http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/27/opi01.html
Tanda-tanda Ramalan Ronggowarsito Oleh Benny Susetyo PR Melihat fenomena sosial akhir-akhir ini bisa dikatakan saat ini kita berada di zaman yang tidak normal (abnormal). Kalau mengikuti ungkapan Ronggowarsito, akan datang satu zaman yang disebut sebagai zaman edan, benarkah saat ini kita sudah berada di zaman itu? Di zaman edan siapa yang tidak edan tidak kebagian. Orang waras dianggap tidak waras, tapi penjahat negara dianggap sebagai pahlawan. Walaupun begitu, menurut Ronggowarsito, sebaik-baik orang di zaman edan adalah mereka yang ingat dan waspada (eling lan waspadha). Di zaman abnormal, semua akan berkebalikan dengan yang normal. Jika normalnya di negeri tani sesubur Indonesia, masyarakatnya tidak antre beras dan minyak goreng, maka di zaman tidak normal bahkan masyarakat tani pun antre beras. Di zaman tidak normal, semua serba tidak jelas ukuran kemajuannya. Ukuran yang dipakai adalah ukuran dari dirinya sendiri. Perilaku tidak obyektif karena tergantung dari selera pasar. Kalau pasar sedang berselera hidup antikorupsi, maka semua orang akan berbicara antikorupsi meskipun perilakunya sendiri sungguh-sungguh korup. Tanda-tanda zaman seperti ini sudah mulai menjadi wajar. Ikatan kesejatian tidak lagi menjadi bagian hidup dalam menciptakan kebersamaan. Kesejatian hidup meluntur seiring dengan menguatnya hasrat orang untuk berjuang demi dirinya sendiri. Egoisme manusia mengalahkan semua perasaan senasib dan seperjuangan. Kita dididik dalam situasi di mana "aku mengalahkan maka aku ada". Siapa kalah siapa menang. Siapa kamu siapa aku. Sapa sira sapa ingsun. Solidaritas yang terbentuk merupakan solidaritas semu, karena terbentuk bukan sikap saling menghargai sesama (kemanusiaan) melainkan aspek kepentingan praktis. Kecenderungan yang terjadi dalam perekonomian bangsa ini juga merupakan kesemuan belaka. Pertumbuhan ekonomi katanya meningkat, anehnya tidak mampu mengurangi pengangguran terus meningkat, dan daya beli dan hidup rakyat yang semakin lemah. Katanya angka kemiskinan berkurang, nyatanya kehidupan rakyat semakin sengsara akibat ketahanan hidup yang makin melemah. Tidak Jelas Modus kriminalitas yang semakin bervariasi akhir-akhir ini, lihatlah, sering disebabkan oleh masalah-masalah "harga diri" sepele. Anak membunuh orang tua, orang tua membunuh anak, sesama saudara sekandung saling berbunuhan. Semakin ngeri melihat fenomena sosial seperti ini. Jika demikian, sudah tepatlah ramalan Ronggowarsito tentang zaman edan itu. Pertumbuhan ekonomi semakin menaik tetapi tak mampu menetes ke bawah untuk orang miskin. Orang miskin semakin tak berdaya menghadapi beban hidup yang terus meningkat. Semua kegemilangan itu seolah-olah hanya menjadi hak tidak lebih dari 2 persen penduduk, dan yang 98 persen itu hidup dalam himpitan krisis yang begitu dahsyat. Logika akal sehat kita sudah tidak bisa memahani mengapa hal ini dianggap wajar. Logika keadilan kita runtuh. Semangat hidup bersama dalam suasana keadilan tidak lagi menjadi bagian dari cara berpikir, bertindak dan bernalar. Semua serba dibuat tidak jelas aturan mainnya. Semua dipermainkan oleh logika politik yang hanya mengejar setoran. Seolah-olah ada namun tiada dan sebaliknya. Politik berada di bawah bayang-bayang kekuasaan para pemodal hitam. Mereka bekerja begitu licin sampai tidak terungkap gerak-geriknya, walau semua orang merasakan kekuatannya. Publik mampu mencium bau tidak sedap di mana orang-orang dalam kekuasaan bermain dengan jurus lobi-lobi. Semua tidak terlihat, tapi nyata ada. Pemberantasan korupsi katanya menjadi inti reformasi, nyatanya di era reformasi orang berkorupsi justru makin banyak dan makin canggih cara-caranya. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang yang normal menjadi stress. Mereka selalu bertanya mengapa harus terjadi seperti ini. Mereka berpikir bahwa seharusnya hukum, politik, pendidikan, ekonomi, budaya, media dan lainnya seperti ini, nyatanya seperti itu. Paradoks-paradoks seperti inilah yang terjadi di zaman abnormal, atau mungkin zaman edan seperti kata Ronggowarsito. Berharap pada Institusi Ujian nasional yang jelas-jelas melanggar undang-undang pendidikan (yang dahulu dibela mati-matian) justru dilakukan. Amendemen konstitusi tidak jelas dilakukan untuk apa dan siapa. Badan Usaha Milik Negara telah berubah menjadi milik partai. Jabatan di kementerian menjadi ujung tombak keuangan politik partai. Dana nonbujeter di mana-mana disikat habis oleh para tikus politik. Kesalahan kita semua selama ini karena terlalu berharap banyak terhadap institusi dan orang-orang yang sebenarnya tidak normal tetapi pura-pura normal. Akibatnya, kita terkena penyakit stroke sosial yang melumpuhkan daya nalar. Lingkaran hidup hanya dipenuhi lingkaran akan kepedulian akan diri sendiri. Mereka yang terhimpit masalah ekonomi sudah tak mengenal saudara. Ajaran egois dari realitas sosial ini setiap hari kita terima, dan lambat laun telah diyakini sebagai kewajaran. Kemiskinan menggurita di mana-mana, pengangguran menyebar dari pelosok sampai pusat kota. Realitas ini sebenarnya sudah dirasakan dan dibaca oleh elit politik. Tetapi mereka tidak memiliki telinga untuk mendengar jeritan itu. Telinga mereka tersumbat oleh aliran modal. Mulut mereka tidak lagi bisa menyuarakan hati nurani karena sudah tergadai oleh kepentingan uang. Inilah yang membuat korupsi bertumbuh subur. Korupsi di Republik ini seolah-olah dijamin oleh hukum. Tentu hukum yang tidak normal. Orang yang normal berteriak-teriak, "Tegakkan hukum!", dan yang mau ditegakkan tidak mau menegakkan dirinya sendiri. Kita berada dalam hidup yang penuh dengan kebuntuan. Kita buntu berpikir mengenai kesejatian hidup. Kini yang ada hanya harapan yang penuh kepalsuan. Ini zaman yang tidak normal di mana yang normal dianggap tidak normal, dan yang tidak normal dianggap sebagai normal. Kita tidak sadar bahwa sebenarnya kita hidup di zaman yang tidak normal, tetapi terus-menerus berpikir seperti orang normal. Penulis adalah pendiri Setara Institute dan Sekretaris Komisi HAK KWI. [Non-text portions of this message have been removed]