Republika
Kamis, 10 April 2008

Talibanisasi Asia Tenggara 

Oleh : Azyumardi Azra 


Ini adalah judul buku paling baru Bilveer Singh, guru besar madya ilmu politik 
di Universitas Nasional, yang pernah menulis karya tentang Presiden BJ Habibie. 
Judul lengkapnya, The Talibanization of Southeast Asia: Losing the War on 
Terror to Islamist Extremists (Westport, Conn & London: Praeger, 2007).

Judul buku ini dan substansinya bisa menyesatkan; karena pengarangnya 
menggunakan kacamata kuda dan bahkan kaca pembesar, yang membuat hal kecil 
menjadi sangat besar. Dengan kacamata kuda, Singh melihat gejala ekstremisme 
secara satu arah, tanpa mengkaji dan memperhitungkan berbagai faktor, yang 
memengaruhi meningkatnya gejala ekstremisme keagamaan dan yang mencegahnya.

Ketika ada orang lain mengingatkan bahaya simplifikasi, Singh menolak. Dia 
menulis: While leading Indonesian scholars such as Professor Azyumardi Azra 
remained in denial, arguing that 'there is very limited room for radical 
discourses and movements in Southeast Asia in general. It is therefore simply 
wrong to assert that Muslim radicalism in the Middle East will find a fertile 
ground in Southeast Asia', unfortunately, the reality is just reverse.

Lebih jauh Singh menulis: Pockets of radicalism are already deeply entrenched 
in the region, especially in Indonesia. Even Professor Azyumardi Azra has 
observed that 'there can be little doubt that the September 11, 2001 tragedy 
did radicalise certain individuals and groups in among Muslims in Southeast 
Asia, particularly in Indonesia (halaman 147).

Tidak ada penolakan (denial), bahwa radikalisme di kalangan individual dan 
kelompok Muslim meningkat berikutan Peristiwa 11 September 2001. Kaum Muslimin 
di Indonesia mengutuk peristiwa itu. Tetapi, ketika Presiden George W Bush 
menggempur Afghanistan, maka kemarahan dan radikalisasi meletup di segelintir 
Muslim, yang memang memendam kemarahan terhadap kebijakan AS yang tidak adil di 
Palestina, misalnya. Apalagi kemudian Bush menyatakan war on terror, yang pada 
dasarnya tertuju kepada individu dan kelompok Muslim yang dicurigai terlibat 
'jaringan teror'.

Tanpa harus melakukan riset serius, dapat terlihat radikalisasi bukanlah gejala 
umum dalam masyarakat Muslim Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Bahkan, 
mengatakan kantong radikalisme 'tertanam begitu dalam' (deeply entrenched) di 
kawasan [Asia Tenggara], khususnya di Indonesia, jelas merupakan simplifikasi 
yang menghasilkan distorsi dan mispersepsi menyesatkan.

Simak kembali kutipan Singh; As the Muslims have historically been weakened in 
the last few centuries, many have sought to regain strength by reinvigorating 
Islam from within, a process referred to as tajdid and islah, meaning renewal 
and reform, respectively. This can be undertaken both peacefully and by force. 
One of the most important renewal movements in Islam is the Salafi movement, 
closely identified with Wahhabi Islam. Professor Azyumardi distinguishes two 
types of salafi movements. "Classical Salafiyyah" is seen as peaceful, while 
"neo-Salafiyyah" is viewed as being radical in nature. Increasingly, in 
Indonesia, the neo-salafiyyah have gained ground, and this largely explains the 
trend toward Talibanization in the country (halaman 147-148).

Meski kategorisasi tersebut berasal dari saya, tetapi jelas pernyataan bahwa 
Salafiyyah klasik umumnya damai dan sebaliknya neo-Salafiyyah adalah radikal. 
merupakan interpretasi Singh sendiri. Karena, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi 
pada akhir abad ke-18 atau Gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang 
termasuk ke dalam Salafiyyah klasik, jelas radikal. Sebaliknya, juga terdapat 
gerakan neo-Salafiyyah yang bersifat damai, atau tepatnya pemurnian keagamaan. 
Sekali lagi, pemikiran dan gerakan Salafiyyah sangat kompleks dan karena itu 
orang tidak dapat secara gegabah menyederhanakannya.

Singh jelas bukan seorang ahli tentang Islam, baik Islam di Indonesia maupun 
dalam konteks perbandingan dengan Islam di Timur Tengah atau tempat lain di 
muka bumi. Karena itu, tidak mengherankan, dia tidak memahami sejarah, dinamika 
dan kompleksitas Islam dan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.

Walhasil, buku ini, merupakan karya tipikal dalam security studies, yang 
cenderung menyodorkan apa yang saya sebut sebagai exaggerated fear, ketakutan 
yang berlebihan dan dibesar-besarkan. Menyebut adanya 'Talibanisasi' di Asia 
Tenggara, jelas termasuk ke dalam bentuk exaggerated fear tersebut. Islam di 
Asia Tenggara, dengan karakter keagamaan, akar historis, lingkungan 
sosio-kultural dan politiknya yang khas, bukanlah lahan subur bagi 
Talibanisasi. Karena itu, apa yang disebut 'Talibanisasi' tak lebih dari 
distorsi dan mispersepsi belaka

Kirim email ke