Refleksi : Tidak ada yang bisa mencegah orang bermimpi.  Tetapi rakyat 
dininabobokan  supaya bermimpi ilusi fatamorgana yang tidak akan dilaksanakan 
oleh penguasa NKRI.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini

ANDRINOF A CHANIAGO
Program Rumah Untuk Rakyat Miskin Hanya Mimpi 


Sabtu, 29 Mei 2010

Proyek perumahan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah (kategori hampir 
miskin dan miskin) sepertinya hanya tinggal sejarah. Masalahnya, ketimpangan 
kian melebar antara ketersediaan rumah dibanding jumlah keluarga pra-sejahtera 
atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Apalagi, keinginan politik dan keberpihakan pemerintah kian pudar. Masyarakat 
kurang mampu yang hanya bisa mengakses "rumah kontrakan" atau mendirikan 
gubug-gubug sederhana di bantaran kali atau di permukiman kumuh tak pernah 
mendapat empati dari pengambil kebijakan. 

Pemerintah sendiri tak pernah punya konsep yang jelas. Program pembangunan 
rumah susun sederhana dan rumah sangat sederhana atau sekarang disebut rumah 
sederhana sehat (RSS) ternyata bukan untuk masyarakat golongan pra-sejahtera. 
Belakangan proyek pembangunan rumah susun malah hanya menjadi ajang untuk 
mendatangkan keuntungan bagi perusahaan pengembang yang lebih memprioritaskan 
masyarakat kelas menengah ke atas.

Untuk itu, sudah saatnya pemerintah mengambil alih program pembangunan rumah 
susun dan rumah sederhana agar dapat berjalan secara benar dan tepat sasaran. 
Jika melihat pengalaman, peruntukannya akan melenceng jika diserahkan kepada 
perusahaan pengembang swasta. Dhus, cita-cita wong cilik untuk bisa memiliki 
rumah kembali hanya sekadar mimpi.

Untuk mengurai lebih jauh perwujudan rumah untuk si miskin, wartawati HU Suara 
Karya Silli Melanovi dan fotografer Andry Bey mewawancarai Analis Kebijakan 
Publik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof A Chaniago di kantornya di 
FISIP UI Depok. Berikut petikan wawancaranya. Bagaimana Anda melihat keseriusan 
pemerintah menyediakan rumah bagi masyarakat miskin?

Ukuran ketidakseriusan pemerintah, terutama dilihat dari ketidakmatangan 
konsep. Sejak dulu, saya melihat konsep yang dirumuskan tidak bisa menjamin 
akan mencapai sasaran. Sebab, konsep yang ada hanya menekankan pada kuantitas, 
misalnya, sekian menara rumah susun atau sekian juta rumah sederhana sehat. Ini 
tidak mungkin dilakukan. Dengan hanya melihat secara kuantitatif, maka akan 
mudah dibelokkan atau bahkan mudah berhenti di tengah jalan alias tidak 
berkelanjutan.

Tapi, apakah mencapai sasaran, ini yang tidak pernah dilihat oleh pemerintah. 
Memang, kenyataannya, urusan target kuantitatif saja tidak pernah tercapai, 
apalagi sasarannya. Ini karena hampir 100 persen pengadaan rumah hanya 
berdasarkan pada mekanisme pasar. Keberpihakan pemerintah hanya sebatas 
penentuan target. Kalaupun ada subsidi, hampir sebagian besar tidak efektif dan 
hanya bisa dinikmati oleh masyarakat mampu.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Seharusnya pemerintah bisa mengarahkan Perum Perumnas untuk fokus dan 
benar-benar bisa memenuhi ketersediaan rumah bagi masyarakat miskin atau kelas 
menengah ke bawah. Namun ternyata Perumnas justru menjadi lembaga "bermuka 
dua". Di satu sisi, mengusung misi sosial atau pelayanan publik. Tapi di sisi 
lain, dituntut meraih laba optimal sebagai badan usaha.

Akhirnya Perumnas tetap menggunakan kalkulasi mikro ekonomi dengan 
memprioritaskan untung-rugi dalam membangun rumah atau lebih melihat keuntungan 
dari perspektif investasi. Coba kita lihat, aset Perumnas sebenarnya di atas 
kertas cukup lumayan. Ada sekitar 20 ribuan hektar lahan dimiliki Perumnas. 
Kalau memang Perumnas ingin merealisasikan visinya 'mensejahterakan masyarakat' 
lewat pembangunan perumahan, maka harus dilihat sejauh mana benar-benar 
bermanfaat dan tepat sasaran untuk masyarakat miskin.

Bagaimana konsep pembangunan rumah untuk masyarakat miskin?

Pembangunan rumah untuk masyarakat miskin sebenarnya mengusung multifungsi. 
Rumah tidak semata-mata hanya untuk kebutuhan tempat tinggal, namun juga harus 
dapat memberikan kemudahan. Khususnya terkait aksesibilitas dalam aspek 
ekonomi, seperti masalah transportasi. Kalau pemerintah betul-betul 
memerhatikan hal ini, maka pembangunan di perkotaan harus jadi prioritas.

Apalagi untuk masyarakat miskin, sehingga pendapatannya tidak habis untuk 
transportasi. Semakin banyak pembangunan rumah susun, semakin banyak pula efek 
positif yang didapat. Namun saya melihat kebijakan pemerintah justru hanya 
menguntungkan para investor dan konsmunen kelas atas. Jadi, pelayanan untuk 
masyarakat kelas bawah sangat minim.

Seberapa jauh masyarakat kelas bawah mampu membeli rumah susun atau RSS? Apakah 
harganya terjangkau?

Sekarang, harga rumah susun bersubsidi sudah tidak sesuai lagi seperti yang 
ditetapkan pemerintah. Banyak akal-akalan yang dilakukan oleh pengembang, 
sehingga harganya rata-rata sudah di atas Rp 200 juta. Dengan demikian, 
bagaimana dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Bagaimana 
mereka membayar uang muka Rp 20 juta dan selebihnya Rp 180 juta harus dicicil 
per bulan dalam 15 tahun. Pasti tidak mampu! Jadi ini adalah soal keseriusan 
pemerintah.

Lalu bagaimana penilaian Anda terhadap kepedulian perusahaan pengembang untuk 
menyediakan rumah murah?

Kita tidak bisa mengharapkan pengembang mau menjadi idealis atau mengusung misi 
sosial secara maksimal. Ini tidak akan mungkin. Jadi, hanya pemerintah yang 
punya wewenang mengatur atau memaksa pengembang untuk membangun rumah murah 
dengan jumlah signifikan. 

Jadi akan terus terjadi kesenjangan atau ketimpangan dalam pembangunan 
perumahan?

Kita telah mengesahkan tujuan kita untuk menyediakan rumah susun yang 
terjangkau bagi masyarakat dari golongan berpenghasilan rendah dengan 
disahkannya UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Lalu ditetapkan UU No 4 
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Jadi sudah ada arahan untuk 
pembangunan rumah susun dan rumah sederhana untuk memenuhi kebutuhan perumahan 
yang layak bagi seluruh masyarakat, terutama dari golongan berpenghasilan 
rendah di perkotaan. Tetapi, setelah lebih dari 20 tahun kita memiliki acuan 
pembangunan rumah, masyarakat kelas menengah ke bawah masih sulit untuk bisa 
mengakses rumah yang layak.***

                    BIODATA
Nama:
Andrinof A Chaniago

Tempat, tanggal lahir:
Padang, 3 November 1962

Pekerjaan: 
1. Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI dengan spesialisasi
   mata kuliah Ekonomi-Politik pada Program S1 dan S2 (Pascasarjana),
   Politik Perkotaan pada Program Sarjana Ekstensi, Isu-isu Politik
   dalam Kebijakan Publik pada Program S1 dan S2 (Pascasarjana)
2. Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group (CSG)

Istri:
Ir Yultifani

Anak:
Auzi Amazia Domasti (15)

Jabatan organisasi: 
- Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)
- Anggota Badan PenasIhat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia
- Anggota Dewan Redaksi Jurnal Galang (jurnal pemikiran tentang 
  filantrofi)

Kirim email ke