 
serampangan, dan malas.
Egaliter
Sebenarnya, jika benar bahwa masyarakat kita pada umumnya belum beroleh 
pendidikan politik secara memadai, itu tidak bisa jadi pembenar apabila para 
pemimpin politik — baik yang berada di dewan perwakilan, partai politik, maupun 
yang telah mereka dudukkan sebagai eksekutif — tidak menguasai kebijakan publik.
Betul bahwa para pemimpin merupakan cerminan tingkat ”melek politik” rakyatnya, 
tetapi mereka bukanlah cerminan yang mentah. Sebagai pemimpin, mereka tidak 
seharusnya mencerminkan rakyat sebagaimana adanya dalam aspek kemampuan atau 
tingkat melek politiknya. Karena bagaimanapun mereka telah menempatkan diri dan 
kemudian (atas persetujuan rakyat lewat mekanisme pemilihan) ditempatkan 
sebagai pemimpin. Karena itu, pada aspek pengetahuan, keterampilan, 
ketersediaan waktu, dan fokus kerja, mereka harus berada di atas rata-rata 
rakyat yang telah memercayai mereka. Mereka tidak mewakili ke-belum-melek-kan 
rakyat atas detail urusan pembuatan kebijakan publik.
Setelah argumen ini saya ajukan, apakah saya sedang menganjurkan aristokrasi 
baru dalam politik Indonesia? Tentu tidak. Justru argumen di atas adalah untuk 
menggugat aristokrasi yang ada.
Dengan argumen ini saya justru mau mengatakan bahwa para pemimpin republik — di 
samping keharusan mereka berada di atas rata-rata rakyat dalam soal penguasaan 
detail pembuatan kebijakan publik — harus sebangun dan selaras secara egaliter 
dengan keluhuran posisi rakyat dalam sistem demokrasi.
Ketulusan bersyarat
Kita tahu bahwa sistem demokrasi mengedepankan rakyat sebagai sumber mata air 
kedaulatan, tempat dari mana sumber kekuasaan formal dan efektif oleh para 
pemimpin itu berasal. Yang mau saya tegaskan adalah tentang posisi mulia dan 
luhur dari rakyat sebagai pendiri sesungguhnya dari republik ini (untuk itulah 
Bung Karno dan Bung Hatta merasa perlu mengatasnamakan mereka dalam 
memproklamasikan kemerdekaan).
Berbeda dengan argumentasi saya sebelumnya yang menempatkan para pemimpin di 
atas rata-rata rakyat dalam penguasaan detail kebijakan publik, maka dalam 
keluhuran dan kemuliaan, para pemimpin harus menjadi cerminan apa adanya dari 
rakyat. Lantas, keluhuran dan kemuliaan apa yang harus ”dijiplak” secara apa 
adanya oleh para pemimpin dari rakyatnya? Di antaranya adalah ketulusan dan 
kesederhanaan.
Ketulusan rakyat itu tergambar dari prasangka baik mereka pada seseorang yang 
datang ke rakyat dan menawarkan dirinya menjadi pemimpin (presiden atau wakil 
rakyat). Hati-hatilah, ketulusan itu sejati, tetapi bersyarat karena rakyat 
siap untuk menghukum para pemimpin jika berkali-kali mengkhianati mereka.
Bagaimana dengan kesederhanaan? Kesederhanaan tidak sama dengan kemiskinan dan 
kekumuhan. Kesederhanaan adalah empati dengan cara melibatkan diri dalam jalan 
derita rakyat. Untuk itulah, Bung Karno kerap mengatakan bahwa pemimpin itu 
menjalankan Ampera atau amanat penderitaan rakyat. Maksud Bung Karno adalah 
memimpin itu menjalankan amanat rakyat untuk mengakhiri derita dan rasa sakit 
atas kemiskinan mereka.
Mengapa kesederhanaan itu mulia dan luhur? Karena ia menghiasi pembuatan 
kebijakan publik dengan jiwa solidaritas dan pesan bahwa perbuatan baik 
mengatasi amanat penderitaan rakyat itu indah seperti pengantin yang diriasi.
Kesederhanaan akan meringankan langkah bangsa memberantas korupsi, kemiskinan, 
keterbelakangan dan ketimpangan sosial seringan saat para calon pemimpin dulu 
menjajakan diri mereka di hadapan rakyatnya. Karena itu, bukannya tanpa alasan 
jika ada bait puisi dari penyair Latin, Horace, yang mendengungkan dahsyatnya 
simplex munditiis (kesederhanaan yang elok).
Budiman Sudjatmiko Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR. [Kompas, 2/2/10].
---------- 
Menjadi pemimpin itu adalah suatu proses panjang, ketat, diatur, dibentuk, 
dipilih oleh rakyatnya dan diuji oleh waktu, apalagi bila itu pemimpin negara. 
Semua pemimpin memiliki talent kemampuan sesuai tingkat pemahamannya 
masing-masing. Dan rakyatnya pun selalu memilih yang diharapkan yang terbaik. 
Rakyat Indonesia biasanya akan semangat saat persiapan pemilu, saat mendapat 
banyak tebaran, harapan, atau kue kampanye, bahkan kebanyakan senang saat 
memilih. Namun setelah berjalannya waktu bisa saja kemudian gemes - 'jebulane'  
– karena mereka semua punya mata, telinga, hati, nurani, jiwa dan moral. 
Mungkin ini juga menjadi bagian penting dari sebuah proses demokrasi untuk 
melatih ‘demokrasi kesabaran’ nasional kita, sabar menunggu 4 (empat) tahun 
lagi.
Apabila kemudian di tengah perjalanan demokrasi, lahir bayi-bayi demokrasi yang 
dinyatakan oleh perorangan, atau dideklarasikan oleh kelompok, dan kemudian 
didedikasikan kepada kemajuan rakyat, pasti rakyat pun setuju dan menyambut 
gembira. Ibarat menyambut seorang bayi yang lahir, maka akan disambut senyum, 
tawa dan bahagia semua orang, dan mendoakan semoga kelak cepat besar, menjadi 
orang yang berguna bagi orang lain. 
Apabila kemudian kemarin (1/2) lahir lagi bayi demokrasi Indonesia, yang 
ditandai dengan kenduri nasional menyambutnya di senayan, kita mendoakan semoga 
dapat menggapai cita-cita dan cintanya, berguna bagi masyarakat, bangsa dan 
negara. Itulah proses alamiah yang dinamis, merupakan bagian dari proses dan 
pelajaran penting bagi pertumbuhan dan perkembangan Indonesia ke depan. 
Bedanya, bayi manusia yang baru lahir, biasanya baru bisa menyusu dan banyak 
tidur, sedangkan bayi demokrasi itu walau baru lahir sudah bisa berdiri, 
berjalan, dan sudah bisa langsung bekerja, untuk kesejahteraan rakyat secara 
nasional. Sehingga harapan Indonesia ke depan menjadi negara maju itu selalu 
ada.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke