Refleksi:  Kalau selama waktu berumur 63 tahun  existensi NKRI rakyat miskin 
sulit mendapat pendidikan tinggi, maka pertanyaannya ialah apakah NKRI 
diciptakan untuk  membuat rakyat miskin menjadi kaya? Hutan digundul, hasil 
kekayaan alam dikeruk, ikan dilaut  disedot,   jadi apa yang tmasih ada untuk 
membuat rakyat menjadi kaya?   

http://jawapos.com/index.php?act=cetak&id=28

[ Senin, 18 Mei 2009 ] 


Sulitnya Orang Miskin Kuliah 
Oleh Moh. Yamin 

Penerimaan mahasiswa baru 2009/2010 mulai dibuka di seluruh perguruan tinggi 
dari Sabang sampai Merauke. Harapan dan keinginan anak-anak negeri untuk 
mendapatkan pendidikan tinggi pun sangat tinggi. Mereka berharap bisa 
meningkatkan pendidikannya, tidak hanya di sekolah semata. Bekal pendidikan 
yang semakin tinggi diharapkan bisa memberikan harapan baru guna memperbaiki 
masa depan diri dan lingkungannya. 

Namun, yang menjadi persoalan sekarang, mampukah anak-anak orang miskin 
mengenyam pendidikan tinggi? 

Yang jelas, kebijakan pemerintah dengan melegalkan privatisasi pendidikan, baik 
yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN) pada sejumlah perguruan tinggi 
negeri -sebut saja UI, UGM, IPB, ITB- maupun Undang-Undang Badan Hukum 
Pendidikan (UU BHP) mengenai pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam subsidi 
biaya pendidikan tinggi, cukup menyulitkan anak-anak orang miskin menikmati 
dunia pendidikan tinggi. 

Sebab, imbas dari regulasi itu, perguruan tinggi mencari dana sendiri dengan 
cara meninggikan harga pendidikan bagi siapa pun. Dengan begitu, harapan agar 
anak-anak orang miskin bisa menikmati bangku pendidikan tinggi ibarat panggang 
jauh dari api. 

Berdasar pantauan yang saya lakukan di sejumlah daerah di Jawa Timur (Jatim), 
sangat banyak anak orang miskin berhenti sekolah di tingkat sekolah menengah 
atas (SMA). Itu belum lagi berbicara sejumlah besar anak orang miskin yang 
terkadang hanya tamat di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan (sekolah 
dasar). 

Sementara dalam tingkat nasional, Departemen Pendidikan Nasional juga 
membeberkan temuannya pada 2008 bahwa angka putus sekolah tingkat SD tercatat 
2,97 persen, SMP 2,42 persen, dan SMA 3,06 persen. Kenyataan tersebut masih 
diperparah tingginya jumlah warga negara yang buta huruf. Data yang ada 
menunjukkan, 15,4 juta penduduk berusia di atas 15 tahun menderita buta aksara. 
Itu sangat ironis.

Jadi, apabila kita kemudian mengharapkan anak-anak orang miskin menjadi pintar 
dan cerdas, itu ibarat menegakkan benang basah. Bila mereka kemudian bermimpi 
tinggi agar memiliki masa depan cerah di kemudian hari, hal tersebut akan gagal.

Jika akhirnya ngotot dan ''terpaksa'' masuk perguruan tinggi, orang tua mereka 
pun harus rela menjual dan atau menggadaikan harta keluarganya, seperti tanah, 
perhiasan, dan sejumlah harta benda berharga lainnya. Akhirnya, yang miskin 
tetap menjadi terbelakang dan terpinggirkan. Mereka gagal mendapatkan ruang 
yang sama dengan yang kaya untuk meraih pendidikan tinggi. 

Bila banyak anak orang kaya sudah memegang gelar S-1, S-2 dan S-3, sangat 
banyak anak orang miskin hanya tamatan SMA, SMP, dan SD. Itulah potret kontras 
pendidikan antara anak-anak orang kaya dan miskin, ibarat langit dan bumi.

Tanggung Jawab Pemerintah 

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) menyatakan, fakir miskin dan 
anak-anak terlantar harus dipelihara negara. Sedangkan pasal 31 ayat (1) dan 
(2) menyatakan, pemerintah wajb membiayai pendidikan setiap warga negara. 
Pertanyaannya, apakah amanat konstitusi tersebut sudah dijalankan pemerintah? 

Selama ini pemerintah belum mampu melaksanakan amanat tersebut walaupun 
angggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen, baik dalam Anggaran Pendapatan 
Belanja Negara (APBN) 2009 maupun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja 
Negara (RAPBN) 2010. 

Masih rendahnya kesadaran para elite untuk memerhatikan nasib pendidikan kaum 
miskin merupakan sebuah persoalan sangat utama. Para elite lebih sibuk 
memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya. Mereka tidak dan belum memiliki 
komitmen politik untuk benar-benar berjuang demi kepentingan nasib kaum miskin. 
Lemahnya etos kerja mereka dalam berbuat secara nyata masih sangat marak 
muncul. 

Sesungguhnya persoalan tersebut akan selesai bila birokasi yang membidangi 
pendidikan benar-benar disembuhkan dari penyakit mental koruptif dan 
profesionalisme yang rendah. Hanya, agar kondisi itu tercipta, presiden bersama 
jajarannya harus melakukan penyehatan birokrasi secara total dan masif. 

Pertama, harus dilakukan pergantian pimpinan secara besar-besaran, baik di 
tingkat pusat maupun daerah. Langkah itu merupakan sebuah terobosan kebijakan 
yang cukup reformatif dalam membangun birokrasi yang sehat sehingga di kemudian 
hari dapat bekerja secara profesional.

Kedua, memberikan ruang anggaran pendidikan secara penuh guna memberikan 
pelayanan pendidikan tinggi bagi anak orang miskin. Itu harus dilaksanakan 
secara tegas. Langkah tersebut harus didukung database yang valid mengenai 
jumlah anak-anak orang miskin yang akan melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan 
begitu, rekayasa yang bertujuan menguntungkan pihak-pihak tertentu bisa 
dihindarkan. 

Sekarang apakah pemerintah sudah memiliki konsep sedemikian rupa guna 
meningkatkan kualitas pendidikan tinggi untuk anak-anak orang miskin? 
Masyarakat hanya berharap agar kepedulian dan kehendak politik pemerintah dalam 
mengentas kemiskinan pendidikan di negeri ini benar-benar diwujudkan secara 
nyata. Keberanian politik dalam mengambil kebijakan pendidikan yang betul-betul 
berpihak demi kepentingan rakyat miskin benar-benar diharapkan. 

Bila masa jabatan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tinggal 
menghitung waktu saja, rakyat kini tinggal menggantungkan harapan pendidikan 
yang lebih baik kepada pemerintahan baru periode 2009-2014. Semoga pemilihan 
legislatif 9 April lalu dan pemilihan presiden mendatang mampu melahirkan para 
pemimpin yang berhati nurani rakyat dan memiliki kesadaran kerakyatan untuk 
memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (*) 

*). Moh. Yamin, aktivis Freedom Institute for Social Reform (FISoR) Malang. 


 




Reply via email to