http://female.kompas.com/read/xml/2009/11/01/13171368/poligami.hilangnya.hidup.tenang


Poligami: Hilangnya Hidup Tenang
 
Arbain Rambey/KOMPAS
Wanita yang tidak memiliki kemandirian ekonomi biasanya takut dicerai.
Minggu, 1/11/2009 | 13:17 WIB
KOMPAS.com - "Bukan enak yang saya dapat seperti saya bayangkan sebelumnya, 
malah puyeng waktu harus bagi rezeki, bagi waktu, bagi perhatian, dan jadi 
sering bohong."

Ungkapan itu disampaikan Djohan Endjelete (68), pensiunan tentara yang tinggal 
di Kabupaten Cirebon. Pada tahun 1989 Djohan tergoda menikah lagi. "Setelah 
menikah 30 tahun, kami jadi seperti saudara. Beda rasanya dari orang yang baru 
menikah," kata Djohan menjelaskan alasan berpoligami.

Pernikahan keduanya hanya bertahan 1,5 tahun karena Djohan lelah terus 
berbohong kepada kedua istrinya. "Kalau dapat rezeki di luar gaji, saya tidak 
bisa bilang kepada istri pertama. Kalau istri kedua kurang uang, saya bohong. 
Jadinya, saya terus-terusan bohong dan menyakiti hati kedua istri saya," kata 
Djohan.

Poligami kembali menjadi bahan pembicaraan publik setelah di Bandung, 
pertengahan Oktober lalu, berdiri Klub Poligami Indonesia. Klub ini diresmikan 
Chodijah binti Am, Ketua Global Ikhwan, klub poligami asal Malaysia (Warta 
Kota, 21/10). Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat tak menyetujui klub ini dengan 
alasan menimbulkan keresahan di antara perempuan yang menolak poligami.

Perempuan sebagai pihak yang dipoligami tentu saja paling merasakan sakit 
ketika suami menikah lagi. Yayah (44) merasa kembali dikhianati ketika suaminya 
meminta izin menikah lagi lima tahun lalu dengan perempuan berusia 23 tahun.

"Saya dulu sering bercerita kepada suami tentang penderitaan Ibu yang 
dipoligami Ayah. Maksudnya, ingin memberi tahu suami saya tidak ingin 
dipoligami," tutur Yayah yang tinggal di Cikupa, Tangerang.

Pilih bercerai
Yayah memilih bertahan dalam perkawinan karena dia dan dua anaknya yang sudah 
remaja secara ekonomi bergantung kepada suami.

"Saya takut disuruh meninggalkan rumah kalau minta cerai dan anak-anak tidak 
dibiayai lagi. Saya katakan kepada anak-anak untuk ikhlas menerima kejadian 
ini, tetapi tidak meniru perbuatan ayahnya yang merupakan contoh buruk," cetus 
Yayah.

Lain lagi dengan Yuni (45) yang tinggal di Bintaro, Tangerang. Ketika suami 
dari ibu empat anak ini menunjukkan tanda-tanda ingin menikah lagi, Yuni 
menegaskan tak ingin dipoligami. "Ketika menikah, kami sama-sama bekerja. Yang 
takut bercerai biasanya karena tidak punya kemandirian ekonomi," tutur Yuni 
yang mendalami tasawuf.

Yuni bercerai sebelum sempat dipoligami. "Buat saya untuk berpoligami banyak 
dan berat syaratnya. Dalam ajaran Islam yang saya pahami, berpoligami tidak 
segampang itu," kata Yuni yang mengasuh keempat anaknya setelah bercerai tahun 
lalu.

Yuni mengatakan prihatin dengan perkembangan belakangan ini ketika poligami 
dipahami secara gampangan. "Orang sering mengartikan nafkah rohani sebagai 
seksual. Padahal, nafkah rohani artinya lebih dalam lagi, bagaimana berbagi 
energi Allah," kata Yuni.

Tuhan, kata Yuni, tidak menciptakan dua hati dalam satu dada karena hati itu 
tidak untuk berbagi dan hanya ada satu tujuan, yaitu mencintai Allah. Wujudnya, 
mencintai istri dan anak-anak dari pernikahan itu. Energi Allah, tambah Yuni, 
unsurnya cahaya, lembut. "Kelembutan itu tidak mungkin digunakan untuk 
menyakiti, dalam hal ini hati istri yang dipoligami," tutur Yuni.

Berubah
Kehidupan Djohan dan Yayah berubah setelah memasuki kehidupan poligami. Djohan 
jadi sering mengalami konflik batin. "Hidup jadi tidak tenang. Dalam perkawinan 
poligami, lelaki pasti hidup dalam kebohongan dan menyakiti hati istri, yang 
tua dan yang muda. Syarat poligami memang harus adil, tetapi situasi nyata 
tidak memungkinkan keadilan itu," papar Djohan yang dihubungi Rabu (28/10) sore.

Djohan mencontohkan soal berbagi waktu di antara kedua istri. "Kalau tiba 
giliran ke rumah istri kedua, tetapi istri pertama melarang, terpaksa saya 
berbohong kepada istri kedua," kata Djohan.

