SUARA MERDEKA


Pilihan Kepala Desa, Politik Uang Sudah Biasa?

      Ditulis Oleh Fatkhul Muin    
     
      02-11-2009,  
      Sebulan mendatang, Pemerintah Kabupaten Demak akan menggelar lagi ajang 
Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) bagi desa-desa yang saat ini masih lowong 
pejabatnya. Seperti yang sudah-sudah, ajang pilkades ini meskipun termasuk 
dalam kerangka demokrasi, namun pada kenyataannya efek yang ditimbulkan cukup 
beragam. Bahkan kadang-kadang luka yang ditimbulkan dalam ajang pilkades ini 
butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya. 

      Ada beberapa masukan yang mengusulkan bahwa ajang pilkades ini 
dihilangkan atau diubah sedemikian rupa agar efek yang ditimbulkan tidak 
berkepanjangan.

      Selain itu biasanya ajang pilkades ini rentan dengan yang namanya money 
politic atau politik uang, tanpa uang pilkades tidak jalan baik dari segi 
kepanitiaan sebagai pelaksana ataupun bagi pemilih yang menggunakan hak 
pilihnya dalam ajang pilkades.

      Untuk kepanitiaan, pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus pos 
penyelenggaraan Pilkades yang jika dihitung mendekati miliaran rupiah bahkan 
lebih, selain itu desa juga mengeluarkan pos anggaran dan besarnya tergantung 
dari kesepakatan bersama antara pemerintahan desa dan lembaga yang ada. Bakal 
calon atau Calon kepala desa biasanya juga mengeluarkan sejumlah uang yang 
lazim disebut swadaya dalam rangka mensukseskan ajang pilkades di desanya.

      Selain biaya tersebut di atas, calon kepala desa yang akan berlaga dalam 
ajang pemilihan kepala desa juga harus menyiapkan sejumlah uang dalam rangka 
kesuksesan dirinya dalam rangka menggaet pemilih. Biasanya hal ini telah 
dilakukannya jauh-jauh hari setelah dirinya dengan resmi mengikuti ajang 
pilkades di desanya istilah jawanya bukak lawang. Meskipun hanya sekedar 
menyediakan makanan kecil, minuman, rokok  namun jika yang disediakan jumlah 
cukup banyak dan waktunya cukup panjang jika dihitung bisa mencapai puluhan 
juta rupiah.

      Selain itu layaknya ajang pemilihan apapun kita butuh juga team sukses 
yang dibuat juga jauh-jauh hari, inipun jika dihitung juga membutuhkan biaya 
yang tidak sedikit. Belum nanti ketika hari H pelaksanaan Pilkades, calon juga 
membutuhkan uang yang cukup besar untuk membeli suara tergantung dari jumlah 
pemilih yang ikut memilih dalam ajang pemilihan kepala desa itu.

      Harga beli suara atau kadang kadang disebut juga pengganti kerja besarnya 
tergantung dari harga jual bengkok yang nantinya sebagai gaji sang Kepala Desa 
di desa itu. Bila harga bengkok laku tinggi para pemilih memperoleh uang yang 
cukup besar, sebaliknya jika bengkok yang dijual tidak begitu laku uang 
penganti kerja bagi pemilih juga demikian.

      Dari informasi yang penulis peroleh pada ajang pilkades sebelumnya, 'uang 
amplop' yang diterima oleh para pemilih nilainya berkisar antara 
Rp10.000-Rp100.000, bahkan ada pula calon yang nyangoni pemilihnya 
Rp200.000-Rp300.000 dalam rangka kemenangan dirinya. Ini biasanya berlaku pada 
desa-desa yang bengkoknya cukup banyak dan harga jualnya lumayan tinggi.

      Sebagai contoh, ada desa yang gaji kepala desanya berupa bengkok 25 bau, 
setiap tahun 1 bau laku 6 juta rupiah, secara hitungan kasar gaji kepala desa 
tersebut Rp150 juta, jika dikalikan 6 tahun ketemu 900 juta rupiah, nah jika 
biaya pilkades yang dikeluarkan 500 Juta rupiah dalam hitungan angka masih 
untung atau modal bisa kembali.

      Hal ini pernah juga penulis tanyakan pada masing-masing calon, berapa 
biaya yang dikeluarkan dalam rangka pencalonannya sebagai kepala desa. 
Berbisik-bisik, mereka menyatakan angka yang cukup fantastis: Rp100-200 juta, 
bahkan ada yang menghabiskan dana hampir 300 juta rupiah! Lalu saya bertanya 
dari mana uang sebanyak itu? rata-rata mengatakan pinjam, entah pinjam saudara, 
teman, ataupun bank .

      Lalu bagaimana dengan mereka yang gagal mendapatkan posisi sebagai kepala 
desa, padahal modal yang dikeluarkan sudah sedemikian banyak? Walallahu a'lam . 
Saya tidak bisa berpikir dari mana dia akan mengembalikan biaya semuanya itu.

      Mestinya sebelum memutuskan untuk mengikuti ajang pilkades mereka telah 
siap baik persiapan spiritual atau material dan yang penting mereka itu harus 
siap kalah. Jika tidak siap kalah hal inilah yang menjadikan masalah pilkades 
berlarut-larut hanya karena masalah kecil saja , menjadikan ketidaksahan ajang 
pilkades. Apalagi jika sampai ke tingkat Pengadilan selain membutuhkan waktu 
yang lama juga biaya yang cukup besar lagi.

      Oleh karenanya agar Pilkades bisa berjalan lancar dan menghasilkan 
pimpinan yang baik demi kemajuan desanya, warga desa harus mematuhi aturan yang 
berlaku, namun untuk urusan amplopan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah, 
entah bagi-bagi duit atau money politic istilahnya itu pasti ada. 

Kirim email ke