http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/10/sh02.html

Utang Luar Negeri Sengaja "Dipelihara"



Jakarta - Meskipun utang luar negeri tidak selalu digunakan dan banyak yang 
membebani rakyat Indonesia, tetapi sejumlah departemen sengaja mempertahankan 
status quo. Pasalnya, sejumlah instansi pemerintah, seperti Departemen Keuangan 
(Depkeu), Departemen Teknis, dan Bappenas, selama ini diuntungkan atas sejumlah 
fee yang diterima dari kreditor.


"Utang luar negeri meskipun tidak digunakan, terus dilanggengkan karena 
sejumlah pihak menikmati keuntungan, dan korupsi ini sulit tersentuh," kata 
pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa 
(10/3). Para pejabat Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu, Bappenas, dan Departemen 
Teknis cukup puas menikmati fee yang diberikan kreditor sebagai syarat 
pemberian utang oleh lembaga donor. Berbagai fee yang dinikmati dan menjadi 
sumber korupsi antara lain commision fee, up front fee, dan fee serupa lainnya.


Ia menyatakan hal ini untuk menjelaskan kenapa meski sudah dibentuk Ditjen 
Pengelolaan utang, masalah utang luar negeri tidak beres dan masih juga 
amburadul. "Banyak pejabat yang berkepentingan karena ini menjadi lahan empuk 
melakukan korupsi dengan risiko yang saat ini cukup minim," katanya. Para 
kreditor seperti Bank Dunia, ADB, atau kreditor lain senang dengan "tarif" para 
pejabat, karena tidak perlu mengeluarkan uang besar untuk memiliharanya.


Noorsy mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan 
Korupsi (KPK) segera membongkar dan meminta pertanggungjawaban para pejabat 
tersebut. "Mentalitas pejabat korup yang mengeksploitasi utang luar negeri 
untuk memperkaya diri dan memiskinkan bangsa ini sudah saatnya diakhiri," 
tegasnya.


Ia mencontohkan, salah satu tipuan yang dilakukan pejabat-pejabat di Depkeu, 
yakni dengan menerbitkan SUN atau sukuk dengan suku bunga tinggi di pasar 
global dengan menggunakan penjamin emisi (underwriter) lembaga keuangan AS. 
"Pejabat Depkeu begitu bangga bisa menjual obligasi atau surat utang melalui JP 
Morgans atau Merril Lyinch atau kroni-kroninya (pemegang saham The Fed). 
Padahal, itu sama artinya dengan menyubsidi orang kaya di AS. Pejabat di 
Indonesia cukup puas ditawari uang recehan dari margin obligasi karena suku 
bunga obligasi pemerintah jauh di atas suku bunga komersial," tandasnya. 


Sementara itu, ekonom Econit Hendri Saparini mendukung langkah KPK yang akan 
menelusuri sekitar empat ribuan loan agreement (perjanjian utang luar negeri) 
yang disinyalir kuat berkontribusi menjadi faktor penyebab membengkaknya utang 
luar negeri Indonesia.

Menurut Hendri, jumlah utang luar negeri yang saat ini mencapai Rp 1.600 
triliun lebih itu harus segera diusut pengelolaannya. Sebab jika dibiarkan, 
utang-utang tersebut akan makin membebani negara dan mempersulit kinerja 
pemerintahan mendatang. "Saya mencatat selama lima tahun terakhir ini jumlah 
utang luar negeri kita terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejauh ini jumlah 
utang luar negeri kita sudah mencapai Rp 1.600 triliun, itu pun belum termasuk 
utang-utang yang tidak tercatat," ungkap Hendri. 


Selain utang-utang luar negeri tersebut, Hendri juga mempertanyakan besaran 
imbal hasil (yield) dari penjualan obligasi berupa medium term notes (MTN) yang 
angkanya mencapai 12 persen. "Imbal hasilnya terlalu besar dan itu akan makin 
menekan cadangan devisa," tukasnya. Seperti diberitakan sebelumnya, selain akan 
menelusuri sekitar empat ribuan perjanjian utang luar negeri di tingkat pusat, 
KPK juga akan menyelisik temuan maraknya perjanjian utang luar negeri 
bermasalah di tingkat pemerintahan daerah (pemda). Pasalnya, sekitar 50 persen 
pemda di seluruh Indonesia bermasalah dengan perjanjian tersebut. 
(moh ridwan/sigit wibowo

Kirim email ke