Jawa Pos
[ Rabu, 22 Juli 2009 ] 

Setelah Larangan Terbang Dicabut 


SETELAH dua tahun membelenggu dan mencoreng reputasi penerbangan Indonesia di 
mata dunia, Uni Eropa (UE) akhirnya mencabut larangan terbang bagi maskapai 
penerbangan tanah air. Pencabutan larangan terbang itu merupakan kabar baik 
bagi para pelaku industri penerbangan di tanah air. Yakni, sebagai upaya 
mengembalikan kepercayaan diri mereka dalam melayani jalur internasional.

Di antara 51 perusahaan penerbangan di Indonesia, empat disebut oleh UE boleh 
masuk ke wilayah udara mereka. Yakni, dua penerbangan berjadwal Garuda 
Indonesia dan Mandala Airlines serta dua penerbangan carter Ekspres 
Transportasi Antarbenua (PremiAir) dan Airfast Indonesia.

Di antara empat maskapai itu, Garuda yang sudah mengemukakan segera 
memanfaatkan peluang tersebut dengan berencana membuka jalur ke Amsterdam 
(Belanda). Itulah salah satu jalur internasional yang pada masa lalu merupakan 
andalan perusahaan penerbangan nasional tertua tersebut (tahun ini merayakan 
ulang tahun ke-60). 

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari pencabutan terbang yang dilakukan Uni 
Eropa itu? Barangkali, salah satu yang penting adalah kita tak boleh bersikap 
semata-mata reaktif. Dalam menghadapi tekanan internasional seperti itu, kita 
harus menjawab dengan bukti yang konkret.

Sebagaimana diketahui, larangan terbang bagi 51 penerbangan Indonesia 
diberlakukan UE sejak Juli 2007. Langkah itu diambil setelah melihat banyaknya 
kasus kecelakaan penerbangan di tanah air. Menurut pihak otoritas penerbangan 
Eropa, Indonesia masuk daftar negara yang belum menerapkan standar keselamatan 
penerbangan yang memadai.

Semua kalangan di Indonesia, khususnya para pelaku industri penerbangan di 
Indonesia, memang marah terhadap keputusan yang dianggap sepihak itu. Bahkan, 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu sempat dikabarkan menunda kunjungan 
kenegaraan ke Eropa sebagai bentuk protes atas keputusan tersebut. Saat itu 
juga ada usul untuk melakukan aksi balasan dengan melarang penerbangan 
berbendera Eropa masuk ke Indonesia.

Yang kita sesalkan, dalam menanggapi itu, kita hanya "marah". Marah memang 
boleh, tapi mestinya hal tersebut diimbangi dengan upaya yang konkret. Yakni, 
dengan memperbaiki standar kualitas keselamatan penerbangan yang serius. Kita 
melihat, sejak kasus hilangnnya pesawat Adam Air di perairan Laut Sulawesi 
(Januari 2007) yang berujung larangan terbang UE itu, dunia penerbangan terus 
diwarnai banyak insiden penerbangan.

Banyaknya insiden tersebut, boleh jadi, merupakan akibat ketatnya persaingan 
antarmaskapai penerbangam pada masa lalu atau longgarnya kontrol otoritas 
penerbangan dalam negeri. Hal-hal itulah yang harus diperbaiki. Ditjen 
Perhubungan Udara, misalnya, begitu ada larangan terbang seperti itu, mestinya 
juga membuat rencana langkah-langkah perbaikan (corrective action plan/CAP) 
yang jelas. Akibat tidak adanya CAP itu pula, maka UE tahun lalu terpaksa 
memperpanjang larangan terbang tersebut.

Setelah larangan terbang UE dicabut, kita berharap hal itu tak membuat kita 
lalai. Upaya memperbaiki standar keselamatan penerbangan di tanah air tetap 
harus diteruskan. Berkaca kepada peristiwa-peristiwa kecelakaan penerbangan 
beberapa bulan terakhir, harus jujur kita akui bahwa nilai rapor kita masih 
jauh dari ideal. 

Saat ini, misalnya, maskapai di tanah air baru memenuhi sekitar 60 persen item 
temuan-temuan International Civil Aviation Organization (ICAO) yang harus 
diperbaiki. Kita berharap di masa depan angka itu bisa naik menjadi 100 persen. 
Dengan demikian, semua orang merasa aman naik penerbangan berbendera Indonesia. 

Kirim email ke