===================== ============================ 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
===================== ============================ 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati Hari anti Korupsi 9 Desember 2009 dan Hari HAM 10 Desember 2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
ANALISIS POLITIK
Tahun "Vivere Pericoloso"
Selasa, 8 Desember 2009 | 02:47 WIB
Oleh: Yudi Latif
Setelah menggelar kenduri demokrasi yang paling lama, paling kolosal, dan 
(mungkin) paling mahal di muka bumi, mestinya kita tutup tahun ini dengan pesta 
kembang api kebahagiaan.
Akan tetapi, gempa demi gempa yang melanda negeri sepanjang tahun seperti tak 
memberi jeda untuk sekadar menyalakan lilin harapan. Gempa politik, gempa 
ekonomi, gempa bumi, dan gempa korupsi bersahutan membawa negeri ke ujung 
tanduk, tanpa sedikit pun mengerem hasrat kuasa untuk menghalalkan segala cara.
”Ekstremisme dalam mengejar kekuasaan,” tulis Lyndon Baines Johnson, ”sungguh 
perbuatan jahat yang tak termaafkan.” Pacuan hasrat berkuasa yang ekstrem telah 
melambungkan ongkos kekuasaan, yang menjebol batas-batas kepantasan.
Dalam situasi krisis yang melumpuhkan partisipasi pembiayaan publik, meroketnya 
ongkos kekuasaan itu memacu hasrat penjarahan sumber-sumber keuangan negara. 
Korupsi politik merajalela dengan berbagai modus baru, yang siasat-siasatnya 
dipercanggih oleh bantuan tangan-tangan cerdik-pandai. Hasrat berkuasa yang 
ekstrem juga mempertaruhkan daulat negara kepada tangan- tangan luar.
Di permukaan, publik terenyak oleh tendensi kriminalisasi Komisi Pemberantasan 
Korupsi, sengketa antarlembaga penegak hukum, dan megaskandal Bank Century. 
Namun, itu hanyalah puncak dari gunung es, yang pada dasarnya tersembunyi 
pacuan gairah berkuasa yang ekstrem, yang berisiko merobohkan bangunan 
demokrasi.
Inilah tahun yang penuh ujian, yang menyerempet bahaya, seperti memutar kembali 
peringatan Bung Karno. Setahun sebelum pendulum sejarah berayun pada 1965, pada 
17 Agustus 1964 Soekarno berpidato dengan judul ”Tahun Vivere Pericoloso” 
(Tahun Menyerempet Bahaya), yang mengingatkan adanya ranjau revolusi dan 
menekankan pentingnya keberanian menghadapi krisis serta kemandirian sebagai 
fondasi demokrasi.
Tentang sumber ancaman revolusi, ia menuding kekuatan-kekuatan reaksioner dan 
apa yang disebutnya ”setan multiparty system”. Bukannya ia membenci partai 
politik, yang menurut dia justru berjasa mempersiapkan dan mengemban revolusi.
”Yang tidak aku sukai,” ujarnya, ”adalah praktik-praktik yang menunggangi 
partai-partai politik untuk memperkaya diri atau untuk melampiaskan 
ambisi-ambisi perseorangan yang lobatama.”
Tentang ketahanan menghadapi krisis, ia katakan, ”Paceklik 1962 dan paceklik 
1963 tidak membuat Indonesia ambruk ekonomis, apalagi 1964, di mana panen kita 
di mana-mana berhasil baik, Indonesia tidak akan ambruk...! Bersama-sama rakyat 
Indonesia, kita akan pecahkan segala kesulitan itu, bersama-sama kita akan 
ganyang segala kesulitan itu. That’s what the revolution is for! Justru itulah 
tugas revolusi: memecahkan kesulitan-kesulitan, melenyapkan segala rintangan.”
Tentang fondasi keberlangsungan demokrasi, ia mengutip pernyataan Perdana 
Menteri Korea Utara Kim Il Sung, ”Untuk membangun satu negara yang demokratis, 
satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak 
mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan negara, tak 
mungkin kita tetap hidup.” Dan untuk kemandirian ekonomi tersebut, Bung Karno 
bertekad, ”Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin 
kontrak baru lagi pembelian beras dari luar negeri.”
Konsolidasi demokrasi
Resonansi pesan Bung Karno tersebut seperti bergema kuat dalam menyongsong 
pergantian tahun, sebagai reinkarnasi ”tahun vivere pericoloso”. Dalam kontras 
antara keborosan dan narsisme politik dengan paceklik perekonomian dan 
penderitaan rakyat kecil, mungkinkah demokrasi dikonsolidasikan?
Dalam kaitan ini, Bung Hatta pernah mengingatkan, ”Di atas sendi (cita-cita 
tolong-menolong) dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang-seorang 
atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak, 
melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman 
perusahaan dan penghasilan.”
Pada titik inilah justru kita temukan kegentingan yang kita hadapi. Bahwa 
pertautan jiwa-jiwa revolusioner serta sendi tolong-menolong yang ditekankan 
oleh kedua pendiri bangsa itu kini telah pudar membawa kesulitan dalam 
memecahkan masalah bersama. Korupsi telah membelah bangsa ke dalam dua lapis 
yang berlawanan: pengisap dan yang diisap. Semangat gotong royong ambruk yang 
memperlemah ketahanan politik dan kemandirian ekonomi nasional.
Itulah sebabnya korupsi menjadi titik tergenting persoalan nasional. Karena ia 
merupakan kanker ganas yang melemahkan ketahanan dan jati diri bangsa. Segala 
bencana yang menimpa bangsa ini pada akar tunjangnya tertanam budaya korupsi.
Kesadaran inilah yang bergema dalam jiwa jutaan warga. Kesadaran kolektif ini 
mendorong berbagai elemen mempertautkan diri dalam Gerakan Indonesia Bersih 
(GIB), yang akan menjadikan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 
2009, sebagai momentum untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana demokrasi dan 
bencana rezeki.
Aksi Damai Indonesia Bersih oleh GIB ini, seperti tecermin dari namanya, 
menekankan upaya penyampaian aspirasi dan tekad secara damai dan bersih dari 
fitnah dan kekerasan. Dengan demikian, semua tindakan yang tidak termasuk dalam 
kategori ”damai dan bersih” bukan merupakan bagian dari gerakan ini.
Pesan moral gerakan ini sejalan dengan platform kampanye kepresidenan SBY yang 
menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas program pemerintah serta 
agenda 100 hari kabinetnya yang berkehendak memberantas mafia hukum dan 
peradilan.
GIB hadir untuk membantu Presiden SBY merealisasikan janji-janjinya sehingga 
pantas mendapatkan apresiasi yang hangat. Semoga pada 9 Desember nanti Presiden 
bisa meluangkan waktu untuk hadir dan menyatu dalam gelombang tekad massa yang 
mendambakan Indonesia bebas dari korupsi. [Kompas, 08/12/09]
--------
Kepada siapa lagi negara ini bisa berharap, kalau bukan kepada rakyat dan para 
pemimpinnya? Gerakan Indonesia Bersih (GIB) bukanlah untuk pamer kekuatan, 
apalagi unjuk kekuasaan.... mereka hanyalah melanjutkan semangat juang, 
merealisasi pidato dan janji-janji kepemimpinan dan teladan para pemegang moral 
bangsa, menjaganya dan menjunjung tinggi integritas negara – bersih dari 
korupsi 9 Desember 2009, serta penegak hak azazi manusia yang akan kita 
peringati 10 Desember 2009. Sebagai bentuk persembahan yang baik dan 
berkualitas bagi perkembangan masa depan bangsa Indonesia. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm]
Sedia Bibit Ikan Patin




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke