Quo Vadis Demokrasi Kita?

Oleh M Fadjroel Rachman
Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]


S BY-Boediono, JK-Wiranto, dan Megawati-Prabowo mendaftarkan diri sebagai pa 
sangan calon presiden/calon wakil pre siden di KPU pada Sabtu (16/5). Berar ti, 
tiga pasangan sepuh sudah resmi akan bertarung pada Pemilu Presiden 8 Juli 
2009. Jangan berharap akan muncul anak muda seusia Presiden AS Barrack Obama 
(47), Presiden Rusia Dmytri Medvedev (44), atau Perdana Menteri Thai land 
Abhisit Vejajiva (44) yang akan muncul se bagai pasangan capres/cawapres 
Indonesia.Ke kuasaan oligarki partai politik (parpol) menutup semua kemungkinan.

Semua kemungkinan kemunculan alternatif presiden di luar parpol dan tiga 
pasangan sepuh itu dihambat parpol di DPR. Calon presiden al ter natif, juga 
wacana capres independen, pada inti nya adalah mengembalikan hak konstitusio 
nal warga negara untuk ikut dalam pemerintahan, serta sarana untuk kontinuitas 
dan regene rasi kepemimpinan nasional. Namun, apabila regulasi dibuat parpol 
untuk menghambatnya, kita bertanya-tanya apakah pendidikan demokrasi yang 
menghormati hak konstitusional pemilih (vo ters) berlandaskan pada visi, 
ideologi, dan pro gram rasional yang tangguh dapat dibangun dalam tahap 
transisi dan konsolidasi demokrasi? Pe nolakan pemilih terhadap parpol dan 
caleg se benarnya sudah tergambar dengan menangnya gol put pada Pemilu 
Legislatif 9 April 2009. Menurut KPU, ada 49,6 juta pemilih tak hadir dan 17,5 
juta suara tak sah, ditambah perkiraan 20 juta pe milih tak ada dalam Daftar 
Pemilih Tetap (DPT). Bila kekacauan DPT diperhitungkan, sua ra
 golput diperkirakan mencapai 60 juta pemilih dari sekitar 171 juta pemilih dan 
kemungkinan akan mencapai 70-80 juta golput pada Pemilihan Pre siden 8 Juli 
2009 nanti.

Daya tarik kuasa
Sekadar untuk berkuasa? Itulah yang nampak dari drama sabun pembentukan koalisi 
antar parpol. Karena itu, demikian mudahlah SBY dan JK berpisah padahal mereka 
sudah bekerja sama se bagai presiden dan wakil presiden, dengan se gala 
prestasi baik maupun buruk. Dalam kasus SBY-JK, perpisahan juga ditopang 
arogansi kemenangan Partai Demokrat yang sangat spektakuler pada pemilu 
legislatif di dalam sistem mul tipartai yang sangat ketat sekarang ini, sebuah 
rekor dunia tentu saja. Diperkirakan kenaikan 300% ini berasal dari ‘ucapan 
terima kasih’ 19,12 juta kepala keluarga (KK) yang memperoleh Bantuan Langsung 
Tunai (BLT) senilai Rp14,17 triliun. ‘Ucapan’ tersebut juga berasal dari kelas 
me nengah dan profesional yang bersikap risk-averse (menolak risiko), yang 
secara psikologis akan memilih kondisi yang dikenalnya, yang da pat memberikan 
keuntungan walaupun kecil daripada mengambil risiko mencari keuntungan lebih 
besar dari kondisi yang tak dikenalnya.
 Hal itu merupakan sebagian keuntungan selain dukungan positif dari peremajaan 
struktur teritorial TNI dan polisi yang berada di garis depan penegakan hukum 
dan aturan serta langsung di bawah presiden, bukan Mendagri seperti umumnya 
praktik di negara lain, serta birokrasi yang ma sih bersifat feodalistik. 
Pemilu presiden kemung kinan akan berlangsung dua putaran dan ketiga pasangan 
sepuh akan mengerahkan semua kekuatan modal, jaringan, serta mesin partai untuk 
bertanding. Namun, siapa pun pemenangnya, rakyat tetaplah harus bersiap-siap 
bah wa mimpi republik ‘memajukan kesejahtera an umum, mencerdaskan kehidupan 
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, 
perdamaian abadi, dan keadilan sosial’ tetaplah jauh dari kenyataan.

