http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=kategoriminggu&kid=15&id=Budaya

      Minggu, 25 Januari 2009  
     
      Perlukah Lagi Ada Sebutan Pribumi dan Nonpribumi?

     
      SIAPA yang disebut peranakan Cina atau Cina peranakan? Kenapa keturunan 
Tionghoa yang sudah menyatakan berwarganegara Indonesia masih ditanyakan akte 
kelahiran asli ketika mengurus paspor atau ada tanda-tanda khusus ketika 
membuat KTP?

      Masalah seputar Cina atau Tionghoa mengemuka dalam diskusi panel bertopik 
"Keindonesiaan dan Ketionghoan : Menuju Harmoni Identitas dan Budaya" di 
Bentara Budaya, Jakarta baru-baru ini. Diskusi ini digelar oleh Komunitas 
Lintas Budaya Indonesia menyongsong Tahun Baru Imlek yang jatuh pada Senin 
(26/1) besok.

      Sineas Ariani Darmawan yang membuat film pendek "Anak Naga Beranak Naga" 
dan "Sugiharti Halim" mempertanyakan dirinya yang lahir dan kelak akan 
meninggal di Indonesia masih acap ditanyakan surat-surat asli ketika mengurus 
KTP dan paspor. "Padahal, saya tidak bisa berbahasa Mandarin, sehari-hari 
dengan teman di kampus dan sesama insan film berbahasa Jawa. Kalau papa mama 
saya yang tinggal di Purwokerto memang masih berbahasa Cina dan bahasa 
Belanda," keluhnya.

      Ihwal asimilasi atau pembauran sesama etnis, Ariani sangat mendukung, 
asal tidak dipaksakan. Seperti mbak Ester Indahyati Jusuf (penerima "Yap Thiam 
Hien Award 2001") menikah dengan orang Jawa. "Kalau dipaksakan, hasilnya instan 
dan kita akan jadi generasi banci yang tidak kenal siapa diri kita. Ganti nama 
dari nama Cina menjadi nama Indonesia dipaksakan dan diharuskan. Asimilasi 
harus berjalan secara alamiah dan saya lebih setuju jika pembauran terjadi di 
bidang budaya atau makanan," jelas Ariani.

      Wanita sineas muda ini melanjutkan, ketika ia membuat film dokumenter 
tentang gambang kromong dan cokek -- musik tradisi Betawi yang hidup di 
Tangerang, Ariani tersentuh dan tersentak. Ternyata, penari cokek bernama Asnah 
(80) yang tinggal di rumah sederhana di Tangerang itu aslinya dari Tiongkok. 
Suami, anak-anak dan cucu-cucunya sudah lama membaur dengan penduduk pribumi. 
Dari wajah, kulit sampai adat istiadat mereka sudah tidak bisa lagi yang mana 
non-pribumi dan yang mana pribumi. Semuanya sudah menyatu.

      Jadi Korban

      Di bidang kuliner atau makanan, banyak makanan khas Cina kini sudah 
menjadi makanan Indonesia. Dari bakmi, bakso, tahu, tempe, capcay, siomay, 
kecap, tauco, kucai (sayuran) dan banyak lagi. Bahkan, istilah-istilah bahasa 
Tionghoa dari Hokian atau Sinkek (asli dari Cina daratan) sudah lama terserap 
dan menjadi bahasa sehari-hari seperti cepe, jigo, jeceng, gope, kamsia (terima 
kasih), wo ai ni (aku cinta padamu) dan masih seabreg lagi.

      Yang lucu, kalau ada pengendara sepeda motor melanggar rambu lalu lintas 
dan disemprit polisi, langsung ada yang teriak, "Prit, jigo!" Istilah pungli 
(pungutan liar) yang dulu pernah populer di zaman Pangkopkamtib Sudomo juga 
berasal dari bahasa Kuo Yu (Mandarin) yang artinya kurang lebih sama yaitu 
"pungutan tidak resmi".

      Pertanyaannya, apakah masih relevankah istilah pri, nonpri, atau Cina, 
Chinese, Tionghoa atau "cina lole" di zaman globalisasi saat kini, sementara 
RRC kini sudah menjadi negara modern dan menerapkan kapitalisme modern?

      Pokoknya, setiap ada kerusuhan rasial dari zaman Soekarno sampai 
Soeharto, selalu yang jadi korban adalah orang Cina. Baperki dilarang dan 
dibubarkan karena dianggap pro-PKI. Menteri Oei Tjoe Tat yang pro Bung Karno 
dan pendiri partai Partindo dibui dan dibuang ke Pulau Buru tanpa disidang. 
Siauw Gok Tjhan (pendiri Baperki) dikucilkan sampai tutup usia karena sudah tua.

      Lihat pulalah peristiwa Mei 1963 sampai September 1965 hingga reformasi 
1998 saat jatuhnya Soeharto. Dari golongan Tionghoa memang muncul demonstran 
seperti Liem Bian Koen, Liem Bian Kie, Soe Hok Gie, Arif Budiman (Soe Hok 
Djien) sampai pahlawan reformasi yang ditembak sebagai mahasiswa Trisaksi, 
Hendrawan Sie. Tetapi, semuanya tidak pernah dihargai oleh Pemerintah.

      "Memang ada orang Tionghoa yang jadi menteri, seperti Liem Koen Hian, Oei 
Tjoe Tat, Marie Pangestu sebagai Menteri Perdagangan di zaman SBY dan Menkeu 
Kwik Kian Gie di zaman ibu Megawati, tapi jumlahnya masih sedikit," ujar Ester 
Indahyani Jusuf, seorang aktifis dan sarjana hukum yang mengamati 
masalah-masalah perempuan Cina yang jadi korban politik.