Dia mengenalkan sejak kecil anak dari perkawinan keduanya kepada empat anak 
dari perkawinan pertama. "Supaya anak-anak tidak kaget dan yang kecil diakui 
kakak-kakaknya," kata Djohan.

Pada Yayah, rasa sakit hati terus tinggal karena dia sudah sepenuh hati 
berusaha melayani suami, seperti mencuci dan menyetrika sendiri pakaian 
suaminya, sementara baju dia dan anak-anak dicucikan di luar. Dia juga tidak 
mau memiliki pekerja rumah tangga (PRT) untuk menghemat pengeluaran.

Setelah suaminya menikah lagi, Yayah enggan mengerjakan sendiri pekerjaan rumah 
tangga dan meminta tambahan uang dari suami untuk membayar PRT.

Yang tak kalah terpukul, dua anak laki-laki Yayah. Keduanya tak mau berbicara 
dengan ayah mereka. Si sulung, yang sebelumnya sangat dekat dengan ayahnya, 
berubah jadi pendiam. "Dia malu," kata Yayah.

Meskipun sekarang kedua anak itu sudah berbaikan dengan ayah mereka, tetapi 
rasa marah masih terus ada. Kedua anak itu protes bila ayah mereka mengajak 
istri muda dan tiga anak yang lahir dari perkawinan itu berkunjung.

Yayah sendiri kini menganggap suaminya lebih seperti saudara dan sedapat 
mungkin menghindar dari urusan melayani suami. Dia juga harus mencari akal 
supaya anak-anak mendapat jatah uang yang cukup.

Yuni kini harus membesarkan sendiri keempat anaknya. "Capai, sih. Pilihan ini 
bukannya tidak berat, tetapi saya yakin Tuhan akan membantu saya," kata Yuni.

(NMP/IND/Kompas Cetak)

++++

http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/28/11542995/poligami.bikin.pria.panjang.umur

Poligami Bikin Pria Panjang Umur?
Kamis, 28 Agustus 2008 | 11:54 WIB
INGIN hidup berumur panjang? Cobalah untuk memiliki istri kedua, atau bahkan 
lebih. Anjuran ini sepertinya mengada-ada, tetapi bisa jadi ada benarnya 
apabila menyimak hasil kesimpulan sebuah riset yang dilakukan ahli ekologi  
Inggris, Virpi Lummaa.

Ilmuwan dari Universitas Sheffield itu  belum lama ini mempresentasikan 
temuannya tentang hubungan poligami dan umur panjang dalam  pertemuan tahunan 
International Society for Behavioral Ecology'di Ithaca, New York, Amerika 
Serikat. 

Menurut hasil riset Lummaa yang juga dimuat majalah New Scientist, pria yang 
menganut poligami rata-rata memiliki usia lebih panjang di bandingkan mereka 
yang hanya beristri satu.  Kesimpilan ini diambil setelah memperhitungkan 
beragam faktor seperti perbedaan status sosial ekonomi.

Riset menunjukkan, pria berusia di atas 60 tahun di 140 negara penganut 
poligami dengan derajat kehidupan bervariasi tercatat berusia 12 persen lebih 
panjang di bandingkan para pria yang tinggal di 49 negara yang dikenal kuat 
menganut monogami.

Lummaa menjelaskan, pria yang menjalani poligami bisa lebih panjang usianya 
kemungkinan karena faktor sosial dan genetika.  Pria yang terus berjuang 
menghidupi anak-anak dan istrinya walau sudah memasuki usia 60 atau 70-an  
kemungkinan lebih baik dalam menjaga kebugaran dan kesehatannya. 

Ini pun tidak terlepas dari tekad dan tanggung jawabnya untuk menafkahi 
anak-anak dan istiri-istrinya. Namun begitu,  lanjut Lummaa, kekuatan evolusi 
yang terjadi selama ribuan tahun juga patut diperhitungkan sebagai penyebab 
panjangnya usia pria yang hidup dengan budaya poligami.

Dalam risetnya, Lummaa menggunakan data Badan Kesehatan Dunia (World Health 
Organization).  Ia bersama rekannya, Andy Russell, meneliti para pria di atas 
60 tahun yang tinggal di 189 negara dan mengelompokkannya dalam empat skala 
yakni dari tingkat 1 untuk kategori sangat monogami hingga paling poligami 
untuk skala 4. 

Ia juga memperhitungkan produk domestik bruto setiap negara dan rata-rata 
pendapatannya guna meminimalisir pengaruh faktor kualitas nutrisi dan pelayanan 
kesehatan di negara-negara Barat yang menganut monogami.


Artikel Terkait: 
  a.. Mengapa Pernikahan Bisa Amat Singkat? 
  b.. Sudah Beristri Cantik, Kok Masih Selingkuh? 
  c.. Poligami, Masalah Abadi Perempuan? 
  d.. Menikah, Indahnya Cuma Lima Tahun? 
  e.. 52 Gadis Diselamatkan dari Rumah Poligami 

<<1315316p.jpg>>

Kirim email ke