http://www.sinarharapan.co.id/berita/0712/03/opi01.html

Teologi Memperlakukan Bumi

Oleh
Ismatillah A. Nu'ad



Kini dunia tengah menghadapi gejala alam yang disebut sebagai global warming 
(pemanasan global) sebagai efek dari rumah kaca. Di antara dari sekian 
akibatnya adalah terjadinya perubahan iklim tak menentu. Barangkali kita sudah 
merasakan, cuaca panas begitu menyengat. Demikian pula, pada saat musim hujan, 
turunnya air tak seperti biasanya, sehingga kadang dapat menimbulkan banjir 
yang sangat hebat. Antara musim hujan dan musim panas, terjadi silih-berganti 
seperti tak memiliki batasan lagi, itulah yang dimaksud pengamat lingkungan 
sebagai ciri-ciri perubahan iklim yang tak menentu sebagai efek dari global 
warming. 


Alam terasa sudah tak bersahabat dengan kita, oleh karena kerakusan dan 
kejahilan kita yang tak memperlakukannya secara manusiawi. Hutan dibabat habis, 
pasir laut dikeruk secara massif, air dicemari oleh limbah, udara dipenuhi 
polusi, gunung dirusak, dan perilaku destruktif manusia lainnya. Ketika telah 
sampai pada satu titik, dimana alam sudah tak lagi bisa seimbang, pada saat itu 
juga munculah fenomena alam seperti global warming.


Anehnya, ketika fenomena itu muncul, masih ada saja masyarakat yang berasumsi 
bahwa itu hanyalah sekadar bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai 
konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Atau dalam 
istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai "masyarakat agamis" 
yang menggariskan sesuatu berdasarkan atas paksaan Tuhan (jabariah), yang 
meyakini bahwa Tuhan murka pada penduduk sebuah negeri di mana di dalamnya 
orang-orang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.


Keyakinan semacam itu jelas berbahaya, karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai 
biang dari segala bencana di dunia. Atau dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 
2003:151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God), 
sebagai akibat terjadinya bencana. Menurut Leibniz, Tuhan tak patut 
dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan 
adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia, manusialah yang bertanggung 
jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).

Pergeseran Teologi
Pandangan teologi yang berseberangan dengan jabariah, atau teologi yang lebih 
menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah), sebetulnya lebih relevan 
untuk menjelaskan fenomena seperti global warming. Relevan bukan sebatas 
penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia 
(theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, dan di sisi lain 
dengan keberadaan musibah itu sendiri. 


Teologi qadariah juga relevan oleh sebab dapat menghindarkan manusia dari 
mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada 
kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia.
Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak 
untuk berbuat sebebas-bebasnya, dan dia harus bertanggung jawab atas segala 
tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka dari itu, jika ada fenomena global 
warming, sebetulnya itu merupakan cerminan, seakan-akan mempertanyakan sudah 
berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini? Berbuat dan bertindak bukan 
dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa lalu kemudian Tuhan murka 
dan menimpakan bencana itu.

 
Tapi lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan 
lingkungan, seperti pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, 
pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup massif, penggundulan hutan, dan 
sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan 
membuat alam menjadi murka, sehingga fenomena global warming tak bisa 
terhindarkan. Hal itu sesungguhnya sesuai seperti tersirat dalam kitab suci 
sendiri, yang secara bebas berbunyi, bahwa kerusakan di darat dan di laut yang 
tampak, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka sebagai akibat dari 
perbuatannya (datanglah bencana), supaya manusia merasakan sebagian dari ulah 
dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar (Al-Quran, 30:41). 


Jelaslah bahwa fenomena global warming tak lain dan tak bukan karena sebenarnya 
diakibatkan oleh kita sendiri sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak 
bertanggungjawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan. Berhentilah kita 
menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan misalnya. Bahkan 
menurut Ignaz Goldziher (1991), oleh karena ulah tangan manusia, maka 
manusiapun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan Setan sekalipun. Setan 
menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti oleh karena 
kesalahan dan dosa perbuatan manusia. 

Teologi Memperlakukan Bumi 
Hassan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology, and Developmentalism (1990) 
menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana 
semestinya bumi ini diperlakukan? 


Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara 
baik dan benar. Tak ada satupun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim 
memiliki barang sejengkalpun terhadap bumi, karena bumi ini adalah milik-Nya. 
Oleh karenanya, tak dibenarkan jika ada manusia yang arogan ketika merasa 
memiliki tanah di bumi. 


Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal 
tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya sendiri; mengebor, mengeruk, 
mengeksploitasi, tanpa memikirkan apa akibatnya. Juga arogansi seperti, oleh 
karena manusia hidup di alam dan ling-kungan, lalu ia seenaknya mengotori dan 
mencemari alam dan lingkungan dengan polusi serta berbagai perbuatan lainnya 
yang sesungguhnya akan merusak bumi.


Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan 
melalui pendekatan yang di-relevansikan dengan alam dan lingku-ngan. 
Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. 
Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. 
Sesungguhnya sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya 
mengimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan 
masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).


Jika selama ini kita menganggap kaum beragama, sudah semestinya teologi agama 
kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan, namun tak ada aktualisasinya dalam 
kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan 
kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi 
bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak 
pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini 
dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan 
harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat 
terhindar dari segala marabahaya. 

Penulis adalah associate researcher Kantata Research Indonesia

Reply via email to