      Banyak Berjasa

      Di bidang ekonomi, ada istilah konglomerat dan selalu yang kena tuding 
adalah golongan Tionghoa. Padahal, ada konglomerat asli pribumi dan dia 
menduduki nomor satu sebagai orang terkaya di Asia. Dulu ada istilah Ali Baba, 
lalu di zaman Soeharto terkenal persekutuan dan kong-kali-kong ketika beliau 
mengajak ratusan pengusaha nonpri ke Tapos dan siapa tak kenal Liem Sioe Liong 
alias Soedomo Salim.

      Seakan yang jelek-jelek saja yang diceritakan, dimuat di koran dan 
menghiasi layar televisi. Padahal, di dunia olahraga, Indonesia punya Tan Yoe 
Hok, Rudy Hartono, Ivana Lie, Liem Swie King, serta pasangan Susi Susanti dan 
Alan Budikusuma yang mengukir prestasi Olimpiade di Eropa. Bahkan, Alan jadi 
Ketua RT di suatu kawasan di Jakarta Utara. Di bidang budaya, orang kenal Teguh 
Karya (Liem Tjoan Hok), pelawak Ateng, Tan Tjeng Bok, Fifi Young, Agnes Monica, 
Sandra Dewi, Olga Lidya, Ferry Salim, sampai Tina Toon.

      Ironisnya, meski banyak dari golongan Tionghoa berjasa terhadap negara 
Indonesia, di masa tuanya mereka masih ditanyakan surat akte kelahiran ketika 
mengurus KTP dan paspor. Ivana Lie ketika mudanya, kalau mau bertanding 
bulutangkis di luar negeri, segera dibuatkan paspor meminjam orang lain atas 
perintah seorang Menteri Olahraga, karena dia kala itu masih state-less alias 
tidak punya warganegaraan. Ada cerita, Alan dan Susi Susanti diperintah kalau 
menjawab pertanyaan wartawan di luar negeri, dilarang menggunakan nama Tionghoa 
mereka dan dilarang menggunakan tanda salib (mereka berdua Katolik). "Ini kan 
rasis dan sara," urai Ester.

      Memang, berbeda-beda tapi tetap satu. Bhinneka Tunggal Ika seperti yang 
dicanangkan founthing father Bung Karno jalannya masih terseok-seok dan penuh 
onak. Atau dalam istilah Ester, "biarkan seribu bunga mekar bersama di taman 
Indonesia". Banyak etnis dan suku di Nusantara, termasuk Tionghoa dan biarkan 
mereka berprestasi, jangan lagi dihalangi dan dicurigai.

      Prof. Dr. Gondomono, antropolog budaya Tionghoa dari UI menegaskan, 
ketika zaman Orde Baru, banyak orang Cina ketika mengurus KTP dan paspor 
diperas oleh oknum-oknum Lurah dan Imigrasi. "Namun, beberapa teman saya 
menceritakan kepada saya, ketika Mendagri-nya pak Rudini di tahun 1992, ada 
pemutihan SBKRI bagi orang-orang Cina dan langsung menjadi warganegara 
Indonesia asal orang-orang Tionghoa tersebut memilih Golkar," cerita Gondomono.

      Mona Lohanda, penulis buku "Growing Pains" sependapat dengan Gondomono. 
"Saya setuju jika istilah pri dan nonpri dihapus saja. Kita kan sudah jadi 
bangsa Indonesia seutuhnya, apapun suku dan agamanya. Kenyataannya, tidak semua 
orang Tionghoa kaya dan jadi konglomerat atau jadi pengisap darah rakyat. Masih 
banyak orang Tionghoa melarat dan miskin di Tangerang (dikenal istilah Cina 
Benteng) dan menjadi petani serta nelayan di Singkawang, Pontianak dan Bagan 
Siapi-api," ujar Mona.

      Juga, lanjut Mona, di bidang apapun, dari politik, hukum, budaya dan 
olahraga kita kenal banyak tokoh orang Tionghoa yang harum namanya dan membuat 
prestasi bagi nusa dan bangsa. "Ada Lie Tek Tjeng, Yap Thiam Hien, Soe Hok Gie 
(difilmkan dengan judul "Gie" oleh Riri Riza), Oyong Peng Koen (PK Oyong, 
pendiri harian Kompas) sampai Kwik Kian Gie, Rudy Hartono dan Teguh Karya," 
katanya.

      Di zaman globalisasi, sudah sepatutnya prasangka anti-Cina dibuang 
jauh-jauh. Prasangka historis ini sengaja diciptakan oleh kolonial Belanda yang 
memisah dan memilah bangsa Timur Asing kelas dua seperti Cina dan bangsa nomor 
satu Eropa yang beradab Belanda, Inggris, dll. Bangsa pribumi Indonesia sendiri 
acap disebut hanya menjadi kelompok paling bawah, tertindas dan melarat.

      Dulu ada kelompok Pecinan dan Kampung Arab, bahkan kapitan Cina yang 
sengaja dibuat eksklusif menjadi warga berpendidikan. Zaman kini, setelah 
Indonesia merdeka dengan falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, 
seyogyanyalah dipertanyakan "kontribusi apa yang diberikan orang Jawa, Bali, 
Batak, Ambon, Papua, Padang, Tionghoa, Arab dll kepada negara". Jangan katakan 
"apa yang sudah diberikan negara kepada Anda". Itu dikatakan JF Kennedy, 
presiden AS yang menolak adanya perbedaan ras dan etnis.


      * ipik tanoyo
     

     

Reply via email to