Nihilnya suara pemilih
Ternyata kasak-kusuk koalisi parpol menampilkan wajah bopeng konsolidasi 
demokrasi kita. Semuanya centang perenang saja, tak peduli lagi pada kesetiaan 
parpol terhadap visi dan ideologi yang mendasari pendirian parpol, kesetiaan 
pengurus dan kader, serta alasan akal sehat para pe milih untuk memilih caleg 
ataupun parpol mereka.Kelelahan dan kerja keras para pemilih untuk mencari 
informasi dan membandingkan visi, ideologi dan program parpol, serta caleg par 
pol dinihilkan dengan darah dingin, dalam ba hasa pasaran, “Memangnya gue 
pikirin akal se hat lo?” Dengan menihilkan suara pemilih dengan darah dingin 
itulah karakter partai yang berperilaku sebagai pialang politik, “Tak lebih 
dari dealers, tak ada leaders,” kata Rocky Gerung, ahli Filsafat UI.
Soal koalisi? Sekali lagi hiruk-pikuk berbagai koalisi secara kasat mata tanpa 
visi dan ideologi. Karena itu, koalisi tersebut adalah persatean bukan 
persatuan, dan membenarkan ucapan Bung Hat ta. Memang ada sejumlah kegaduhan 
dalam pembentukan koalisi, parpol menengah mencoba tawar-menawar, tapi parpol 
kecil cuma berpikir bagaimana dapat ikut dengan pasangan yang kemungkinan 
kemenangannya paling besar walaupun garis ideologi dan visinya berbeda. 
Misalnya, PKS dalam kasus koalisi SBY-Boediono mencoba menaikkan posisi tawar 
hingga detik terakhir pendeklarasian sehingga melengkapi 20 parpol pendukung 
SBY. Tak terbayangkan juga Partai Bintang Reformasi atau PBR (sebagian di 
dukung mantan anggota PRD) yang selalu me nyuarakan slogan antineoliberalisme 
rezim SBY-JK, dengan mudahnya merapat kepada pasangan SBY-Boediono.
Entah bagaimana caranya para caleg dan anggo ta PBR berkampanye lagi kepada 
para pemilihnya semula yang memilih mereka karena slogan antineoliberalisme 
pada Pemilu Legislatif 9 April 2009, berarti mereka akan berkampanye 
proneoliberalisme pada Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Demikian pula Mantan Ketua 
PRD Budiman Sudjatmiko, anggota Badan Pemenangan Pemi lu Presiden PDIPyang 
semua berkampanye propenegakan dan pengadilan HAM termasuk terhadap 13 aktivis 
yang hilang diculik sampai se karang (di antaranya Bimo Petrus anggota PRD) 
harus berkampanye berdampingan dengan Let jen (purn) Prabowo yang karier 
militernya di berhentikan karena kasus penculikan aktivis pa da 1998.

Masa depan parpol?
Akhirnya persoalan koalisi tak lain dari upaya menjadi presiden serta mendapat 
jatah menteri, ataupun keuntungan materi lainnya pada pemerintahan baru periode 
2009-2014 nanti. Artinya, kepentingan paling langsung tokoh dan partai politik 
(parpol) selain (1) menjadi presiden, mendapat jatah menteri di kabinet baru, 
dan keuntungan materi. (2) Memenangi Pemilu Presiden 8 Juli 2009. (3) 
Mempertahankan kekuasaan pe me rintahan hingga 2014.

Walaupun ada prasyarat ideal untuk membuat koalisi menjelang Pemi lu Presiden 8 
Juli 2009 nanti, yaitu berbasiskan visi, ideologi, dan platform kerja bersama. 
Namun, prasyarat ideal itu tak perlu diperhitungkan lagi sekarang. Walaupun 
para pemilih dengan bersusah payah memilih parpol, program, serta caleg yang 
sesuai dengan akal sehat juga informasi yang mereka cari dan olah. Mamun, jerih 
payah pemilih itu dinihilkan elite parpol dan politisi Indonesia sekarang ini.

Dengan demikian perceraian dan penggabungan antar 38 parpol nasional yang 
berpusat pada tiga simpul koalisi (SBY, JK, dan Mega) adalah semata-mata untuk 
kekuasaan. Dalam istilah Bung Hatta penggabungan tan pa visi dan ideologi 
adalah persatean, bu kan persatuan. Apakah yang akan disam pai kan aktivis 
propene gakan HAM, seperti Budiman Sudjatmiko kepada pemilihnya nanti ka rena 
sudah lolos sebagai anggota DPR dari PDIP, dilema serupa akan dihadapi aktivis 
pro penegakan HAM lainnya, Rieke Diah Pitaloka yang juga lolos ke DPR dari 
PDIP, apakah mereka akan diam saja demi kursi DPR yang sudah ditangan?. Sikap 
dan perubahan para kader, pengurus, ang gota parpol, dan anggota DPR anggota 
koalisi sangat menarik untuk dicermati. Selain melihat sampai sejauh mana 
konsolidasi demokrasi terjadi tepat 11tahun perayaan re formasi, tergulingnya 
Soeharto dan Orba oleh mahasiswa dan rakyat pada 21 Mei 1998. Kita juga dapat 
mengamati bagaimana parpol memperdagangkan visi,
 ideologi, dan suara pemilih.
Jadi sifat ultrapragmatis parpol dalam mengejar kekuasaan semata bukan hanya me 
ngorbankan suara pemilih parpol tersebut, tetapi juga mengorbankan akal sehat 
para ka der parpol dan anggota legislatif mereka. Bahkan, yang terutama, masa 
depan parpol itu sendiri.


 
MEDIA INDONESIA, Jumat 29 Mei 2009, Halaman 6
 
 
Matematika Dagang Sapi Menteri SBY Berbudi 
 
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mengikat 23 partai politik. Jatah 
menteri menjadi rebutan.
 
MESKI belum pasti menang, Partai Demokrat berikut calon Presidennya Susilo 
Bambang Yudhoyono (SBY) dan cawapresnya Boediono, nampaknya sudah begitu yakin 
akan terpilih kembali dalam Pilpres 2009 mendatang. Posisi tersebut membuat 
beberapa partai memilih mengambil sikap pragmatis untuk segera berkoalisi. 
Target mendapat jatah kursi menteri lebih realistis untuk dikejar.
 
Setidaknya, sebelum pemilu legislatif digelar —jauh hari sebelum lahir 
deklarasi SBYBerbudi— Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah menyatakan 
berkoalisi dengan Demokrat. Bahkan, beberapa kader partai berbasis Nahdliyin 
ini dipersiapkan untuk dipromosikan sebagai calon kabinet SBY 2009-2014.
 
Ketua DPP PKB A Helmy Faishal Zaini mengisyaratkan, sebanyak empat kader PKB  
bakal mengisi kabinet SBY. Hal itu, katanya, sudah dijanjikan dalam pertemuan 
PKB dengan SBY yang juga ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. 
 
“Sudah ada langkah serius untuk menciptakan koalisi antar kedua partai,” ujar  
Helmy setelah kampanye terbuka PKB di Lapangan Sutawangi, Majalengka, awal 
April lalu.
 
Saat ini, katanya, PKB hanya memperoleh jatah dua kursi di kabinet. Mereka 
adalah Menakertrans Erman Suparno dan Menteri PDT Lukman Edy. “Kami berharap, 
setidaknya, bisa memperoleh lima atau enam kursi di kabinet,” ungkap Helmy.
 
Kendati begitu, lanjutnya, PKB tetap menyerahkan semuanya keputusan kepada SBY. 
“Kita hanya berharap dan itu pada dasarnya realistis, meskipun semuanya  
kembali pada hak prerogatif presiden,” katanya.
 
Sementara, Wakil Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB hasil MLB Ancol, Lily Chadijah 
Wahid, membantah bahwa partainya ngotot untuk bisa meraih 4 kursi menteri. 
“Kita  realistis sajalah. Nggak usah terlalu ngoyo apalagi sampai minta jatah 
menteri segala,” katanya. 
 
Menurutnya, perolehan suara dalam pemilu legislatif, masih menjadi ukuran bagi  
seorang presiden terpilih untuk memberikan kursi menteri kepada parpol yang 
mendukungnya. Dengan perolehan suara PKB yang hanya 4,94 persen dan duduk 
diperingkat tujuh, lanjutnya, tidak ada hal lain yang pantas dilakukan kecuali 
menyerahkan seluruh kewenangan itu kepada presiden terpilih.
 
“Kecuali jika PKB menempati urutan kedua atau ketiga, itu wajar jika melakukan 
bergaining. Kalau sekarang, modal buat bergainingnya apa,” katanya.
 
Senada dengan Lily, harapan Helmy sepertinya akan tidak terwujud, menurut  
sumber Indonesia Monitor di lingkungan tim 9 Partai Demokrat, PKB paling banyak 
hanya mendapat dua pos menteri. “Itu pun kemungkinannya untuk Cak Imin dan 
Lukman Edy,” ujarnya, sembari mengatakan sembari mengatakan partai ’menengah’ 
pendukung SBY lainnya juga minta jatah kursi menteri. Misalnya, PAN dua 
menteri, PPP dua menteri, dan PKS 4 menteri.
 
Lebih lanjut sumber di Tim 9 Demokrat menambahkan, hal tersebut tidak berlaku  
bagi sejumlah partai gurem yang bergabung dalam koalisi. ’’Kami akan membangun 
koalisi dengan banyak partai, termasuk partai gurem. Bagi kami, partai gurem 
dan tidak lolos electoral threshold ataupun bukan tetap menjadi cerminan 
perwakilan rakyat Indonesia,” katanya.
 
