http://www.mediaindonesia.com/read/2009/07/07/82888/70/13/Polisi-belum-Banyak-Berubah


Polisi belum Banyak Berubah 


Rabu, 01 Juli 2009 00:00 WIB     
Polisi mungkin lembaga yang paling sedikit menerima pujian publik. Masyarakat 
sampai hari ini masih sangat pelit untuk mengacungkan jempol kepada kerja 
kepolisian. 

Apakah ini berarti kepolisian sangat buruk? Tidak juga. Polisi memang telah dan 
sedang berubah. Tetapi perubahan itu seperti siput yang merayap, tidak 
sekencang burung yang terbang. 

Mengapa publik begitu kikir memuji, tapi amat gampang mencela polisi? Karena 
ekspektasi yang begitu tinggi terhadap peran polisi itu sendiri. 

Kepolisian Republik Indonesia yang hari ini berulang tahun ke-63, mewarisi 
sebuah beban yang amat berat. Reformasi telah memaksanya tanpa persiapan matang 
untuk berubah menjadi sipil bersenjata dari militer berbedil. 

Ini adalah akibat dari sistem lama yang menggabungkan kepolisian dalam wadah 
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 

Dalam sistem lama polisi adalah anak tiri dari ABRI. 

Ketika reformasi tiba dan demokrasi bergelora, polisi tanpa persiapan matang 
harus mengambil alih peran keamanan yang selama Orde Baru adalah kewenangan 
militer. 

Inilah biang utama mengapa publik pelit mengapresiasi polisi. Karena demokrasi 
dan kebebasan membuka ekspektasi publik tanpa kendali, sementara polisi 
terkendala banyak persoalan internal. Tidak berimbang antara harapan masyarakat 
tentang polisi yang ideal dan kemampuan faktual polisi memenuhi harapan itu. 

Untuk mengubah persepsi publik terhadap polisi yang amat buruk di masa lalu, 
diperlukan perubahan-perubahan luar biasa dan konsisten pada kinerja polisi. 
Sebuah krisis kepercayaan yang amat besar tidak bisa direbut kembali dengan 
prestasi yang biasa-biasa saja. Harus ada kinerja luar biasa yang mampu 
mengubah persepsi dan preferensi publik. 

Sejauh ini, perubahan yang mulai kentara adalah keinginan kuat polisi untuk 
menjadi pelayan publik yang efektif. Ada pusat-pusat pengaduan masyarakat yang 
menyebabkan setiap warga bisa datang mengadukan persoalannya. Pelayanan SIM, 
STNK, dan pajak kendaraan sudah ditempuh melalui bank dan pelayanan keliling. 
Sosok sipil yang melayani mulai terlihat. 

Akan tetapi, yang belum berubah banyak adalah dalam wilayah polisi sebagai 
penegak hukum. Belum ada rasa nyaman dan kepastian publik yang berurusan dengan 
polisi dalam soal hukum. Berurusan dengan polisi dianggap menambah masalah 
daripada menyelesaikan perkara. 

Skeptisisme terhadap polisi melalui sindiran lama masih bergema. Yaitu, melapor 
kepada polisi tentang kambing yang dicuri kita harus menjual sapi. Kambing 
tidak ditemukan, sapi pun melayang. 

Ini semua adalah kompleksitas polisi terhadap uang yang kemudian dipopulerkan 
melalui istilah menyindir delapan enam (86). Demi delapan enam polisi bisa 
menggadai peraturan bahkan harga diri. Preman-preman yang bermunculan di jalan 
dalam berbagai bentuk ternyata menjadi bagian dari kehausan polisi terhadap 
delapan enam. 

Ini semua kita paparkan, tentu, tidak dalam rangka kebencian terhadap polisi. 
Tetapi justru merupakan kritik karena kita sesungguhnya sangat cinta pada 
mereka. 

Polisi, apa pun reputasinya, adalah vital bagi penegakan keamanan. Bayangkan 
sebuah negara hidup tanpa polisi. Mana tahan.... 

Romantisme masyarakat dengan polisi sesungguhnya terdefinisi dengan baik dalam 
judul lagu Benci tapi Rindu. Ada polisi dibenci dan dicaci, tetapi tidak ada 
polisi mana tahan.... 

Inilah kritik sekaligus ekspresi kecintaan kita terhadap polisi. Viva 
Kepolisian Republik Indonesia. 

Reply via email to