http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8744:wanita-menikah-keempat-kali-tapi-belum-cerai&catid=112:abdul-choliq-lc&Itemid=79
Wanita Menikah Keempat Kali Tapi Belum Cerai Thursday, 26 February 2009 11:14 Apakah pernikahan keempat bisa dikatakan syah, mengingat si wanita tidak diberi nafkah lahir dan bathin? Assalamu'alaikum. Wr. Wb Pak Ustadz, saya bertanya satu kasus seperti berikut: Ada seorang wanita yang telah menikah sebanyak empat kali. Pernikahan yang pertama gagal / bercerai karena pihak wanita merasa "ditipu" yang mana pihak laki-laki mengaku udah bercerai dengan istrinya tapi belakangan diketahui ternyata dia (pihak laki-laki) belum bercerai dengan istrinya. Kemudian si wanita tersebut menggugat cerai. Pernikahan kedua juga gagal/bercerai Pernikahan ketiga dengan seorang duda yang umurnya cukup jauh, tapi si wanita tsb tidak dicukupi kebutuhan lahir dan bathinnya. Ditengah jalan si wanita dikembalikan ke orang tuanya tapi belum resmi bercerai karena belum ada surat cerainya. Pada masa-masa ini kemudian si wanita berkenalan dengan seorang pria yang "katanya" sudah bercerai dengan istrinya pada dua kali pernikahan sebelumnya. Kemudian mereka menikah melalui seorang "penghulu" dengan memakai "wali hakim" tanpa diketahui oleh kedua orang tua masing-masing pihak. Yang jadi pertanyaannya : 1. Apakah perkawinan yg keempat bisa dikatakan syah, mengingat dikembalikan ke orang tuanya, si wanita tidak diberi nafkah lahir & bathin yang memadai, surat-surat pendukung belum keluar dan hanya disaksikan oleh wali hakim. 2. Apakah dengan dikembalikan si wanita ke orang tua nya bisa dikatakan sudah bercerai / talak tiga. 3. Apabila pihak laki-laki pada perkawinan yang ketiga meminta untuk kembali ke tempat si pria , apakah perkawinan yang keempat bisa dikatakan tidak syah. 4. Jika bersangkutan "bisa dikatakan" melakukan perbuatan dosa, apakah yang harus dilakukan oleh yang bersangkutan. Atas nasihatnya dan nasihatnya kami ucapkan terima kasih banyak. Wass. Wr. Wb Uki - Jakarta 0O0 Jawab: Waalaikum ssalam warahmatullahi wabarakatuh Saudaraku seiman semoga dirahmati Allah, problematika perkawinan memang cukup banyak. Setiap orang mengalami romantikanya sendiri-sendiri antara problem dan solusi. Walaupun semuanya tampak alami-alami saja, tetapi bagi seorang muslim perjalanan bahtera berumah tangga harus dipandu oleh aturan-aturan syari'at dalam al-Qur'an dan hadits Rasulullah serta kaidah-kaidah yang dirumuskan ulama yanng bersumber dari keduanya. Masalah hubungan antara pria dan wanita dalam syariat tergolong dalam masalah yang berat. Artinya kebenaran dan tidaknya dalam hal ini mempunyai konsekwensi yang berat. Tidak saja pada pribadi tetapi juga pada keluarga masing-masing, baik jalur nasab ke atas, sejajar maupun ke bawah. Diantara kaidah-kaidah syar'i yang perlu dicamkan oleh setiap muslim adalah apa yang dikatakan al-Suyuthi : "al-ashl fi al-abda'i al-tahrim" (al-Asybah wa al-Nadza'ir, I:109). Artinya, hukum asal dari setiap kelamin adalah haram. Untuk itu seorang tidak boleh berspekulasi -apalagi tidak hati-hati- untuk urusan yang berkaitan dengan penfungsiannya. Pada kasus sebagaimana di atas, yang paling penting untuk diperhatikan adalah pemenuhan syarat sah untuk melakukan akan nikah dari pihak wanita. Sebab semua ulama sepakat bahwa syarat sah wanita bisa menikah adalah tidak sedang berstatus menjadi istri orang lain atau dalam masa iddahnya (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,II:90). Konsekwensinya bila tidak terpenuhi berarti nikahnya batal.Dan yang penting selanjutnya adalah masalah perwalian. Untuk yang pertama, tampak bahwa "perceraian" itu hanya ditandai dengan dua sikap yaitu pengabaian kewajiban beberapa waktu dan pengembalian/pemulangan "istri" kepada orang tuanya yang kedua-duanya semata tanpa dibarengi faktor lain tidak dapat dipakai sebagai dasar vonis telah jatuhnya talak/cerai. Bila seorang wanita diabaikan haknya dan tidak terima, untuk dihukumi jatuh talak adalah dengan cara mengadukan kepada hakim. Begitu pula sikap memulangkan istri ke rumah orang tuanya bukan pula merupakan ungkapan definitif yang berarti talak. Pemulangan tersebut dapat bernilai talak hanya bila didasari niat untuk men"talak". Oleh sebab itu bagi wanita yang merasa dirugikan dengan perlakuan seperti sangat patut untuk memperjelas statusnya, hingga tidak sampai dirugikan baik secara fisik, mental maupun sosial, termasuk langkah ke depan dalam menjalani hidup. Selama status perceraian tersebut tidak jelas, maka status diri -si wanita bebas dari ikatan pernikahan dengan lain yang menjadi syarat sahnya menikah- tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian pernikahan selanjutnya berarti tidak sah. Berbeda halnya bila saat memulangkan ke rumah orang tua itu sang suami telah berniat menceraikan, maka jatuhlah talak. Namun problemnya adalah bagaimana si wanita mengetahui? Disinilah pentingnya mengadukan kepada hakim atau setidaknya klarifikasi oleh siapapun kepada sang suami itu. Barulah setelah itu dapat ditentukan kapan iddah (masa menunggu) dimulai dan kapan berakhir. Selanjutnya bila ternyata sampai berakhir masa iddah tidak terjadi ruju', maka baru dinyatakan bebas dari ikatan pernikahan sebelumnya dan siap untuk melakukan akad nikah berikutnya. Jadi bila syarat secara pribadi saja belum terpenuhi, maka keberadaan wali hakim -bahkan wali asli (ayah misalnya)- tak akan mengurangi kebatalan pernikahan itu, apalagi dengan wali penghulu. Tetapi betapapun kesalahan itu diperbuat oleh seorang hamba, bila ia bertaubat meminta ampun kepada Allah dengan tulus pastilah Allah mengampuni. Langkahnya adalah perjelas status diri di muka hakim, melangsungkan pernikahan dengan jelas dan resmi dan memperbanyak istighfar dengan tulus kepada Allah seraya bertekad tidak mengulangi. Semoga Allah melimpahkan pahala kepada anda atas kepedulian anda kepada sesama saudara. Amin. Wallahu a'lam. [Abdul Kholiq, lc/www.hidayatullah.com]
<<pdf_button.png>>
<<printButton.png>>
<<emailButton.png>>