“Dan kami di Tim 9 yang berperan sebagai koki, menyerahkan kepada juru 
masaknya, dalam hal ini SBY sebagai Ketua Dewan Pembina untuk menentukan arah 
koalisi,” lanjut sumber itu. 
 
Syarief Hasan, anggota Tim 9 Demokrat, membenarkan memang ada permintaan jatah 
menteri yang disampaikan parpol untuk koalisi. Namun, dia enggan  menyebutkan 
parpol apa saja yang sudah menyampaikan permintaan. ’’Datanya ada di kami. Cuma 
tak etis jika saya menyebutkan nama parpo-parpolnya,’’ tutur dia. 
 
Wacana sudah adanya kapling menteri parpol dibenarkan Ketua Dewan Pimpi nan 
Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) Agus Purnomo, dirinya mengatakan 
bahwa, SBY sudah membagi-bagi kursi menteri kepada para parpol pengusung 
sekaligus mitra koalisinya.
 
Menurutnya, setiap partai pendukung akan mendapat jatah kursi yang jumlahnya 
proporsional sesuai jumlah perolehan kursi di DPR RI. Cara menghitung adalah 
dengan membagi perolehan jumlah kursi partai di DPR dibagi 560 (jumlah total 
kursi DPR) dikalikan jumlah menteri. Nanti akan ketemu jatah menterinya berapa.
 
Contoh: PKS mendapat 57 kursi dibagi 560 dikalikan jumlah menteri dalam kabinet 
(36 menteri) totalnya PKS akan mendapat jatah 3-4 menteri.
 
Dengan rumusan itu, tentunya semakin sedikit anggotanya yang duduk di DPR RI, 
jatah kursi kabinet partai itu juga sedikit. Demikian juga sebaliknya. 
“Tergantung kursi DPR yang didapat partai,” ujar Agus Purnomo saat menjadi 
pembicara diskusi di Jakarta, Rabu (13/5).
 
Yang menarik, ternyata pembicaraan antar partai pendukung SBY tidak sebatas 
jumlah kursi yang menjadi jatah partai pendukung. Soal nama pun sudah diplot.
 
Vokalis PKS yang pernah menjabat mantan Ketua DPW PKS Jogja itu pun 
membocorkan. Siapa yang menjadi menteri pertahanan,” Dari darat”. Maksudnya, 
orang yang akan mengisi pos–Menhan adalah jenderal dari TNI Angkatan Darat.
 
Lantas, siapa menteri keuangan? “Tetap,” katanya. Kalau benar jawaban Agus itu, 
maka bisa dipastikan Sri Mulyani Indrawati bakal terus duduk di kursi 
jabatannya hingga lima tahun ke depan.
 
Menanggapi isu bagi-bagi kursi menteri, anggota DPR dari Partai Demokrat Sutan 
Bhatoegana, menyatakan, pos mentri adalah wewenang sepenuhnya presiden. “SBY 
adalah sosok yang cerdas dan tahu siapa yang pantas dan mampu,” ujarnya.
 
Ketika ditanya perimbangan Menteri yang akan diduduki oleh Demokrat. Vokalis  
Demokrat yang duduk di komisi VII ini, menjawab, kemungkinan perimbangan 
kursinya tidak jauh berbeda hanya minus Golkar saja. 
 
“Kalau minus Golkar, kemungkinan pak SBY akan lebih banyak menempatkan kalangan 
profesional-profesional yang tidak banyak cari  muka di kabinetnya,” ungkapnya 
sembari mengatakan bahwa diam-diam SBY terus memantau dan mengamati siapa saja 
yang nantinya akan duduk di kursi pembantunya.
 
Terkait dengan, jatah parpol-papol pendukung yang memiliki kursi di parlemen,  
dirinya menjelaskan, kalau semuanya di hitung berdasar perolehan jumlah kursi 
di parlemen, ya tinggal di cari saja bilangan pambaginya.
 
“Misalnya PKS dengan perolehan 57 suara, berhak mendapat empat mentri, maka PKB 
yang meraih 27 kursi sewajarnya mendapat dua kursi kabinet. Dan yang lebih 
penting, kabinet ke depan jelas akan memberikan keterwakilan semuanya baik dari 
parpol maupun kesukuan, seperti kabinet bersatu periode kemarin,” ucapnya.
 
■  Dimas Ryandi, Iwan Purwantono

http://www.indonesia-monitor.com/main/index.phpoption=com_content&task=view&id=2206&Itemid=34


      

Reply via email to