http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=8353

2009-06-02 
Saat Kata dan Perbuatan Berbeda


Oleh: Toto Sugiarto



Presiden SBY menampik tuduhan bahwa pemerintahannya menerapkan sistem ekonomi 
neoliberal. Campur tangan pemerintah yang masih dilakukan menjadi alasan 
penolakan. Senada dengan hal itu, cawapres Boediono sibuk membangun opini bahwa 
dirinya bukan penganut neoliberalisme.

Tepisan SBY-Boediono itu merupakan respons atas menguatnya tuduhan terhadap 
Boediono, yang pernah merupakan bagian dari pemerintahan SBY, sebagai ekonom 
beraliran neoliberal.

Menanggapi polemik tersebut, terdapat pihak yang lebih setuju jika menjelang 
pilpres ini wacana lebih diarahkan pada apakah para capres-cawapres memiliki 
konsep ekonomi pembangunan. Ada juga yang mengatakan, salah satu yang baik 
untuk didalami adalah apakah capres-cawapres mengerti paham ekonomi yang 
tersurat dalam konstitusi. Namun, tak sedikit kalangan lain yang menilai bahwa 
mazhab ekonomi capres-cawapres perlu diungkap. 

Neoliberalisme berarti penerapan mekanisme pasar bebas pada seluruh bidang 
kehidupan. Tidak hanya pada kegiatan ekonomi, mekanisme pasar juga dipergunakan 
pada bidang-bidang lain, seperti sosial, politik, hukum, dan budaya. Dalam 
negara yang pemerintahnya menganut neoliberalisme, terjadi komersialisasi 
berbagai unsur kehidupan. Salah satu yang memprihatinkan adalah diterapkannya 
paham neoliberal pada bidang pendidikan dan kesehatan. Bentuk nyatanya, 
privatisasi pendidikan dan kesehatan. Akibatnya terjadi komersialisasi pada 
kedua bidang tersebut.

Hasil dari komersialisasi itu adalah biaya pendidikan dan kesehatan menjadi 
mahal. Sekarang, bagi orang miskin, menyekolahkan anak di tingkat sekolah dasar 
saja belum tentu mampu. Sekolah gratis tidak berarti tanpa biaya. Gratis hanya 
iuran bulanan berupa SPP. Sekolah gratis hanya "jualan" elite politik tanpa 
benar-benar terasa buktinya di masyarakat. Banyak biaya lain yang diciptakan 
dengan sewenang-wenang, sehingga menguras pundi-pundi orangtua murid. Pada 
akhirnya, sekolah menjadi ajang transaksi ekonomi. Sementara sang elite tutup 
mata terhadap kenyataan yang memprihatinkan ini.

Bagi pemerintahan neoliberal, fasilitas publik dipandang sebagai modal untuk 
menghasilkan laba. Maka, tak heran jika sekarang pemerintah lebih suka membuat 
jalan tol dibanding jalan umum. Taman kota dan fasilitas umum lain banyak 
berubah fungsi menjadi pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan.

Pengaturan masyarakat sepenuhnya menggunakan logika pasar. Menjual dan 
mengomersialisasikan segala sumber daya dan fasilitas publik menjadi prinsip 
utama. Bahkan, manusia pun diperlakukan sebagai modal. Outsourcing dan aturan 
yang merugikan buruh diciptakan demi pembentukan kondisi yang menarik bagi 
pemilik modal. 

Mazhab ekonomi yang dianut pemimpin republik amat berpengaruh pada bagaimana 
negara memperlakukan rakyat. Dalam konstelasi bernegara di mana pemerintah 
menerapkan neoliberalisme, rakyat tak lebih sebagai konsumen. Akibatnya, rakyat 
terbedakan berdasarkan daya beli. Inilah dosa neoliberalisme. Tidak ada lagi 
equality karena daya beli yang berbeda. 


Algojo 

Berdasarkan uraian di atas, pengungkapan mazhab ekonomi capres-cawapres perlu 
dilakukan. Salah memilih pemimpin bisa berakibat buruk, seperti 
terpinggirkannya rakyat lemah, mundurnya kualitas pendidikan dan kesehatan, dan 
hilangnya nilai-nilai tergerus oleh jumlah kapital. Pemerintahan neoliberal 
cenderung bersifat terbuka penuh bagi perdagangan internasional. Karena 
sifatnya ini, pemerintahan neoliberal sering terlihat tidak memberikan 
perlindungan bagi industri dalam negeri. 

Sulit untuk memungkiri bahwa fenomena ini muncul pada pemerintahan SBY. Antara 
lain, pemerintahan SBY sering menerbitkan kebijakan yang cenderung mempermudah 
impor. Salah satunya adalah menerapkan bea impor sangat rendah. Rendahnya bea 
impor mengakibatkan kehancuran bagi sebagian industri nasional. Produsen susu 
lebih suka menggunakan bahan mentah impor dibanding menggunakan hasil produksi 
petani indonesia. Akibatnya, para peternak sapi perah sulit mengembangkan 
usahanya karena terbatasnya pasar bagi hasil produksinya. 

Selain itu, pemerintah tampak tidak melindungi kekuatan ekonomi dalam negeri. 
Bisnis retail raksasa asing diperbolehkan melakukan ekspansi tanpa batasan. 
Akibatnya, retail kecil dan rumahan gulung tikar. Hasil produksi gas dan 
batubara diprioritaskan untuk memenuhi kontrak dengan asing. Akibatnya, 
kepentingan dalam negeri tidak tercukupi.

Pemerintahan yang terlalu terbuka pada pasar merupakan algojo bagi kekuatan 
ekonomi dalam negeri. Sementara program pemerintah untuk rakyat, seperti PNPM 
Mandiri, yang tidak pernah terukur keseriusan dan daya cakupnya, terkesan hanya 
program pemoles citra.

Pemimpin yang salah menganut mazhab ekonomi bisa melemahkan kekuatan dan 
kemandirian bangsa. Campur tangan yang dilakukan, lebih merupakan pelindung 
bagi mekanisme pasar daripada kepentingan nasional. Campur tangan bukan untuk 
menjamin terciptanya keadilan dan kemajuan, melainkan lebih sebagai pemberi 
jalan bagi neolib untuk memperbesar kekuasaannya. Satu demi satu kekuatan 
ekonomi dan daya pikir bangsa tercabut, beralih ke negara lain seperti, 
Tiongkok, India, dan Vietnam.

Lebih celaka lagi, jika sang pemimpin yang menganut mazhab tersebut tidak jujur 
dengan keyakinan yang dianutnya. Hanya karena takut berkurangnya popularitas, 
keyakinan ditutup-tutupi. Saat kata dan perbuatan berbeda, hidup sebagai bangsa 
menjadi tanpa makna. Demokrasi di mana kejujuran dicampakkan, hanya akan 
menjadi ajang pembohongan rakyat. 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Kirim email ke