Refleksi: Bukan berita baru. Dewan Penipu Rakyat memang sulit dipahami. Kalau 
mudah dipahami berarti itu pekerjaan dari  Dewan Pencinta Rakyat.  Cinta karena 
membela kepentingan rakyat.

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=288562

Rabu, 06 Juni 2007,


Semakin Sulit Pahami DPR 


DPR meradang. Interpelasi masalah nuklir Iran yang mereka gagas begitu serius 
"tidak dianggap serius" oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Orang 
nomor satu di republik ini tidak menghadiri sidang interpelasi yang mereka 
gelar kemarin.

Sedianya, dalam sidang itu, SBY akan diwakili Menteri Koordinator Politik Hukum 
dan Keamanan (Menko Polhukam) Widodo A.S., Menteri Sekretariat Negara 
(Mensesneg) Hatta Radjasa, dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Nur Hassan Wirajuda.

Sidang tersebut dianggap begitu penting sehingga ketidakhadiran SBY menjadi 
masalah superserius. Hujan interupsi membanjiri Senayan. Sidang pun akhirnya 
gagal dilaksanakan (ditunda).

Begitu pentingkah interpelasi yang substansinya mempertanyakan sikap pemerintah 
yang mendukung resolusi PBB memberikan sanksi terhadap program nuklir Iran itu? 
Seberapa jauhkah masalah tersebut berkaitan dengan kehidupan kita sebagai 
bangsa?

Kami tidak mau terjebak pada pro-kontra soal sikap SBY yang tidak mau 
menghadiri sidang itu. Kami lebih konsen untuk menanyakan, benarkah masalah 
tersebut begitu penting? Sudahkah sikap superserius yang ditunjukkan DPR itu 
proporsional?

Solidaritas merupakan salah satu alasan penting yang dijadikan alat untuk 
membenarkan sikap DPR yang begitu serius mengajukan interpelasi tersebut. Tentu 
itu bukan sikap yang salah. Republik Iran adalah negara Islam. Bangsa Indonesia 
yang mayoritas muslim tentu pantas memiliki hubungan emosional dengan mereka. 
Selain itu, kita tentu tidak suka dengan sikap pemerintah Amerika Serikat yang 
sering berlebihan dalam mengontrol negara lain.

Namun, itu semua belum cukup untuk memberikan pemahaman bahwa sikap DPR yang 
begitu serius tersebut bisa dibenarkan. Kita sulit memahami karena dalam kasus 
lain yang lebih penting dan lebih serius -karena menyangkut hajat rakyat 
Indonesia sendiri- DPR sering kurang serius.

Sebut saja kasus yang kini di depan mata kita, kasus lumpur Lapindo di Porong. 
DPR tidak memberikan perhatian yang porsinya sama dengan ketika menyikapi kasus 
nuklir Iran. DPR tidak begitu garang terhadap pemerintah yang sampai sekarang 
tidak begitu tegas mengambil tindakan. Baik tindakan untuk mengambil alih 
masalah itu maupun tindakan kepada Lapindo yang tidak segera memberikan ganti 
rugi kepada warga Porong. 

Padahal, kasus lumpur Lapindo jelas telah menyengsarakan ribuan rakyat Porong 
yang notabene mayoritas muslim. Hal demikian juga terjadi di Jogjakarta yang 
setahun lalu dilanda gempa dahsyat. Pemerintah sampai sekarang belum secara 
konkret meringankan beban ribuan rakyat yang rumahnya luluh lantak dihancurkan 
gempa.

Kesulitan memahami DPR kian besar ketika melihat kenyataan bahwa interpelasi 
lain yang lebih menyentuh kepentingan rakyat sendiri, seperti kenaikan BBM dan 
impor beras, malah tidak mendapatkan dukungan sebesar sekarang. Interpelasi 
mentok di tengah jalan gara-gara tidak mendapatkan dukungan signifikan.

Kalau menengok kembali perjalanan DPR yang lahir setelah reformasi, kita memang 
tidak bisa berharap banyak. Namun, kini DPR tidak hanya tak bisa memberikan 
harapan, tapi malah membingungkan. Kita benar-benar gagal dan sulit memahami 
pemikiran dan sikap mereka.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke