================================================= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia." ================================================= [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Sjahrir dan Sosialisme Indonesia Selasa, 3 Maret 2009 | 04:47 WIB Oleh IVAN A HADAR Tanggal 5 Maret 2009 genap 100 tahun Sutan Sjahrir. ”Bung Kecil”, begitu Sjahrir dijuluki, tercatat sebagai tokoh sentral perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya bidang politik dan diplomasi. Dikenal cerdas, Sjahrir saat berusia 19 tahun mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pada usia 36 tahun Sjahrir terpilih sebagai Perdana Menteri I RI. Piawai di meja perundingan, Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis, lalu berganti nama menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dalam Pemilu 1955, PSI gagal meraup suara yang signifikan. Lima tahun kemudian PSI dibubarkan Presiden Soekarno. Pada tahun 1963, Sutan Sjahrir resmi ditetapkan sebagai tahanan politik hingga meninggal di Swiss dalam masa pengobatan. Pembubaran PSI dan Masyumi menandai berlakunya masa otoritarian. Hingga akhir rezim Orde Baru, wacana terkait dengan ideologi bangsa yang termanifestasi dalam tatanan ekonomi politik, sistem budaya, dan nilai-nilai idealnya praktis terhenti. Sosialisme Indonesia Dalam membicarakan tatanan sosial politik yang ideal, sering hadir kerinduan untuk menemukan jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Sjahrir adalah salah satu perintis pencarian jalan itu, yang tertuang dalam konsep Sosialisme Indonesia. Pertanyaannya, mungkinkah ada ”jalan tengah versi Indonesia”? Mungkinkah menyatukan dua isme yang ibarat minyak dan air? Pertanyaan lebih konkret ialah, perlukah Sosialisme Indonesia? Perlu. Alasannya, agar sisi positif sosialisme sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan berkeadilan bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis yang menjadi persyaratan berfungsinya sebuah ekonomi pasar dalam konteks Indonesia. Di negara-negara kapitalis modern yang maju berlaku demokrasi politik. Namun, tidak demikian halnya dengan demokrasi ekonomi. Pencapaian demokrasi politik secara historis amat penting, tetapi itu kurang lengkap. Ia sekadar demokrasi perwakilan yang pasif, di mana sebagian besar rakyat memilih orang lain untuk bertindak bagi mereka. Juga kekuatan ekonomi tetap terkonsentrasi dan demokrasi ekonomi masih menanti masa depan yang lebih baik. Sementara itu, eksperimen sosialisme (tepatnya komunisme) Blok Timur telah gagal. Tidak adanya demokrasi politik mengakibatkan krisis politik berujung pada tumbangnya Uni Soviet dan Blok Timur. Tak adanya demokrasi politik ekonomi di negara-negara komunis saat itu, dikemas dalam konteks full employment yang dipaksakan dan perencanaan sentralistis, mengakibatkan stagnasi dan inefisiensi ekonomi dan lemahnya disiplin kerja. Ketidakpuasan atas dua isme itu memicu pencarian alternatif. Secara teoretis, memunculkan berbagai aliran sosialisme. Sosialisme-demokratis adalah salah satu bentuk sosialisme yang menemukan lahan berkembang di beberapa negara industri maju, seperti Jerman dan Swedia. Selain itu, kita pernah mendengar berbagai genre sosialisme, seperti sosialisme-non-marxis, sosialisme-science-movement, dan sosialisme-utopis. Sosialisme Sjahrir Dalam catatan sejarah Indonesia, ada empat partai politik yang pernah menyandang nama ”sosialis” sebagai nama dan ideologi resmi partai, yaitu Partai Sosialis yang diketuai Amir Sjarifuddin, Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang didirikan dan diketuai Sutan Sjahrir. Lalu, ada Partai Sosialis yang merupakan fusi dari kedua partai itu. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet RI hingga pertengahan 1947, saat terjadi keretakan antara kelompok Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Sjahrir lalu membentuk partai baru, Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada awal 1948, bertahan hingga 1960, saat dibubarkan Soekarno. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal para tokoh, termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip sosialis. Namun, di antara tokoh-tokoh itu, mungkin hanya Sjahrir yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangan. Ia bukan saja mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinannya, tetapi sebelumnya juga telah memikirkan secara mendalam paham sosialisme apa yang paling cocok untuk Indonesia. Sjahrir tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan komunis. Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme totaliter membawanya pada pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan. Bagi Sjahrir, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme seperti yang dipahaminya selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan derajat manusia. Dalam catatan sejarah diketahui, cita-cita sosialisme-kerakyatan Sjahrir tidak berhasil diwujudkan. Namun, ketidakberhasilan ini mungkin bukan semata-mata karena Sjahrir tergeser dari panggung politik atau karena PSI dibubarkan. Sosialisme, apa pun namanya, hanya paham, suatu cita-cita yang masih di tingkat konsepsi. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus dibuat operasional dan harus didukung seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini bukan hal mudah. Tanpa itu, ia akan berhenti pada imbauan moral atau etis, tetapi tidak membawa perubahan apa-apa. [IVAN A HADAR Wakil Pemimpin Redaksi Jurnal SosDem] “Dalam membicarakan tatanan sosial politik yang ideal, sering hadir kerinduan untuk menemukan jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Sjahrir adalah salah satu perintis pencarian jalan itu, yang tertuang dalam konsep Sosialisme Indonesia. Pertanyaannya, mungkinkah ada ”jalan tengah versi Indonesia”? Mungkinkah menyatukan dua isme yang ibarat minyak dan air? Pertanyaan lebih konkret ialah, perlukah Sosialisme Indonesia? Perlu. Alasannya, agar sisi positif sosialisme sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan berkeadilan bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis yang menjadi persyaratan berfungsinya sebuah ekonomi pasar dalam konteks Indonesia." ------------- Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm ---------
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3