http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=kategori&kid=3&id=Ekonomi
Rabu, 28 Januari 2009 Rugi, Petani Tetap Miskin TAHUN 2009 ini Indonesia diperkirakan mengalami surplus beras mencapai 3,83 juta ton. Pencapaian surplus beras itu meningkat drastis 1,49 juta ton dibanding 2008 yang mengalami surplus 2,34 juta ton setara beras. Apakah keberhasilan produksi ini dinikmati petani dengan meningkatnya nilai tukar mereka? Berikut wawancara dengan pengamat ekonomi yang juga Ketua Dekopinwil Bali Sugawa Korry, S.E. Ak., M.M., Selasa (27/1) kemarin. Apakah surplus beras ini akan diikuti dengan meningkatnya NTP (Nilai Tukar Petani - red)? Keberhasilan pemerintah dalam bidang pangan sehingga diprediksi tahun ini akan terjadi surplus beras sampai 3,83 juta ton, harus diikuti dengan peningkatan pendapatan petani. Keberhasilan produksi harus juga diikuti dengan keberhasilan menaikkan derajat kesejahteraan petani. Sebab, peningkatan produksi selama ini tak berkorelasi positif dengan naiknya pendapatan petani. Rugi dan tak banyak artinya produksi meningkat jika petaninya tetap miskin. Berdasarkan pengamatan Anda bagaimana? Pengamatan saya, tingginya produksi kerap juga diikuti dengan meningkatknya biaya produksi yang dikeluarkan petani akibat mahalnya harga saprodi. Ini menyebabkan keuntungan petani tetap rendah meski produksinya meningkat. NTP tetap rendah, sebab biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan pendapatan usaha taninya tak beda jauh. Bagaimana harusnya pemerintah menyikapi hal ini? Pemerintah setelah sukses dalam berproduksi seharusnya memikirkan bagaimana pendapatan petani juga meningkat sehingga kesejahteraan petani semakin baik. Caranya antara lain, manajemen pengelolaan perberasan harus ditata dengan baik sehingga petani bisa menikmati harga dasar yang baik dan pada akhirnya bisa menguntungkannya. Jangan sampai, produksi meningkat tetapi petani malah tak untung karena harga beli pemerintah rendah. Lainnya? Upaya lainnya, bagaimana agar harga saprodi bisa dikendalikan sehingga terjangkau oleh petani. Ini penting, mengingat belakangan ini harga saprodi sangat tinggi bahkan ketersediaannya kerap terbatas alias langka. Apakah sudah saatnya untuk ekspor? Saya cenderung agar stok pangan di dalam negeri lebih diutamakan dan terjamin ketersediaannya dalam kurun tertentu. Tak perlu buru-buru ekspor kalau kemudian terpaksa impor lagi karena stok dalam negeri minim. Bagaimana dengan penurunan harga sembako dengan turunnya harga BBM? Saya kurang sepakat dengan rencana penurunan harga sembako, terutama yang menjadi mata penghasilan utama petani. Sebab, kalau harganya turun, petani juga akan merugi karena nilai jual produknya ikut turun. (lit)