RADAR SORONG
Selasa 05 Juni 2007 

Sekjen Depkeu Diperiksa
**Kasus Hibah Bank Dunia untuk Program Fiktif


JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Keuangan (Depkeu) Mulia P 
Nasution mendatangi gedung Kejati DKI, kemarin. Dia diperiksa sebagai saksi 
atas kapasitasnya sebagai mantan direktur jenderal (dirjen) Perbendaharaan 
Depkeu dalam kasus korupsi program jaring pengaman sosial (JPS) Rp 1,8 Miliar.

Mulia tiba di teras gedung kejati pukul 09.55. Dia menumpang Nissan X-Trail 
hitam berpelat B 1980 BS. Mulia yang mengenakan stelan kemeja putih jas hitam 
didampingi empat stafnya.

Tim penyidik perlu memanggil Mulia karena dianggap mengetahui penggunaan APBN 
2005 untuk menutup penyimpangan dana JPS yang dihibahkan Bank Dunia. Mulia juga 
dianggap bertanggung jawab atas penggunaan APBN 2005 secara surut untuk menutup 
kebocoran dana JPS pada 2002. Maklum, saat itu, Mulia menjabat dirjen 
Perbendaharaan.

Selain Mulia, tim penyidik sebelumnya memeriksa Dirjen Anggaran Depkeu Achmad 
Rochjadi dan mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie.

Sekitar pukul 13.30, Mulia keluar dari ruang pemeriksaan. Sebelum meninggalkan 
gedung kejati, sejumlah wartawan mencecar Mulia dengan berbagai pertanyaan, 
khususnya terkait perannya dalam kasus JPS. Sayangnya, Mulia memilih tak banyak 
berkomentar. ''Silakan tanya ke pengacara saya,'' kata Mulia seraya masuk ke 
kabin mobilnya.

Kepala Kejati DKI Darmono mengatakan, dalam pemeriksaan, Mulia menjelaskan 
sumber dana program JPS yang diambil dari APBN 2005. ''Dia (Mulia) membeberkan, 
anggaran untuk menutup kebocoran itu dialokasikan dari pos anggaran berkode 69. 
Pos tersebut biasanya untuk kebutuhan tidak terduga, seperti dana bencana alam 
dan dana sosial lainnya,'' jelas Darmono. Selebihnya, mantan kepala Kejati 
Kalbar ini menolak membeberkan materi pemeriksaan.

Menurut Darmono, keterangan Mulia dinilai sudah cukup, sehingga Menteri 
Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani tidak perlu dipanggil. ''Selama ini 
dirjen-dirjennya sudah dipanggil, terkecuali ada perkembangan baru,'' jelas 
Darmono.

Darmono juga menjelaskan proses penyidikan kasus JPS. Dia mengatakan, tim 
penyidik telah memanggil 29 saksi, baik dari Depkeu maupun Kementerian 
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. ''Saat ini, proses hukumnya 
memasuki finalisasi,'' kata mantan kepala Kejari Jakarta Barat ini.

Sebelumnya, tim penyidik telah menetapkan tiga tersangka berinisial ANTM, PTR, 
dan RA. Mereka adalah pimpinan proyek program JPS. Dari informasi tim penyidik, 
kasus yang berasal dari laporan Bank Dunia tersebut merugikan negara Rp 1,8 
miliar.

Tim penyidik menemukan indikasi perbuatan melawan hukum. Dari total hibah USD 
573 ribu, tim penyidik yang diketuai Hapastian Harahap juga menemukan kerugian 
negara USD 203 ribu (Rp 1,8 miliar). Kerugian tersebut didasarkan 
penyalahgunaan enam pelayanan JPS yang diduga fiktif. Yakni, pelatihan JPS, 
biaya sewa konsultan, pekerjaan sewa rumah, percetakan, penyewaan kompleks dan 
sewa kendaraan. Selain fiktif, pelaksanaan proyek JPS diduga bertentangan 
dengan Keppres No 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di 
Instansi Pemerintah.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke