============ ========= ========= ========= ========= = THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia." ============ ========= ========= ========= ========= = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia Quotient] Menyambut TAHUN BARU 2010 dengan semangat baru untuk menjaga kehidupan. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Rumah dari Limbah Organik Rabu, 13 Januari 2010 | 03:06 WIB Oleh : Yulvianus Harjono Bahan baku serat organik demikian melimpah di Tanah Air. Sayangnya, potensinya kerap dipandang sebelah mata. Namun, berkat sentuhan teknologi, serat organik kini dapat dimanfaatkan sebagai bahan material rumah ramah lingkungan dan tahan gempa. Hebatnya pula, serat organik yang digunakan sebagai bahan material itu bisa berasal dari limbah industri kecil. Misalnya, serat limbah kelapa sawit sisa pembuatan minyak sawit mentah (CPO) atau sekam dari tempat penggilingan padi. ”Bahan-bahan dari serat organik macam limbah sawit ini dicampur dengan semen, bisa juga bambu, bisa dijadikan partisi (berfungsi seperti tembok),” tutur Bambang Subiyanto, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengembangkan rumah ramah gempa dan lingkungan dari bahan limbah organik, Jumat (8/1) di Kampus Institut Teknologi Bandung. Kepala Pusat Inovasi LIPI ini mengatakan, rumah ramah gempa dan lingkungan (green building) ini adalah salah satu hasil riset unggulan yang tengah dikembangkan Pusat Inovasi LIPI. Riset telah dirintis sejak 2002. Inovasi ini dikembangkan dan diuji di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Kementerian Pekerjaan Umum. ”Segala bahan material yang kita gunakan selama ini pasti akan habis. Laju deforestasi kian besar. Di lain pihak banyak tersedia bahan serat alam yang belum maksimal digunakan,” papar alumnus Universitas Kyoto, Jepang, ini dalam acara The 5th Kyoto University Southeast Asia Forum di ITB. Tak hanya partisi Ia menjelaskan, pemanfaatan limbah atau bahan organik tidak hanya semata pada komponen partisi, tetapi juga untuk seluruh bagian rumah, mulai dari struktur hingga bagian atap. Untuk struktur, digunakan bahan dari laminated veneer lumber (LVL)—material kayu lapis dari campuran kayu karet tua dan sengon. ”Bahan LVL ini digunakan sebagai kuda-kuda atau tiang. Ini sudah diproduksi massal di Tangerang,” tuturnya. Kekuatan LVL lebih tinggi daripada kayu karet dan sengon, hampir setara eboni. ”Bahannya yang ringan meredam akselerasi akibat gempa. Pada rumah-rumah umumnya, struktur tulangan biasanya memakai bahan yang lebih berat semata demi prestise. Padahal, justru membahayakan,” tutur Kepala Puslitbang Pemukiman Kementerian Pekerjaan Umum Anita Firmanti. Untuk atap digunakan bahan dari campuran serat, aspal, dan karet. Meskipun mayoritas terbuat dari bahan organik, ujar Anita, secara fisik dinding bangunan LIPI ini tidak ubahnya rumah-rumah biasa yang bertembok semen atau bata. ”Jadi, masih bisa gaya,” katanya. Bahan tembok merupakan campuran semen dengan serat bambu, serat kayu, dan wol, sekam padi dan semen, atau bubur kayu (pulp) dan semen. Pilihan bergantung pada kebutuhan dan kondisi. Bangunan ini telah dibuat prototipenya di Yogyakarta dan Padang. Di Padang, bangunan ini terbukti mampu bertahan dari gempa kuat pada akhir 2009. ”Di Padang, ketika bangunan di sekitarnya hancur, bangunan yang kami buat dengan material organik masih berdiri. Hanya ada sedikit retak di tembok,” kata Bambang. Jika dihitung dengan rupiah, pembuatan green building yang juga diklaim hemat energi ini butuh dana Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta per meter persegi. Artinya, hampir setara dengan bangunan biasa. ”Tapi, bangunan yang dibuat ramah gempa dan lingkungan,” tutur Bambang. Menurut Anita, pihaknya telah melakukan pembicaraan awal dengan Real Estate Indonesia (REI) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar menjadikan model rumah ramah gempa buatan LIPI dan Puslitbang PU ini sebagai acuan dalam pembuatan rumah-rumah baru di daerah rawan gempa, khususnya di Padang dan sekitarnya. ”Teknologi kita sudah punya, tinggal kini komitmen dan kemauan pemerintah untuk memanfaatkannya,” ungkap Anita. Ia mengusulkan sistem insentif untuk mendorong pemanfaatan materi limbah organik. ”Bagi pengembang yang memilih memanfaatkan bahan organik diberi insentif pengurangan pajak misalnya. Begitu pula sebaliknya,” ujarnya. Dengan sendirinya, hal ini akan merangsang pengembang lebih banyak memanfaatkan material yang ramah lingkungan dan gempa. Rektor Universitas Kyoto Hiroshi Matsumoto mengatakan, pembangunan rumah tahan gempa mestinya sudah menjadi kebiasaan baru di Indonesia. Di Jepang, pembuatan bangunan baru, diwajibkan memenuhi kaidah struktur tahan gempa. ”Ini diatur oleh hukum,” katanya. Semestinya, kebijakan senada juga dilakukan di negeri ini. Tidak perlu menunggu korban jiwa berjatuhan lebih banyak akibat gempa yang kembali akan terjadi di kemudian hari. [Kompas, 12/1/10] -------- Manusia selalu diberikan pengertian bagaimana menghadapi hal-hal yang akan dan bisa terjadi sewaktu-waktu - walau seringkali yang terjadi, kadang malah mengabaikannya -seperti halnya bencana gempa bumi berkekuatan 7.0 richter, . . . yang saat ini tengah melanda Haiti... Mengingat struktur geologi dan lapisan lempengan tanah di Indonesia tergolong rentan, karena dikelilingi ring of fire - gunung berapi aktif – sehingga penerapan rumah dari limbah organik menjadi penting dan prioritas di beberapa daerah rentan gempa. Sehingga apabila nantinya sampai terjadi gempa, jumlah korban pun bisa dikurangi. Dan yang lebih penting lagi, hendaklah semua unsur berusaha menjaga moral dan nurani bangsa ini dengan baik dan benar. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. Best Regards, Retno Kintoko Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] Sedia Bibit Ikan Patin
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3